Angin gurun bertiup seperti bisikan pelan dari tanah yang pernah disusupi doa, diam-diam dan tak diundang. Di balik fatamorgana pasir dan panas, terselip nama yang tak sempat pulang: SM.
Ia tidak menulis surat perpisahan. Tidak menitipkan cucian kotor kepada siapa-siapa. Tapi ia sempat mengirim foto kabur lewat WhatsApp: gurun, tiga bayangan tubuh kecil-kecil, dan langit tanpa ampun. Tidak ada caption. Hanya tanda centang biru dan batin yang dibalut firasat buruk.
Sopir taksi itu bahkan tak sempat menatap mata SM saat menurunkannya di tengah padang Jumum. Ia hanya bilang: "Maaf, saya takut tertangkap. Turunlah."
SM turun. Begitu pula dua temannya, J dan S. Seperti debu, mereka dijatuhkan ke bumi oleh kekuasaan yang tak bisa mereka lawan: razia, aparat, sistem, dan ketakutan yang menjelma pasir.
**
"Ini bukan umrah, ini bukan haji, ini niat," kata SM seminggu sebelum berangkat dari Jeddah. Ia telah melewati banyak pintu belakang, menyelinap di antara lorong regulasi dan mimpi. Ia tahu, yang ia langgar bukan hanya undang-undang Arab Saudi, tapi juga kemungkinan hidupnya sendiri.
"Kalau Allah izinkan, kita selamat," katanya lagi.
Tapi langit Makkah tak menjawab doa seperti SMS ke nomor yang tak aktif.
**
Mereka berjalan. Kaki mereka bukan milik Nabi Musa yang membelah laut, hanya milik manusia biasa yang dikhianati taksi, disalip ketakutan, dan dihentikan haus.
Drone aparat Saudi menemukan mereka dari atas. SM terbaring seperti batu tua yang lelah bercerita. Di sisi kirinya, J masih menggenggam botol air kosong. Di sisi kanan, S berusaha bersandar pada bayangan yang bahkan tidak ada.
"Air... air..." kata J, pelan.
Tapi gurun tidak menjual air. Ia hanya menyimpan cerita.
**
Yusron dari KJRI Jeddah menyampaikan berita itu ke keluarga. Kata-katanya lembut dan dingin seperti lemari es: "Diduga kuat akibat dehidrasi."
Keluarga SM menangis. Tapi tetangga mereka hanya berkata, "Lain kali ikut yang prosedural."
**
Pernah, saat SM masih di Kendal, ia menulis di kertas sobekan warung kopi: "Kalau aku mati di sana, tolong sebut namaku di kampung. Biar aku tetap diingat."
Kertas itu dibuang oleh penjaga warung. Tapi Tuhan tidak membuang ingatan.
**
SM akan dimakamkan setelah proses visum selesai. Tapi kisahnya tidak butuh visum untuk menyeberang ke hati siapa saja yang punya saudara, mimpi, dan keyakinan.
**
Gurun itu diam. Tapi diam bukan berarti lupa. Kadang, tanah paling sunyi menyimpan suara paling keras.
Dan nama SM kini ditulis angin. Di antara pasir dan langit yang masih panas.
Ia tidak pulang. Tapi ia tidak hilang.
......
Makassar. 1 Juni 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI