Kurikulum Prototipe pastilah dirancang sebaik mungkin untuk pendidikan masyarakat Indonesia pada masa sekarang agar lahir generasi-generasi yang andal.
Memang selalu ada pro dan kontra. Fenomena semacam itu sejak zaman dahulu, selalu ada pihak yang setuju; ada pihak yang tidak, kalau ada perubahan. Biasa. Bahkan, tak sedikit ada pihak yang selalu memiliki kesan, "Setiap ganti menteri ganti kebijakan. Setiap ganti Menteri Pendidikan, ganti kurikulum pendidikan". Hehehe!
Ya, begitu kesan yang ada. Karena memang nyaris semacam itu kenyataan yang terjadi, dari dahulu hingga kini, sudah ada sepuluh kali perubahan kurikulum, yaitu Kurikulum 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan 2013.Â
Sekadar mencatatkan saja, selama waktu itu hingga kini, menteri yang menangani pengajaran atau pendidikan sudah berganti sebanyak 40-an kali.
Kini, Mas Menteri, Nadiem Anwar Makarim, menteri terkait ke-44, mencetuskan Kurikulum Prototipe, yang diberlakukan hingga 2024 dan selanjutnya dievaluasi. Sudah banyak pihak yang mengulas kurikulum tersebut. Ada pihak yang melihat sisi positif kurikulum tersebut; ada yang melihat sisi negatifnya; ada yang melihat secara netral saja.
Bagi saya, semua kurikulum, termasuk Kurikulum Prototipe adalah karya "terbaik" anak bangsa yang sesuai dengan konteksnya.Â
Lalu, mengapa setiap ada perubahan kurikulum, kurikulum yang sebelumnya kok dianggap "kurang"?
Alasannya adalah pelaku-pelaku di lapangan belum sepenuhnya dapat mengimplementasikan sesuai dengan gagasan pencetus.Â
Guru-guru yang berhadapan langsung dengan siswa yang harus mempraktikkan belum menguasai seutuhnya gagasan "terbaik" dalam kurikulum. Sebab, tidak mudah mengupayakan semua guru -tanpa terkecuali- menguasai gagasan "terbaik" itu dalam waktu yang pendek.
Memang benar bahwa sebelum diberlakukan untuk semua sekolah, kurikulum sudah diujicobakan.Â
Pertanyaannya, sudahkah semua guru yang ada di sekolah uji coba menguasainya? Siapa yang berani menjamin bahwa semua guru di sekolah uji coba sudah menguasai?