Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apakah Menantu Wajib Menafkahi Mertua?

6 Oktober 2021   08:46 Diperbarui: 6 Oktober 2021   08:49 5917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.bbc.com/

Seperti telah dibahas dalam beberapa postingan sebelumnya, laki-laki adalah penanggung jawab nafkah keluarga. Jika seorang lelaki menikah, ia wajib menafkahi istri dan anak-anaknya. Ini adalah hukum asal dalam pembagian peran kehidupan berumah tangga.

Namun ada kondisi tertentu dimana kedua orangtua sudah renta, fakir dan tidak mampu bekerja. Atau belum tua renta, namun fakir karena kondisi dirinya tidak memungkinkan untuk bekerja, misalnya karena sakit berat. Dalam kondisi seperti ini, maka anak-anak yang harus menanggung nafkah kedua orangtua.

Siapa yang Wajib Menafkahi Mertua?

Bagaimana dengan mertua yang fakir? Apakah ada kewajiban bagi menantu laki-laki atau menantu perempuan untuk memberikan nafkah kepada kedua mertua? Mari kita urai dari berbagai segi pendekatan.

Secara teks fikih, mertua tidak termasuk pihak yang wajib ditanggung kebutuhan nafkahnya oleh seorang laki-laki. Suami dalam kehidupan rumah tangga inti (nuclear family), memiliki kewajiban mencukupi nafkah istri dan anak-anak. Sedangkan suami dan istri --sebagai anak, wajib menafkahi kedua orangtua masing-masing, apabila orangtua fakir dan tidak mampu bekerja.

Pada kondisi orangtua tidak mampu memenuhi nafkah sehari-hari, maka anak-anak (kandung) yang wajib memberikan nafkah, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Menantu tidak memiliki kewajiban untuk mencukupi nafkah mertuanya.

Al-Ustadz Idwan Cahyana, Lc menjelaskan dalam situs Konsultasi Syari'ah, apabila seorang istri memiliki harta pribadi --bukan harta suami, yang lebih dari kebutuhannya, maka wajib baginya untuk menafkahi kedua orang tuanya yang fakir. Ibnul Mundzir menjelaskan:

...

"Telah sepakat ahli ilmu bahwa nafkah kedua orang tua yang fakir yang tidak memiliki penghasilan dan tidak memiliki harta adalah sebuah kewajiban pada harta seorang anak. (Al-Mughni: 8/212)

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a., Nabi saw bersabda:

. .

"Sungguh sebaik-baik makanan yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya dan sesungguhnya anak dia adalah bagian dari hasil usahanya" (HR. Abu Dawud).

Hadits ini menerangkan bahwa orang tua memiliki hak atas harta anaknya. Menurut Al-Ustadz Idwan Cahyana, boleh bagi kedua orang tua untuk mengambil harta dari anak mereka, dengan beberapa syarat, antara lain:

(a) Mengambil sebatas yang tidak bermudharat bagi anaknya,

(b) Tidak mengambil harta yang berkaitan dengan kebutuhan anak,

(c) Tidak mengambil untuk diberikan kepada anaknya yang lain,

(d) Hanya boleh dilakukan dalam kondisi ketika orang tua membutuhkan saja.

Selanjutnya Al-Ustadz Idwan Cahyana, Lc menjelaskan, seorang anak -baik laki ataupun perempuan wajib menafkahi kedua orang tuanya apabila dalam kondisi (1) kedua orang tua fakir serta tidak mampu bekerja, (2) anak berkecukupan dan memiliki harta yang lebih dari kebutuhannya.

Akan tetapi telah terjadi perselisihan dikalangan para ulama siapakah yang wajib menafkahi kedua orang tua apabila memiliki anak laki-laki dan perempuan. Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni berpendapat:

. : : .

"Jika berkumpul anak laki-laki dan perempuan, maka nafkah antara keduanya dibagi sepertiga bagian seperti dalam warisan. Telah berkata Abu Hanifah: nafkah atas keduanya sama. Berkata Syafi'i: nafkah itu atas anak laki-laki, karena ia adalah ashabah (ahli waris yang bagiannya tidak ditentukan)."

Maksud dari "antara keduanya dibagi sepertiga bagian seperti dalam warisan" yaitu karena dalam warisan bagian satu orang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. Misalnya orang tua yang memiliki satu anak laki-laki dan satu anak perempuan maka anak laki-laki wajib memberikan nafkah dua pertiga bagian dan anak perempuan sepertiga bagian.

Apabila memiliki satu anak laki-laki dan dua anak perempuan maka nafkah dibagi empat bagian dua bagian atas anak laki-laki dan dua bagian atas dua anak perempuannya. Dan begitu seterusnya. Ini adalah tanggungan yang bernilai wajib.

Akan tetapi apabila salah satu dari mereka telah mencukupi nafkah orang tuanya maka gugur kewajiban nafkah atas saudara yang lain, dan baginya pahala di sisi Allah Ta'ala. Artinya, tidak perlu pembagian-pembagian tanggung jawab seperti ketentuan di atas, karena sudah dicukupi oleh salah satu anak yang mampu.

Atau bisa juga semua anak bersepakat dengan jumlah tertentu atas masing-masing mereka, untuk memberikan kecukupan nafkah orang tua. Jika semua anak rela atas jumlah yang disepakati tersebut, maka mereka secara kolaboratif menanggung nafkah orangtua yang fakir.

Membahagiakan Istri, Membahagiakan Mertua

Terlepas dari kewajiban yang telah diatur oleh fikih sebagaimana penjelasan di atas, ada hal lain yang tak boleh diabaikan oleh suami dan istri. Jika suami bekerja dan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, sementara istri tidak bekerja demi mengurus anak-anak di rumah, sudah sepatutnya suami memberikan perhatian untuk kecukupan istri dan mertua.

Meskipun hal ini bukan merupakan kewajiban personal secara fikih, namun ada kewajiban moral bagi menantu untuk membantu mertua dalam kecukupan nafkah. Apabila seorang suami memiliki kemampuan secara ekonomi, hendaknya ia ringan dalam memberikan bantuan nafkah kepada mertua.

Istri tidak bekerja, sehingga tidak memiliki harta milik sendiri yang bisa digunakan untuk membantu kebutuhan orangtua. Pasti akan sangat menjadi beban bagi sang istri, apabila orangtuanya fakir dan sudah tidak mampu bekerja, sementara ia adalah anak satu-satunya dalam keluarga itu. Hendaknya sang suami bermurah hati --bukan karena kewajiban fikih, namun karena kewajiban moral---untuk menafkahi mertua.

Bukan hanya karena sang istri anak tunggal, bahkan seandainya ia memiliki lima saudara kandung. Ketika kedua orangtua istri dalam kondisi fakir, pasti ia tidak akan tega jika tidak ikut membantu mencukupi nafkah kedua orangtua. Terlebih saat lima saudara yang lain sama-sama berada dalam keadaan yang juga tidak mampu.

Di sinilah indahnya berbagi. Jika suami bermurah hati memberikan bantuan nafkah kepada kedua mertua yang fakir, tentu akan sangat membahagiakan bagi mertua, dan membahagiakan bagi sang istri. Sang istri merasa dicintai, dimuliakan, dihargai dan dibutuhkan. Bantuan nafkah suami kepada keluarga besar istri, akan menjadi pupuk keharmonisan, kebahagiaan dan keberkahan rumah tangga mereka.

Bahan Bacaan

Al-Ustadz Idwan Cahyana, Lc., Menantu Tidak Berkewajiban Menafkahi Mertua? https://konsultasisyariah.com, diakses 5 Oktober 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun