Ada kalanya dosen pembimbing sibuk. Tapi mahasiswa tahu harus pergi ke mana: ke perpustakaan, mencari Sugiyono. Beliau tidak pernah menolak konsultasi, tidak pernah telat masuk kelas, dan tidak pernah membalas 'dibaca saja dulu ya'. Dia hadir dalam bentuk cetak dan PDF, murah, mudah didapat, dan selalu bisa dijadikan senjata saat diskusi metodologi mulai memanas.
Tak heran jika dalam laporan pustaka dari Google Scholar Indonesia (2022), buku Sugiyono termasuk dalam 10 besar sumber kutipan terbanyak di skripsi S1.
Royalti Ilmu yang Jadi Masjid
Apa yang dilakukan Prof. Sugiyono dengan royalti bukunya pun tak kalah mulia: ia membangun masjid dan sekolah penelitian. Bukan sekadar menulis, tapi menanam. Dalam laporan Detik (2022), beliau mengaku sebagian besar royalti digunakan untuk membiayai kegiatan sosial dan pendidikan. Ilmu, bagi Sugiyono, bukan sekadar untuk dinikmati sendiri, tapi juga harus dibagikan---bahkan dalam bentuk bangunan ibadah.
Barangkali inilah mengapa meski tak semua pembacanya tahu wajah beliau, namun tetap merasa dekat. Karena tiap lembar yang kita baca, terasa seperti beliau sedang menyemangati dari balik layar laptop.
Kalau Metode Sudah Buntu, Pasti Akan Kembali ke Beliau
Kadang saya berpikir: apa jadinya dunia pendidikan Indonesia tanpa Sugiyono? Mungkin mahasiswa akan lebih sering bertengkar di Bab III. Mungkin dosen lebih sering memutar mata. Mungkin rental skripsi akan lebih kaya karena semua orang butuh pelampung.
Tapi selama beliau masih ada, dan bukunya masih dicetak, kita tahu satu hal pasti: bahwa ada keilmuan yang dikerjakan dengan konsistensi, bukan kejar-kejaran tren. Dan untuk itu, saya ucapkan: terima kasih, Prof. Sugiyono. Kami, para pembaca setia Bab III, sangat berutang pada Anda.
***
Makassar. 11/05/2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI