Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jangan Membiasakan Memupuk "Bully" kepada Pasangan

31 Juli 2019   09:31 Diperbarui: 31 Juli 2019   20:43 1378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Jess Golden

"Hai Gendut, sudah masak belum? Aku pengen sarapan nih..." ujar seorang suami kepada sang istri.

"Dasar pemalas. Kerjanya molor sama makan doang..." jawab sang istri.

Kalimat-kalimat kasar penuh ejekan dan bullying terlontar setiap hari di antara mereka berdua. Namun mereka berdua tertawa-tawa saja, dan tidak menjadi marah ketika disebut si gendut atau si pemalas. Mereka menjadikan ejekan dan bullying sebagai humor serta canda tawa dalam kehidupan keseharian berumah tangga. Sehatkah kondisi ini?

"Saya dan istri biasa saling mengejek dan membully. Kami jadikan ejekan dan bullyan sebagai candaan di antara kami. Makanya kami tidak tersinggung mendapat ejekan dan bullyan setiap hari, karena kami mengetahui itu hanyalah candaan di antara kami," ujar seorang suami.

"Saya tidak marah kalau diejek suami, sebagaimana suami saya tidak marah ketika saya mengejeknya. Ejekan di antara kami adalah candaan sehari-hari," tambah sang istri, membenarkan penjelasan suami.

Benarkah ejekan dan bullyan di antara suami dan istri tidak menimbulkan masalah? Bisakah ejekan dan bullyan dianggap hanya sebagai canda tawa yang menghibur di antara mereka berdua? Eh, sebentar. Jangan cepat-cepat membenarkan penjelasan mereka berdua. Mari kita cermati fenomena "banjir bully" dan "banjir ejekan" antara suami dan istri.

Menabung Racun
Mengapa pasangan suami istri tersebut tidak saling tersinggung saat mereka bercanda dengan saling mengejek dan saling membully? Ada dua jawaban untuk menjelaskan kondisi ini. 

Pertama, karena mereka sama-sama mengerti bahwa itu tidak serius dan hanya bercanda. Oleh karena cuma bercanda, maka tak perlu tersinggung jika mendapat ejekan dan bullyan. 

Kedua, karena saat mereka saling mengejek dan saling membully itu, suasana kejiwaan mereka tengah berada dalam "good mood" alias mood yang baik.

Persoalannya adalah, situasi dan kondisi kehidupan suami istri selalu dinamis, tidak pernah tetap. Ada kalanya mereka berdua terlibat dalam perseteruan yang sangat "ganas". Suasana hubungan mereka menjadi sensitif. 

Semua pembicaraan menjadi tidak nyambung bahkan memicu emosi serta kemarahan. Kejiwaan mereka berubah menjadi bad mood terhadap pasangan. Pada titik seperti inilah mereka tidak bisa lagi bercanda dengan saling mengejek dan saling membully.

Bukan saja mereka tak bisa saling mengejek, namun seluruh ejekan dan bullyan yang telah biasa mereka lakukan selama ini, berubah menjadi sesuatu yang sangat menyakitkan. 

Semua dihubung-hubungkan, semua dikait-kaitkan, seakan-akan terkait dengan kondisi terkini yang tengah mereka hadapi. Padahal di masa terdahulu, mereka menjadikan ejekan dan bullyan sebagai bahan canda tawa saja, tidak ada masalah apa-apa. 

Setelah mulai ada masalah, barulah mereka merasakan, selama ini telah menabung racun dalam jumlah yang cukup besar.

Jadi, pasangan suami istri yang terbiasa dengan saling mengejek dan membully itu pada dasarnya menabung racun dalam kehidupan pernikahan mereka. 

Pada saat suasana happy, suasana good mood, maka semua tampak baik-baik saja, semua tampak lucu. Namun setelah mulai memasuki gelanggang konflik yang sangat sensiitif, semua menjadi bermasalah dan tak bisa lagi menjadi canda tawa.

Jangan Memelihara Racun Pernikahan. Detox Your Marriage!

Menurut John M. Gottman, ada empat perilaku interaksi yang potensial memisahkan jarak antara suami dan istri semakin jauh, yaitu: banyak mengkritik, banyak mencela, menyalahkan pasangan, dan membangun benteng. Ini adalah contoh empat jenis racun yang bisa membahayakan kehidupan pernikahan.

Racun pertama adalah banyak mengkritik pasangan. Semua orang tentu memiliki harapan kepada pasangan, yang terkadang tidak bisa menjadi kenyataan.

Kondisi yang tidak sesuai harapan ini biasa memunculkan banyak kritik terhadap pasangan, yang ditujukan kepada pribadi atau sifat tertentu. Semakin sering pasangan dikritik, semakin tidak nyaman dirinya. Kritik terhadap pasangan akan semakin menjauhkan hubungan, semakin memisahkan jarak di antara mereka berdua.

  • Contoh kritikan: "Abang terlalu banyak waktu untuk tidur, jadinya kurang produktif".

Racun kedua adalah banyak mencela pasangan. Apabila kritikan dirasa tidak mempan, biasanya meningkat menjadi banyak mencela. Suami atau istri mencela, mencibir, menghina, mengejek dan merendahkan pasangan. 

Ini menjadi racun yang sangat mematikan dalam membangun kelekatan dengan pasangan. Banyak kritik terhadap pasangan saja bisa menjauhkan hubungan, apalagi ketika diteruskan dengan banyak mencela.

  • Contoh celaan: "Dasar pemalas, kerjanya cuma makan sama tidur".

Racun ketiga adalah menyalahkan pasangan. Kritik dan celaan tidak menunjukkan hasil perubahan seperti yang diharapkan, maka mulai semakin berani dan sering bersikap menyalahkan pasangan. 

"Ini semua salahmu" atau "Semua gara-gara kamu". Sikap dan perilaku yang selalu menyalahkan pasangan, membuat suasana semakin runyam dan tidak nyaman. Hubungan mereka semakin menjauh, ada jarak yang bertambah lebar memisahkan mereka.

  • Contoh menyalahkan pasangan: "Keuangan keluarga kita masih berat. Ini semua gara-gara Abang tidak mau berusaha".

Racun keempat adalah membangun benteng. Yang dimaksud adalah perilaku untuk menyatakan "Aku tidak seperti yang engkau kira!" atau "Aku tidak seperti itu!" atau "Terserah apa katamu, aku tidak begitu" atau "Aku memang seperti ini dan tidak akan berubah". Seperti tembok atau benteng yang berdiri kaku, untuk menyatakan keakuan diri. 

Setelah banyak mengkritik, banyak mencela, banyak menyalahkan pasangan, ujungnya adalah membangun benteng untuk menunjukkan eksistensi diri di hadapan pasangan.

Empat perilaku ini akan menjadi racun, karena menjadi pemisah jarak antara suami dan istri. Semakin sering empat perilaku ini dijalankan dalam kehidupan, semakin panjang jarak yang terentang memisahkan suami dan istri. Inilah yang menyeret pasangan suami istri masuk dalam kawasan bencana yang berbahaya.

Bersambung

Bahan Bacaan

  • Cahyadi Takariawan. 2016. Wonderful Love. Solo: Era Adicitra Intermedia
  • John M. Gottman & Nan Silver. 2001. Disayang Suami Sampai Mati. Bandung: Kaifa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun