Pak Temu meninggal seminggu kemudian. Bukan karena awan panas. Tapi karena tersedak getuk saat sedang mendongeng. Ia dimakamkan di kaki Semeru, di antara pohon yang sudah dua kali diganti karena tertimpa batu vulkanik.
Dalam nisan sederhana yang ditulis tangan, Farel menambahkan kalimat:
"Ia tahu cara membaca gunung, tapi tak tahu cara berhenti mencintainya."
**
Semeru masih batuk. Abu masih turun. Laporan masih dibuat. Tapi tidak ada yang tahu bahwa gunung itu sesungguhnya sedang menangis.
Bukan karena dirinya yang meletus. Tapi karena setiap letusannya hanya dimaknai sebagai angka.
Seismogram tidak bisa menangkap duka.
PPGA tidak bisa mengukur kehilangan.
Dan negara terlalu sibuk menurunkan status sebelum semua benar-benar padam.
**
Suatu hari, Farel datang ke puncak Semeru. Ia membawa abu dari dapur ibunya. Ia menaburkannya sambil berbisik: