Sebuah alasan yang sungguh tidak manusiawi. Pertama, bukankah masjid tidak pernah pilih kasih --bahwa masjid hanya boleh digunakan untuk warga kampung saja? Bukankah masjid itu rumah Allah --untuk semua hamba Allah yang beriman kepadaNya?
Meskipun di kampung itu tidak ada difabel, namun jika ada tamu atau pendatang yang ingin shalat di masjid tersebut, apakah tidak diperbolehkan? Jika tamu atau pendatang tersebut difabel, apakah tidak diperkenankan?
Kedua, tak ada satupun manusia menghendaki dirinya mengalami disabilitas. Namun terkadang kondisinya tidak bisa memilih. Bagaimana dengan anak-anak yang lahir dalam kondisi tidak lengkap anggota tubuhnya?
Memang benar saat ini di kampung tersebut tak ada yang difabel. Namun siapa yang bisa menjamin bahwa untuk selamanya warga kampung tersebut tak ada difabel? Tak satupun manusia bisa memberi jaminan.
Maka sudah selayaknya setiap masjid berusaha menuju kondisi ramah difabel. Berikan keleluasaan kepada semua hamba Allah yang beriman untuk bisa beribadah dengan nyaman di masjid. Termasuk kaum difabel. Bukankah kita tidak mau jika diminta menggantikan posisi difabel mereka? Karena difabel bukan pilihan.
***
Sumber Bacaan:
Joe Michael Reynolds, The Meaning of Ability and Disability, The Journal of Speculative Philosophy, Januari 2019, DOI:10.5325/jspecphil.33.3.0434, diakses dari https://www.researchgate.net
Kompas, Apa Perbedaan Difabel dengan Disabilitas? https://www.kompas.com, 30 Agustus 2021
Rosdiana Sitompul, Mempersoalkan "Disabilitas" dan "Difabel", https://www.kompas.com, 14 Desember 2019