Hari itu Gunung Semeru meletus untuk ke-57 kalinya. Tapi warga Dusun Sumbersari hanya mengangkat alis. Sebagian besar dari mereka lebih takut pada harga pupuk yang naik daripada kolom abu setinggi 1.000 meter.
"Gunung itu seperti kakek yang tak bisa tidur. Tiap malam batuk, kadang mengigau, kadang marah besar," ujar Pak Temu, tetua dusun yang giginya tinggal tiga tapi hafal betul jadwal erupsi sejak zaman Orde Baru.
Di pos pengamatan Gunung Sawur, seismogram berdetak seperti jantung yang panik. Ghufron Alwu, petugas PPGA yang tak sempat tidur sejak subuh, menatap layar sambil menggerutu, "Yang ini 22 milimeter. 116 detik. Kolom abu ke barat daya. Seperti biasa."
"Laporan atau doa?" canda temannya, sambil menyisipkan kopi sachet ke termos.
Mereka tahu laporan itu akan sampai ke BPBD, lalu disebar ke grup WhatsApp warga, lalu diabaikan dengan emoji "Aamiin".
**
Di lereng gunung, Sumiati sedang menanak nasi saat genteng rumahnya bergetar. Ia menengok ke luar. Langit seperti dilukis ulang oleh pelukis yang sedang depresi. Abu turun perlahan, seperti rintik hujan yang kehilangan air.
Sumiati tidak panik. Ia malah menaruh ember di halaman.
"Lumayan buat nyiram sawi," katanya.
Anaknya, Farel, yang baru duduk di bangku SMP, sedang menonton video tutorial TikTok tentang cara kabur dari awan panas. Ia takjub dengan filter yang bisa mengubah wajah jadi abu-abu. Ia belum tahu, kadang hidup tak butuh filter, cukup dua jam hujan dan satu jalur lahar.