Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masjid Al-Ghozali Yogyakarta, Menuju Ramah Difabel

17 Desember 2021   07:23 Diperbarui: 18 Desember 2021   02:16 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kita mampir shalat dulu di masjid itu ya Mas", ungkap saya kepada mas Aji "Mylio", seorang difabel yang menggunakan kursi roda untuk beraktivitas. Kami tengah berada dalam perjalanan mengendarai mobil.

"Jangan Pak Cah," jawabnya.

Saya terhenyak dengan jawaban ini. "Kenapa Mas?" tanya saya penasaran. Mengapa ia tidak mau mampir ke masjid untuk shalat?

"Masjid ini tidak ramah difabel. Saya tidak bisa ke toilet, wudhu dan ke ruang utama masjid. Tidak ada sarana untuk orang seperti saya", ujarnya.

Masyaallah. Saya benar-benar terkejut dengan jawaban ini. Ternyata ada sangat banyak masjid yang tidak ramah difabel. Seakan yang boleh ke masjid hanyalah mereka yang memiliki fisik lengkap dan 'normal'.

"Nanti sekitar 500 meter lagi dari sini, ada masjid yang ramah difabel", lanjut mas Aji. Saking sedikitnya masjid ramah difabel, ia sampai hafal di mana saja masjid yang welcome terhadap orang seperti dirinya.

Sayapun mengikuti arahannya. Ia tunjukkan sebuah masjid yang kami lewati di perjalanan. "Nah, kita shalat di sini Pak Cah", ujar mas Aji. Kamipun berhenti menepi, di halaman masjid.

Saya segera membantu mengeluarkan kursi roda mas Aji dari bagasi belakang mobil. Lalu saya dorong mendekat ke pintu mobil. Mas Aji turun dari mobil, berusaha menjangkau kursi rodanya.

Setelah berada di kursi roda, saya mendorongnya menuju masjid. "Pak Cah biarkan saya menggunakan kursi roda sendiri. Biar Pak Cah tahu, bahwa di masjid ini saya bisa melakukan semuanya sendiri, tanpa harus dibantu orang lain", ujar mas Aji.

Benar saja. Dengan cekatan mas Aji mengayuh kursi rodanya dengan tangan, menuju toilet. Ia bisa menggunakan toilet dengan leluasa. Usai dari toilet, ia menuju tempat wudhu, dan bisa berwudhu tanpa harus dibantu untuk menghidupkan dan mematikan kran air.

Selesai berwudhu ia segera menuju ruang utama masjid. Rupanya mas Aji sudah hafal. Ia 'memarkir' kursi rodanya di sebelah pintu masjid --yang memang sudah didesain untuk kelompok difabel. Dengan cekatan ia turun dari kursi roda menuju ruang utama masjid untuk shalat berjama'ah --dengan cara duduk, tentu saja.

Pengalaman menemani mas Aji mencari masjid ramah difabel sungguh berkesan bagi saya. Hingga saya memiliki tekad, jika suatu ketika Allah berikan kesempatan saya untuk membangun masjid --atau mendesain masjid, saya akan pastikan menjadi masjid ramah difabel.

Difabel dan Disabilitas

Sebenarnya, siapakah yang dimaksud difabel? Kata difabel berasal bahasa Inggris, different ability, yang memiliki makna 'kemampuan berbeda'. Difabel dipahami sebagai seorang yang memiliki kemampuan dalam menjalankan aktivitas secara berbeda, dibandingkan dengan orang kebanyakan. Difabel belum tentu mengalami cacat atau disabled.

Sedangkan istilah disabilitas atau disability berarti kehilangan kemampuan atau cacat. Penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama.

Dalam berinteraksi dengan lingkungan dan masyarakatnya, mereka dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Penjelasan di atas dikutip dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Dalam terminologi hukum, istilah disabilitas digunakan untuk menggantikan kata cacat. Seiring berjalannya waktu, kata disabilitas banyak diganti dengan difabel yang dianggap lebih halus dan sopan. Hanya saja dalam konteks perundangan, kata baku yang digunakan adalah disabilitas. Sedangkan istilah difabel biasa digunakan untuk percakapan atau kosa kata sehari-hari.

Menurut Resolusi PBB Nomor 61/106 tanggal 13 Desember 2006, penyandang disabilitas merupakan setiap orang yang tidak mampu menjamin oleh dirinya sendiri, seluruh atau sebagian, kebutuhan individual normal dan/atau kehidupan sosial, sebagai hasil dari kecacatan mereka, baik yang bersifat bawaan maupun tidak, dalam hal kemampuan fisik atau mentalnya.

Menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, penyandang cacat/disabilitas merupakan kelompok masyarakat rentan yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

Menurut UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, penyandang cacat/disabilitas digolongkan sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial.

Menurut UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari, penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik dan mental.

Menurut UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Menurut UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, penyandang disabilitas dikategorikan menjadi tiga jenis, yatu cacat fiisik, cacat mental, dan cacat ganda atau cacat fisik dan mental.

Menurut Pasal 41 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur bahwa setiap penyandang cacat/disabilitas, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.

Berdasarkan hal tersebut maka penyandang cacat/disabilitas berhak atas penyediaan sarana aksesibilitas yang menunjang kemandiriannya, kesamaan kesempatan dalam pendidikan, kesamaan kesempatan dalam ketenagakerjaan, rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Menuju Masjid Ramah Difabel

Pada tahun 2019 lalu, saya mendapat kesempatan menjadi ketua panitia pembangunan sebuah masjid di wilayah Banguntapan, Bantul, DIY. Masjid ini, yang kemudian diberi nama Masjid Al-Ghozali, benar-benar dirancang seramah mungkin terhadap difabel. Pengalaman berkesan bersama mas Aji cukup menjadi pelajaran.

Kami meminta advice kepada mas Aji dalam proses perancangan dan pembangunan masjid. Akses perjalanan dari halaman masjid, menuju toilet, tempat wudhu dan ruang utama masjid, benar-benar dirancang untuk memudahkan kaum difabel. Bahkan hal-hal sepele, seperti bentuk kran dan bentuk gagang pintu toilet. Semua harus ramah difabel.

Alhamdulillah, meskipun masjid belum selesai proses pembangunannya, namun berbagai kemudahan akses terhadap difabel sudah dipersiapkan. Kami meminta mas Aji untuk melakukan uji kelayakan, agar bisa dilakukan penyesuaian jika terdapat hal yang masih menyulitkan.

Tentu saja masih perlu banyak penyempurnaan untuk benar-benar menjadi masjid ramah difabel. Namun niat dan upaya sudah kami wujudkan dalam bentuk nyata. Kami berharap, dari waktu ke waktu, semakin banyak fasilitas kemudahan yang bisa dihadirkan Masjid Al-Ghozali bagi kelompok difabel.

Terlebih Masjid Al-Ghozali berlokasi tepat di pinggir jalan raya yang cukup padat kendaraan, memungkinkan dikunjungi banyak pengguna jalan untuk singgah shalat maupun istirahat. Dengan demikian, semua perlu dikondisikan untuk bisa dinikmati oleh semua kalangan.

Saya mendapatkan cerita dari seorang teman, saat memulai proses pembangunan masjid di kampungnya, ia mengusulkan agar didesain untuk ramah difabel. Namun usulannya ditolak oleh panitia pembangunan, dan tak ada yang mendukung ide tersebut. Alasan penolakannya, "Di kampung kita ini tidak ada difabel".

Sebuah alasan yang sungguh tidak manusiawi. Pertama, bukankah masjid tidak pernah pilih kasih --bahwa masjid hanya boleh digunakan untuk warga kampung saja? Bukankah masjid itu rumah Allah --untuk semua hamba Allah yang beriman kepadaNya?

Meskipun di kampung itu tidak ada difabel, namun jika ada tamu atau pendatang yang ingin shalat di masjid tersebut, apakah tidak diperbolehkan? Jika tamu atau pendatang tersebut difabel, apakah tidak diperkenankan?

Kedua, tak ada satupun manusia menghendaki dirinya mengalami disabilitas. Namun terkadang kondisinya tidak bisa memilih. Bagaimana dengan anak-anak yang lahir dalam kondisi tidak lengkap anggota tubuhnya?

Memang benar saat ini di kampung tersebut tak ada yang difabel. Namun siapa yang bisa menjamin bahwa untuk selamanya warga kampung tersebut tak ada difabel? Tak satupun manusia bisa memberi jaminan.

Maka sudah selayaknya setiap masjid berusaha menuju kondisi ramah difabel. Berikan keleluasaan kepada semua hamba Allah yang beriman untuk bisa beribadah dengan nyaman di masjid. Termasuk kaum difabel. Bukankah kita tidak mau jika diminta menggantikan posisi difabel mereka? Karena difabel bukan pilihan.

***

Sumber Bacaan:

Joe Michael Reynolds, The Meaning of Ability and Disability, The Journal of Speculative Philosophy, Januari 2019, DOI:10.5325/jspecphil.33.3.0434, diakses dari https://www.researchgate.net

Kompas, Apa Perbedaan Difabel dengan Disabilitas? https://www.kompas.com, 30 Agustus 2021

Rosdiana Sitompul, Mempersoalkan "Disabilitas" dan "Difabel", https://www.kompas.com, 14 Desember 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun