Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Manajemen Konflik Menantu - Mertua

27 Agustus 2021   07:20 Diperbarui: 27 Agustus 2021   07:26 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://caregiver.com/

The conflict often arises from an assumption that each is criticising or undermining the other woman. But this mutual unease may have less to do with actual attitudes and far more to do with persistent female stereotypes that few of us manage to shake off completely" -- Terri Apter, What Do You Want from Me?

Dalam buku What Do You Want from Me? Terri Apter, psikolog dan dosen senior di Newnham College, Cambridge, menyatakan, konflik yang terjadi antara ibu mertua dan menantu perempuan muncul karena asumsi bahwa masing-masing pihak mengritisi atau meremehkan pihak lain.

"Tetapi kegelisahan timbal balik ini mungkin kurang berkaitan dengan sikap yang sebenarnya, dan lebih berkaitan dengan stereotip wanita yang gigih yang hanya sedikit dari kita yang berhasil menghilangkannya sepenuhnya", ujar Terri Apter (dalam: Ayelet Waldman, 2009).

Demikianlah konflik antara menantu dan mertua telah menghiasi kisah keluarga di berbagai belahan dunia. Ternyata, banyak konflik yang bermula dari asumsi. Mertua dan menantu saling mengasumsikan bahwa pihak lain tengah mengritisi atau meremehkan dirinya. Betapa simpel sebenarnya akar persoalan di antara mereka.

Bagaimana semestinya menantu dan mertua membangun sikap yang positif dalam menyikapi konflik? Berikut beberapa hal penting untuk dibangun bersama antara menantu dan mertua.

Sebelum Terjadi Konflik

Hubungan menantu dengan mertua tentu tidak selamanya berada dalam suasana konflik. Tatkala suasa sedang baik-baik saja, tidak berada dalam situasi konfli, hal-hal berikut hendaknya bisa dilakukan.

  • Berusaha Saling Memahami

Hendaknya mertua dan menantu berusaha saling memahami. "Pasangan yang sehat (healthy couple) menghadapi mertua dengan jalan memahami bahwa mereka adalah manusia yang berbeda, dengan sifat yang berbeda," ungkap Cathy Siebold, seorang psikoanalis yang juga pengajar di New York City.

"Keluarga memiliki budayanya sendiri," kata Meredith Hansen, Psy.D, seorang psikolog klinis di Newport, California. "Pasangan yang sehat memahami bahwa budaya ini bukan dalam konteks buruk atau salah, tetapi berbeda."

Saling memahami adalah jembatan yang sangat bagus untuk mengembangkan hubungan yang harmonis. Tanpa usaha saling memahami, semua akan cenderung mengembangkan asumsi.

  • Berusaha Merekatkan Hubungan

Ada sangat banyak hal yang bisa merekatkan hubungan menantu dengan mertua. "Mengolah kesulitan dalam kata-kata adalah salah satu alat terpenting yang dimiliki pasangan untuk berurusan dengan mertua," ungkap Diane Barth, seorang psikoterapis dan psikoanalis di New York City.

"Mereka berbicara tentang posisi mereka sendiri. Mereka saling mendengarkan. Mereka bersimpati dengan perasaan satu sama lain", lanjut Diane Barth. Ini adalah tentang proses komunikasi sebagau upaya untuk merekatan hubungan baik satu dengan yang lain.

Meskipun mungkin terasa sulit dan kaku dalam proses mengolah kata-kata, namun ini adalah hal sangat penting dalam usaha merekatkan hubungan. Pilih kosa kata yang akan cenderung merekatkan hubungan.

  • Berusaha Menjauhi Titik Perselisihan

Ada hal-hal sensitif yang apabila dilakukan akan menjadi hal sensitif di antara menantu dan mertua. Hendaknya kedua belah pihak berusaha membatasi diri, agar bisa menjauhi titik perselisihan.

"Cari tahu batasan yang ingin Anda tetapkan dengan mertua", ungkap Meredith Hansen, Psy.D. Misalnya, jika ibu mertua Anda mengambil alih urusan dapur setiap kali dia berkunjung, bicarakan dengan pasangan Anda. "Lakukan percakapan yang sopan, tetapi jelas dengannya tentang masalah ini," lanjut Hansen.

Menurut Hansen, Anda dapat menyampaikan kalimat seperti ini, "Kami sangat senang ibu membantu kami memasak. Kami juga tahu bahwa ibu sangat menikmatinya. Namun kami menghargai jika ibu mengizinkan Mary mengurus dapur kami. Jika ibu ingin membantu, Mary akan sangat senang jika ibu membuat salad untuk makan malam nanti."

  • Membangun Sebanyak Mungkin Titik Temu

Hendaknya menantu dan mertua membangun dan menemukan sebanyak mungkin titik temu. "Ingatlah bahwa sebagian besar dari apa yang diberitahukan mertua kepada Anda adalah opini, bukan kebenaran," ujar Cathy Siebold, seorang psikoanalis yang juga pengajar di New York City.

Siebold menjelaskan, jika ibu mertua mengatakan Anda harus memberi balita Anda makanan yang berbeda, ingatlah bahwa Anda tidak harus mengikutinya, membantahnya atau menganggapnya sebagai kritik terhadap Anda. "Anda memang tidak bisa menghentikan mertua untuk berbicara, namun Anda dapat mengontrol bagaimana mendengarnya," lanjut Siebold.

Nah, satu sisi mertua berhak untuk memberikan saran atas dasar pengetahuan yang dia miliki. Di sisi lain, menantu tidak harus melakukan semua hal yang disarankan mertua. Ini adalah contoh titik temu yang selalu bisa dikembagkan dalam interaksi menantu dan mertua.

Pada Saat Terjadi Konflik

Meski sudah berusaha menjaga diri, peluang terjadinya konflik menantu dan mertua tetap terbuka. Hal ini karena konflik adalah konsekuensi dari adanya interaksi antara satu orang dengan orang lainnya.

Ketika menantu dan mertua menyadari tengah berada dalam suasana konflik, hendaklah berusaha melakukan hal-hal berikut.

  • Mengembangkan Sifat Sabar

Kesabaran adalah sifat yang mutlak diperlukan dalam membangun hubungan kebaikan. Tanpa kesabaran, menantu dan mertua akan sering berada dalam suasana ketegangan tingkat tinggi. Semua titik interaksi bisa menyulut konflik, jika tidak mengembangkan sifat sabar.

Beruntung bahwa dalam ajaran agama, sabar menjadi tuntunan sifat mulia. Maka kita bisa menjadi lebih mungkin untuk mengembangkan sifat sabar, karena memiliki nilai pahala yang sangat utama. Setiap kesabaran yang kita hadirkan, selalu bernilai pahala. Itu sebabnya tidak ada yang sia-sia, saat memilih untuk berlaku sabar atas sikap yang tidak menyenangkan dirinya.

"Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan" (QS. An-Nahl : 96).

"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas" (QS. Az-Zumar : 10).

  • Saling Menjaga Diri

Menantu dan mertua harus saling mampu menjaga diri untuk tidak saling menyakiti, tidak saling melukai dan tidak saling mengekspresikan kebencian serta permusuhan. Setajam apapun konflik yang sedang terjadi, jagalah diri agar tidak meledak menjadi permusuhan yang merusak hubungan.

Terkadang dalam suasana emosi, manusia sulit mengontrol diri. Semua kekesalan dan kekecewaan diekspresikan dengan kata-kata maupun perbuatan. Sayangnya, kata-kata yang dipilih justru semakin membuat tajam permusuhan. Pilihan kata-kata dipilih yang paling menyakitkan dan paling merendahkan.

Suasana tidak bisa menjaga diri ini, berpotensi merusak hubungan dalam jangka panjang. Hendaknya mertua dan menantu saling bisa menjaga diri di tengah konflik. Berusaha sekuat tenaga meredam emosi dan tidak meluapkan secara semena-mena.

Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, "Siapa yang dikatakan paling kuat di antara kalian?" Sahabat menjawab, "Yaitu yang paling kuat gulat (fisik)nya". Beliau saw bersabda, "Bukan seperti itu, orang yang paling kuat di antara kalian adalah yang paling kuat mengendalikan nafsunya ketika sedang marah" (HR. Muslim).

Nabi saw juga bersabda, "Barangsiapa menahan amarahnya padahal mampu meluapkannya, Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk pada hari Kiamat untuk memberinya pilihan bidadari yang ia inginkan" (HR. Abu Daud dan  Ibnu Majah).

  • Menjauhi Pertengkaran Terbuka

Serumit apapun konflik yang tengah terjadi, jangan pernah menampilkan pertengkaran terbuka, apalagi di muka publik. Tidak patut bagi menantu dan mertua untuk mengembangkan konflik menjadi pertengkaran terbuka. Pada beberapa kalangan, mereka tidak mengenal waktu dan tempat untuk bertengkar, dan saling mencaci dengan suara keras sehingga terdengar tetangga.

Bahkan ada yang membawa konflik ke media sosial. Mertua dan menantu saling menyerang secara terbuka melalui twitter, instagram, facebook, ataupun membuat sindiran melalui tiktok. Tindakan ini jelas membuat konflik menjadi terbuka, diketahui publik. Hal ini akan menjadi beban dalam kehidupan selanjutnya.

  • Duduk Bersama Menemukan Solusi

Jika masalah semakin meruncing, hendaknya bersedia duduk bersama untuk menemukan solusi. Sebagai sesama manusia dewasa, hendaknya bisa berpikir jernih dan berhati bening.

Hendaknya disadari, bahwa dalam setiap konflik, tujuannya bukanlah untuk menunjukkan siapa menang siapa salah, atau siapa benar dan siapa salah. Justru bertujuan untuk mencari penyelesaian masalah yang melegakan dan bisa diterima oleh kedua belah pihak, tanpa ada yang merasa dirugikan.

Maka berpikirlah positif untuk menemukan penyelesaian. Kesediaan untuk duduk dalam suasana tenang, membahas pokok persoalan, dan menemukan solusi, adalah tindakan yang bertanggung jawab dan beradab.

  • Membatasi Wilayah Konflik

Pada saat terjadi konflik, usahakan jangan sampai semakin meluas. Batasi wilayah konflik, jangan memperluas medan konflik dengan melibatkan pihak-pihak yang tidak berkompeten.

Sebagai contoh, pihak mertua mengondisikan semua anak-anaknya untuk ikut membenci dan menyerang menantu. Pihak menantu mengondisikan orangtua dan keluarga besarnya untuk ikut membenci dan menyerang mertua. Tindakan seperti ini sangat destruktif dan cenderung memperumit persoalan.

Tidak perlu menceritakan konflik ini kepada pihak-pihak lain. Dengan demikian, wilayah konflik terukur dan tidak menambah beban permasalahan.

Setelah Selesai Konflik

Sebuah konflik hendaknya bisa diselesaikan dengan baik oleh kedua belah pihak. Setelah konflik berhasil diatasi, hendaknya memperhatikan hal-hal berikut ini.

  • Saling Memaafkan

Hal terbaik setelah usai konflik adalah saling memaafkan. Jangan saling mendendam. Meskipun  terasa berat meminta dan memberi maaf, namun memaafkan adalah sebuah prasyarat untkmendapatkan kehidupan yang tenang dan membahagiakan.

Manusia yang tidak bisa memaafkan kesalahan orang lain, akan cenderung  hidup dalam kesengsaraan. Hatinya dipenuhi dendam dan amarah tak berkesudahan. Jiwanya diliputi benci dan permusuhan. Hidupnya tidak akan tenang, dan bisa menghadirkan banyak penyakit dalam tubuhnya.

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa; (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan" (QS. Ali Imran : 133 -- 134).

  • Tidak Mengungkit yang Telah Berlalu

Tanda telah memaafkan adalah tidak mengungkit persoalan yang telah berlalu. Terkadang satu konflik sudah terselesaikan dengan solusi yang baik. Namun masih ada residu yang mengganggu, karena masih sering diungkit dalam kehidupa keseharian.

"Dulu kami memperlakukan aku dengan buruk", kalimat seperti ini jika dituruti tidak akan ada habisnya. Selalu menggunakan kata "dulu", seakan tidak pernah terhapuskan. Jika memang sudah mampu memaafkan, semestinya tidak lagi mengungkit hal-hal yang telah berlalu.

Bersikaplah tawadhu (rendah hati) terhadap yang lain. Setelah memaafkan, jangan lagi mengungkit-ungkit hal yang telah berlalu. Barangsiapa yang mampu memaafkan dan bersifat rendah hati, kemuliaan akan didapatkannya, dunia dan akhirat.

Nabi saw bersabda, "Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin membuatnya mulia. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu' (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya" (HR. Muslim).

  • Membangun Hubungan yang Lebih Baik

Setelah selesai dari satu konflil, berikutnya mertua dan menantu harus berusaha membangun hubungan yang lebih baik. Belajar dari pengalaman yang pernah terjadi, mereka bisa menjauhi sebab-sebab konflik berulang. Mereka bisa mengembangkan kesabaran yang lebih lapang.

Masing-masing pihak semakin pandai memilih kata-kata dan kalimat yang tidak menyakitkan. Masing-masing pihak belajar untuk memperlakukan pihak lain dengan cara yang lebih tepat. Jangan sampai konflik telah berlalu, namun hubungan tidak kunjung membaik.

"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar" (QS. Fushilat: 34-35).

  • Masing-masing Melakukan Evaluasi

Belajar dari konflik yang pernah terjadi, hendaknya masing-masing dari menantu dan mertua saling melakukan evaluasi diri. Ambil pelajaran terbaik agar tidak terjadi kasus yang berulang. Mungkin ada sikap atau perbuatan yang menyinggung pihak lain. Mungkin ada asumsi berlebihan yang memicu kebencian.

Evaluasi dilakukan ke dalam diri sendiri. Tidak perlu mengevaluasi pihak lain, karena akan semakin banyak menemukan kekurangan pihak lain. Lebih baik mengevaluasi diri sendiri agar semakin banyak menemukan kekurangan diri, untuk diperbaiki. Ini adalah sikap mulia, beradab dan bermartabat.

Seorang ulama besar, Al-Fudhail bin 'Iyadh menyatakan, "Orang beriman itu rajin menghisab (mengevaluasi) dirinya dan ia mengetahui bahwa ia akan berada di hadapan Allah kelak. Sedangkan orang munafik adalah orang yang lalai terhadap dirinya sendiri. Semoga Allah merahmati seorang hamba yang terus mengoreksi dirinya sebelum datang malaikat maut menjemputnya."


Bahan Bacaan

Ayelet Waldman, Why Wives are Programmed to Fight Their Mothers-in-Law? 6 Agustus 2009, https://www.dailymail.co.uk/

Muhammad Abduh Tuasikal, Cara Muhasabah Diri, 22 Desember 2017, www.rumaysho.com

Psych Central, How Healthy Couples Deal with Their In-Laws, 8 Oktober 2013, https://psychcentral.com/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun