Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengulik Penghargaan Lomba Siswa

3 Januari 2024   08:35 Diperbarui: 3 Januari 2024   14:51 3493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siswa yang memenangkan lomba umumnya mendapatkan penghargaan. Lomba di tingkat sekolah, misalnya, penghargaannya  disediakan oleh sekolah. Jika lomba bersifat  perorangan, penghargaannya untuk pemenang perorangan. Jika lomba bersifat kelompok, penghargaannya untuk pemenang kelompok.

Dalam lomba di tingkat sekolah, umumnya  siswa menyiapkan diri secara mandiri, baik untuk lomba yang bersifat perorangan maupun kelompok. Tapi, bukan tak mungkin  ada juga siswa, baik yang bersifat perorangan maupun kelompok, yang meminta pembinaan khusus dari seorang pembina.

Jika yang terakhir itu yang dilakukan, maka perlu disediakan "sesuatu" untuk pembina. Artinya, ada konsekuensi yang ditanggung oleh siswa untuk diberikan kepada pembina.

Tapi, sepengetahuan saya selama ini, kalau lomba siswa di tingkat sekolah, siswa menyiapkan diri secara mandiri. Berlatih sendiri. Apalagi dengan adanya YouTube, mereka dapat mencari tutorial jenis lomba yang diikutinya. Dan, mereka berguru melalui  aplikasi itu.

Jadi, konsekuensi yang ditanggung lebih mengarah ke kebutuhan jaringan internet. Kalau memiliki banyak kuota, mereka dapat berguru dalam durasi yang relatif lama. Tapi, jika sedikit kuota, bergurunya hanya  sebentar.

Dari gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa, baik berguru melalui seorang pembina  maupun melalui YouTube sama-sama ada konsekuensinya. Ada nilai atau harga yang harus dikeluarkan oleh siswa.

Nah, lomba siswa di tingkat yang lebih tinggi, misalnya, di kecamatan, kabupaten, dan provinsi tak jauh berbeda keberadaannya dengan lomba di tingkat sekolah. Hanya, karena siswa sebagai delegasi sekolah, maka ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh sekolah.

Kalau guru memiliki kompetensi untuk memberikan pembinaan terhadap  siswa yang lomba, sekolah tak menanggung anggaran untuk pembinaan karena pembinaan yang dilakukan oleh guru sudah termasuk tugas pokok dan fungsinya (tupoksinya).

Tapi, kalau sekolah mengambil pembina   dari luar sekolah karena tak ada guru yang memiliki kompetensi untuk membina siswa yang lomba, maka sekolah menanggung anggaran untuk pembinaan tersebut.

Hanya, memang, untuk menanggung anggaran pembinaan, sekolah memiliki keterbatasan. Penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sangat terbatas. Sehingga, sekolah harus mencari solusi agar kegiatan lomba siswa, yang membutuhkan pembina dari luar sekolah, tetap dapat berjalan.

Tak ada sekolah yang mengikutkan siswanya lomba tanpa target. Semua pasti memiliki target sebagai pemenang. Karenanya, sekolah pasti mencari pembina yang profesional. Dan, kita mengerti bahwa pembina yang profesional memiliki harga yang boleh dibilang tinggi.

Makanya, jika dalam lomba siswa, sekolah meraih kemenangan, tak jarang sekolah juga mengalokasikan anggaran untuk honor pembina dari hasil lomba tersebut.

Logika demikian sebetulnya tak dapat dianggap keliru. Sebab, penghargaan yang diberikan kepada siswa yang memenangi lomba, selain ada sertifikat, umumnya juga ada sejumlah dana.

Sertifikat hanya untuk siswa.ementara sekolah hanya meminta fotokopi sertifikat tersebut. Sekolah akan menggunakan fotokopi sertifikat tersebut untuk dokumentasi historis keberhasilan sekolah.

Selain itu, dibutuhkan juga untuk bukti fisik ketika sekolah sedang menghadapi akreditasi. Memang, ini hanya sebagian kecil yang dibutuhkan dalam akreditasi. Tapi, sekecil apa pun, fotokopi sertifikat lomba siswa tetap dibutuhkan dalam akreditasi sekolah.

[Bagi siswa, sertifikat sangat penting. Sebab, sertifikat tersebut dapat digunakan untuk mendaftar dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), yang memiliki bobot nilai tersendiri. Jadi sangat membantu siswa dalam pemeringkatan PPDB].

Karenanya, dalam konteks demikian, sekolah  tak lupa mengucapkan terima kasih kepada siswa termaksud. Karena atas kerja kerasnya, terutama fisik, psikis, dan waktu, sekolah dapat menerima penghargaan yang istimewa melalui siswanya.

Toh begitu, kemenangan siswa dalam lomba tak dapat dilepaskan dari peran pembina. Pembina memiliki peran sangat penting dalam konteks ini.

Karenanya, ketika anggaran untuk pembinaan dipandang kurang oleh sekolah karena dana dari BOS memang terbatas, sejumlah dana (yang umumnya dinamakan uang pembinaan) yang diperoleh dari lomba sebagian  digunakan juga untuk honor pembina.

Artinya, yang sebagiannya lagi (sangat mungkin) untuk siswa sebab ia yang memang telah meraih kejuaraan. Jadi, dengan demikian, siswa mendapat dua bagian. Yang satu berupa  sertifikat; yang satu berupa  sebagian uang pembinaan dari hasil lomba.

Sebetulnya uang hasil lomba siswa sangat luwes pemanfaatannya. Karena memang tak ada aturan yang membakukan hal itu. Masing-masing sekolah memiliki kewenangannya sendiri. Hal ini merupakan otonomi sekolah.

Jadi, tak dapat disamakan satu sekolah dengan sekolah yang lain dalam penggunaan uang pembinaan hasil lomba siswa. Sekalipun sudah jelas bahwa namanya (saja) uang pembinaan, jadi sebetulnya memang untuk anggaran pembinaan.

Kalau ada sekolah yang kemudian memanfaatkan uang pembinaan tersebut untuk sepenuh-penuhnya pembinaan dan siswa tak mendapatkan langsung berupa uang --cukuplah ia terima sertifikat-- tak jadi masalah. Toh memang sudah sesuai peruntukannya.

Tapi, jika ada sekolah mau menggunakan uang pembinaan itu sebagian untuk pembinaan dan sebagian untuk siswa, seperti sudah disebutkan di atas, juga tak masalah. Karena memang keberhasilan lomba bukan hanya kerja keras siswa, melainkan juga pembina.

Juga tak jadi masalah andai saja ada sekolah yang menggunakan uang pembinaan hasil lomba itu untuk sepenuh-penuhnya siswa. Pembina sama sekali tak mendapat bagian sekalipun pembina memiliki andil besar dalam keberhasilan lomba, mengingat,  karena jumlah uang pembinaan yang diterima relatif sedikit.

Atau sekalipun jumlah uang pembinaan besar, pembina tak mendapat bagian juga tak masalah. Apalagi kalau pembina itu adalah gurunya sendiri, yang seperti sudah disebutkan di atas, pembinaan sudah  termasuk tupoksinya. Jadi tak perlu ada honor untuk pembina.

Di dalam semuanya itu yang hendak ditekankan di sini adalah sebuah pemahaman yang dapat diterima oleh semua pihak, terutama yang terkait dengan uang pembinaan hasil lomba.

Karena, sangat mungkin ada ajang lomba siswa dengan jumlah hadiah uang pembinaan yang  relatif banyak. Sangat mungkin dapat mencapai hingga nilai jutaan rupiah.

Pengalaman menunjukkan bahwa hadiah lomba siswa tingkat kabupaten sudah ada yang --uang pembinaan-- mencapai jutaan rupiah. Apalagi, tingkat provinsi dan nasional, tentu nilai hadiah uang pembinaan lebih daripada yang ada di tingkat kabupaten.

Karena lomba siswa selalu memiliki keterkaitan dengan siswa (sendiri), pembina (dapat berasal dari guru atau tenaga profesional luar sekolah), dan orangtua, maka seberapa pun jumlah uang pembinaan kiranya tak menjadi sumber perbedaan persepsi yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan benak di antara mereka.

Sebab, sering-sering uang, apalagi yang jumlahnya relatif banyak, dapat menjelma sebagai "makhluk" yang diperebutkan oleh banyak pihak. Itu sebabnya hal ini penting perlu dipahami oleh pihak-pihak terkait, terutama siswa, pembina, dan orangtua.

Siswa memang pelaku utama dalam lomba antarsiswa, di tingkat mana pun. Jadi kemenangan yang diperoleh adalah kemenangan siswa.

Tapi, tak berarti ia boleh memungkiri peran pembina. Karena sudah pasti ada pembina yang diberi tugas oleh kepala sekolah untuk memberi pembinaan.

Karenanya, keberhasilan siswa sebetulnya adalah keberhasilan pembina, bahkan keberhasilan kepala sekolah dan itu semua representasi dari sekolah. Maka, perayaan kemenangan dirayakan secara bersama-sama oleh warga sekolah.

Hal itu biasanya dilakukan saat penyerahan hadiah kemenangan oleh siswa (pemenang lomba) kepada sekolah melalui kepala sekolah di hadapan warga sekolah dalam acara apel atau upacara. Perayaan ini tak mengarah ke pesta pora, tapi mengarah ke ungkapan kegembiraan bersama.

[Prosesi penyerahan hadiah kemenangan oleh siswa kepada sekolah melalui kepala sekolah lebih  mengarah ke menunjukkan sebuah prestasi kepada warga sekolah. Sehingga, semua hasil lomba, baik sertifikat, trofi, maupun papan simbolis uang pembinaan dapat dilihat oleh warga sekolah. Hal tersebut, selain untuk menginspirasi, juga mengundang tepuk sorak warga sekolah].

Dan, sudah seharusnya orangtua memiliki pemahaman bahwa kemenangan yang diraih anaknya tak semata-mata kemampuan anaknya. Tapi, berkat kolaborasi banyak pihak yang difasilitasi oleh sekolah.

Sehingga, seberapa pun hadiah uang pembinaan yang didapat anak dari hasil lomba kurang tepat jika orangtua berpikir bahwa hadiah itu hak anak sepenuhnya.

Bahkan, sebaliknya, orangtua perlu mengedukasi anak bahwa keberhasilannya tak hanya keterlibatan pihak-pihak di sekolah, tapi (ini yang perlu ditekankan) berkat Tuhan. Sehingga, anak menjadi pribadi yang senantiasa rendah hati dan bersyukur.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun