Syariat Islam tidak secara pasti memberi batasan umur bagi lelaki dan perempuan yang hendak menikah. Syariat hanya mengisyaratkan, bahwa pernikahan dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan keluarga sakinah mawadah warahmah; dan bahwa pernikahan menimbulkan konsekuensi hak serta kewajiban bagi masing-masing pihak.
Dalam praktiknya, pernikahan akan menimbulkan peluang kemudharatan apabila calon pengantin belum memiliki kesiapan yang memadai. Di antaranya adalah kesiapan mental spiritual, kesiapan ilmu pengetahuan dan serta kesiapan psikologis. Bukan sekedar hitungan umur dan tercapainya tanda-tanda baligh.
Misalnya seorang lelaki usia 12 tahun menikah dengan seorang perempuan usia 10 tahun. Keduanya sudah baligh, ditandai dengan ihtilam (mimpi basah) pada laki-laki dan menstruasi pada perempuan. Pertanyaan pentingnya adalah, apakah keduanya sudah siap menghadapi peran dan tugas menunaikan hak serta kewajiban pernikahan? Di zaman sekarang, sangat diragukan.
Untuk itu, membahas batas umur pernikahan menjadi salah satu cara untuk memberikan rambu-rambu bagi setiap warga negara. Bahwa pernikahan--meskipun tidak dibatasi dengan angka spesifik dalam syariat Islam, harus dilakukan ketika telah mencapai kondisi kesiapan yang memadai. Karena nilai kesiapan sangat relatif, maka diatur dengan ketentuan batas umur.
Dalam forum Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama (NU) di Makasar 22-27 Maret 2010 yang lalu, telah disepakati bahwa jumhur ulama tidak memberikan batasan secara spesifik terkait usia pernikahan. Akan tetapi, forum Muktamar menekankan agar pernikahan dilakukan setelah usia baligh, yang telah cukup umur dengan asumsi kemaslahatan.
Hal ini sejalan dengan pemahaman umumnya ulama madzhab Syafi'i. Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab "Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh" menukilkan pendapat ulama madzhab Syafi'i, yang menekankan pentingnya nilai kemaslahatan dalam pernikahan, "Begitu pula dalam menikahkan gadis kecil, ulama Syafi'iyah mensyaratkan terdapat kemaslahatan".
Untuk itulah, Pemerintah Republik Indonesia --sebagaimana pemerintah di negara lainnya, mengatur batas umur pernikahan, agar tercipta kemaslahatan dan menghindari kemudharatan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberikan pembatasan mengenai usia pernikahan.
Sebelumnya, dalam UU nomor 1/1974 tentang Perkawinan, batas umur perkawinan dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pasal 7 ayat (1) dinyatakan: "Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun".
Pembedaan umur berdasarkan jenis kelamin inilah yang direvisi pada UU nomor 16/ 2019. Dalam pasal 7 ayat (1) UU nomor 16/2019 dinyatakan: "Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun". Dengan demikian, umur minimal untuk menikah adalah 19 tahun tanpa membedakan jenis kelamin.
Umur 19 tahun dianggap sebagai batas umur yang memungkinkan seorang lelaki maupun perempuan telah memiliki kesiapan yang memadai untuk menanggung konsekuensi dan tanggung jawab pernikahan. Sebelum umur 19 tahun, dikhawatirkan belum muncul kedewasaan psikologis pada calon pengantin.
Bagaimana jika ada lelaki atau perempuan yang hendak menikah namun belum mencapai umur 19 tahun? Telah disediakan solusi dalam UU nomor 16/2019, dalam bentuk permintaan dispensasi.
Dalam pasal (7) ayat (2) UU nomor 16/2019 dinyatakan: "Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup".
Meskipun undang-undang memberi batas umur 19 tahun, akan tetapi masih ada ketentuan tentang izin orangtua bagi yang belum berumur 21 tahun. Pasal 6 ayat (1) UU no 1/1974 dinyatakan: "Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua".
Hal ini menandakan, lelaki dan perempuan baru dianggap dewasa dan berhak memutuskan untuk dirinya sendiri apabila berumur 21 tahun. Di sinilah letak salah satu persoalan hukum di Indonesia, yaitu terkait dengan batasan usia dewasa.
Dalam beberapa Undang-undang dan produk hukum di Indonesia, terdapat perbedaan mengenai batasan usia dewasa seseorang. Beberapa menetapkan umur legal Indonesia adalah usia 21 tahun, sementara yang lainnya menetapkan usia 18 tahun. Ketidakseragaman penentuan umur legal Indonesia atau usia dewasa seseorang ini juga dapat ditemui dalam berbagai putusan hakim (Renie Aryandani, 2024).
Untuk itulah, setiap lelaki dan perempuan lajang harus meneliti kondisi diri sendiri dengan seksama. Ada ukuran-ukuran objektif tentang kesiapan menikah; namun  juga terdapat ukuran subjektif. Ukuran subjektif hanya bisa diketahui dengan pasti oleh setiap pribadi.
Tanyakan kepada diri sendiri, benarkah aku sudah siap menikah dengan menanggung segala konsekuensinya? Jika masih ragu, persiapkan diri sebaik-baiknya. Jangan menikah dalam kondisi ragu-ragu.
Bahan BacaanÂ
Alhafiz Kurniawan, Batas Minimal Usia Menikah dalam Islam, https://islam.nu.or.id, 12 November 2021
Renie Aryandani, Ragam Ketentuan Usia Dewasa di Indonesia, https://www.hukumonline.com, 11 Maret 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI