Selama ini anak-anak yang tergolong standar di sekolah tidak mengundang perhatian. Yang dimaksud standar adalah anak-anak yang tidak pernah membikin masalah.
Mereka berelasi dengan teman dan guru baik-baik saja. Akrab, santun, Â dan terbuka. Mereka terlihat senang dan dapat menikmati proses pembelajaran di sekolah.
Berbeda dengan anak-anak yang bermasalah. Anak-anak kelompok ini selalu mengundang perhatian. Baik perhatian guru maupun anak yang lain.
Mereka terlihat tidak baik-baik saja dalam berelasi dengan guru dan anak-anak lain. Kurang akrab dan lebih tertutup. Bahkan, terkesan menghindar dari guru di sekolah.
Menghindar karena mereka mungkin malu, takut, atau ada rasa khawatir karena menyadari akan dirinya. Dalam kondisi demikian sudah pasti mereka tidak nyaman dalam proses pembelajaran di sekolah.
Masalah yang umumnya mereka alami misalnya membolos, terlambat masuk sekolah, mengambil barang  milik teman, bertengkar, merundung teman, tidak mengerjakan tugas, tidak lengkap seragam, dan usil mencari perhatian baik terhadap guru maupun teman.
Masalah-masalah tersebut ada yang berdampak hanya terhadap diri sendiri. Tetapi, ada juga yang berdampak terhadap diri sendiri dan orang lain.
Membolos, terlambat masuk sekolah, dan tidak mengerjakan tugas, misalnya, hanya berdampak terhadap diri sendiri. Itu artinya hanya merugikan diri sendiri.
Sementara itu, mengambil barang milik teman, merundung teman, dan usil terhadap teman, berdampak ganda. Yakni, terhadap diri sendiri dan orang lain (baca: teman).
Baik yang berdampak terhadap diri sendiri maupun diri sendiri dan orang lain sangat merugikan. Bahkan, sekalipun digolongkan berdampak terhadap diri sendiri, sejatinya tidak demikian, sebab ternyata masih mengait terhadap orang lain.
Misalnya, membolos. Ternyata membolos tidak hanya berdampak terhadap anak yang bersangkutan. Tetapi, juga terhadap orangtua. Orangtua sudah memberi restu, uang saku, dan bekal saat berangkat sekolah, tetapi diketahui kemudian anak tidak sampai ke sekolah.
Tentu dalam konteks itu orang lain, yaitu orangtua, terkena dampak. Orangtua mengalami kerugian batin dan lahir atas perilaku anaknya. Ini yang dapat dimengerti bahwa membolos yang tampaknya hanya merugikan anak, tetapi ternyata juga merugikan orangtua.
Bahkan, lebih jauh lagi merugikan sekolah. Sebab, sekolah sudah membuat jadwal pembelajaran, meminjamkan buku, menyiapkan guru, dan sarana prasarana yang semata-mata untuk anak. Karena itu, ketika anak membolos boleh dibilang sekolah dirugikan.
Tidak hanya membolos, semua problem anak di sekolah pun tidak semata-mata berdampak buruk kepada anak. Tetapi, juga berdampak buruk  terhadap pihak lain. Di antaranya orangtua, teman, sekolah, masyarakat, bahkan bangsa dan negara. Â
Melempar tanggung jawab
Namun, sering sekolah mendapat sorotan. Sekolah dianggap salah jika ada anak membuat masalah saat beraktivitas sekolah . Karenanya, sekolah harus bertanggung jawab. Sekolah harus mengurus dan menyelesaikannya.
Terhadap pandangan itu sebagian besar orangtua/wali siswa  bersepakat. Sebab, tidak mungkin pihak lain bertanggung jawab atas kejadian anak di sekolah. Toh memang anak beraktivitas di sekolah selama pembelajaran, dari pagi hingga siang.
Rasanya tidak sesuai kalau hal tersebut menjadi tanggung jawab orangtua/wali siswa. Saat anak belajar di sekolah dengan berbagai aktivitasnya orangtua/wali siswa tidak mengetahuinya. Sebab, anak di sekolah; orangtua/wali siswa di rumah atau di tempat bekerja.
Apalagi selama ini ada semacam resolusi dari orangtua/wali siswa  (secara tidak tertulis) bahwa selama anak berada di sekolah menjadi tanggung jawab sekolah. Orangtua/wali siswa secara terbuka menitipkan anaknya di sekolah dalam pengasuhan guru.
Jika Anda seorang guru pasti pernah mendengar atau bahkan menghadapinya sendiri,  ada orangtua/wali siswa yang menyampaikan pesan kepada guru bahwa ia menitipkan anaknya kepada guru. Dan, guru yang  bersangkutan pasti menjawab dengan mantap, siap mengasuh.
Tentu tidak ada satu pun guru yang dengan tegas menjawab, maaf tidak sanggup mengasuh! Guru pasti dengan senyum dan ramah menerima secara suka cita anak yang diserahkan oleh orangtuanya/wali siswanya kepada guru. Itulah guru, yang memang menjadi panggilan jiwanya.
Bahkan, tidak jarang guru memberi semacam pengakuan  kepada orangtua/wali siswa  bahwa dirinya  yang menjadi orangtua/wali siswa kedua anak di sekolah. Sebagai pengganti orangtua/wali siswa biologis anak. Jadi wajar kalau terjadi apa-apa terhadap anak di sekolah, guru yang bertanggung jawab.
Sayang, guru sering terpojokkan  ketika ia dianggap salah terhadap anak. Hanya menegur secara verbal karena anak berbuat salah, misalnya, bisa saja guru dituntut. Apalagi kalau guru bertindak fisik, sudah pasti dibawa ke ranah hukum. Realitas demikian sekarang banyak terjadi.
Maka, kini guru sangat membatasi diri. Berusaha tidak melukai benak anak. Baik melalui tindakan verbal maupun nonverbal. Sekalipun anak membuat masalah.
Bahkan, bukan mustahil akhirnya guru hanya bergumam dalam hati bahwa perilaku atau sikap buruk anak itu karena lemahnya pendidikan di dalam keluarga. Orangtua kurang mengedukasi anaknya.
Boleh jadi anggapan itu benar. Sebab, keluarga merupakan pusat pendidikan kali pertama yang diikuti oleh anak. Bahkan, ketika masih dalam kandungan pun, janin sudah dapat diedukasi. Pendidikan dalam keluarga kuat mewarnai kepribadian anak.
Maka, sudah semestinya orangtua tidak dapat lepas dari perilaku dan sikap buruk anak. Orangtua tetap memiliki peran besar dalam keberadaan anaknya. Orangtua memiliki tanggung jawab seutuhnya terhadap anaknya, di mana dan kapan pun.
Anak sendiri
Namun sejatinya, dalam diri anak sudah tumbuh rasa tanggung jawab atas keberadaannya. Mereka sudah menjalaninya sejak kanak-kanak.
Ketika datang dari sekolah, mereka mencopot sepatunya dan  menaruhnya di tempat sepatu, misalnya,  sebagai bukti bahwa mereka memiliki rasa tanggung jawab.
Perilaku dan sikap tersebut  terbentuk oleh lingkungannya. Selain atas bimbingan orangtua dan anggota keluarga yang lebih dewasa, juga teladan yang dilihatnya di dalam keluarga.
Lambat laun mereka memiliki jangkauan yang lebih luas dalam hal bertanggung jawab karena aktivitasnya pun semakin meluas (baca: banyak). Bahkan, mereka akan mengenal risiko yang harus ditanggung atas perilaku dan sikapnya secara alamiah.
Perilaku dan sikap buruk yang melekat dalam dirinya diikuti oleh risiko yang kurang menguntungkan baginya. Pun demikian sebaliknya, perilaku dan sikap yang baik dalam dirinya akan diikuti oleh risiko yang menguntungkan baginya.
Secara alamiah mereka mengetahui hal tersebut. Pengetahuannya tidak hanya berdasarkan pengalamannya sendiri, tetapi juga berdasarkan pengalaman orang lain yang kebetulan ia mengetahuinya.
Siswa yang terlambat masuk sekolah dan akhirnya mendapat tugas mencabuti rumput di taman kelas, misalnya, merupakan tanggung jawab yang harus diterimanya dari guru.
Dalam konteks itu, mereka akhirnya  mengetahui bahwa konsekuensi terlambat masuk sekolah adalah ikut merawat taman kelas. Hal demikian merupakan salah satu cara  memperkuat rasa tanggung jawab anak terhadap perilaku dan sikap dirinya.
Anak yang menumpahkan air di lantai kamarnya dan akhirnya mendapat tugas mengepelnya merupakan tanggung jawab yang harus diterimanya dari orangtua. Itu pun merupakan cara memperkuat rasa tanggung jawab anak terhadap perilaku dan sikap dirinya.
Memperkuat rasa tanggung jawab dalam diri anak dengan demikian bagian yang harus dilakukan oleh orangtua di rumah dan guru di sekolah. Sehingga semakin jelas bahwa yang menjadi tanggung jawab orangtua dan guru adalah membangun rasa (baca: sikap) tanggung jawab anak.
Itu sebabnya, orangtua dan guru justru harus bekerja sama dalam mengawal anak agar lambat laun tetapi pasti dalam diri anak terbentuk sikap tanggung jawab yang semakin tinggi.
Dengan begitu, anak semakin memiliki kesadaran yang tinggi bahwa setiap perilaku dan sikap dirinya menjadi tanggung jawabnya sendiri. Sehingga, anak akan semakin berhati-hati dalam berperilaku dan bersikap, di mana dan kapan pun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI