Ada yang tak pernah absen di skripsi mahasiswa Indonesia. Bukan judul, bukan ucapan terima kasih pada Tuhan dan orang tua, tapi sebuah nama: Sugiyono. Di Bab III, ketika mahasiswa masih bingung bedakan antara pendekatan dan jenis penelitian, di situlah nama beliau bersinar. Sejak zaman tugas akhir masih diketik di rental komputer, sampai hari ini ketika template skripsi tersebar lewat Google Drive, Sugiyono tetap bertahan.
Sugiyono Lebih Konsisten dari Resolusi Tahun Baru
Kalau ditanya siapa penulis Indonesia paling banyak dikutip mahasiswa, jawabannya bukan Pramoedya atau Tere Liye---tapi Sugiyono. Namanya menghiasi jutaan catatan kaki, menjadi mantra suci di seminar proposal. Menurut data Museum Rekor Indonesia (2019), Prof. Dr. Sugiyono, M.Pd dari Universitas Negeri Yogyakarta tercatat sebagai penulis buku metode penelitian terbanyak di Indonesia. Dan yang paling laris? Ya itu tadi: "Metode Penelitian Pendidikan: Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D" (Alfabeta, 2013).
Sejak jadi mahasiswa hingga kini membimbing mahasiswa, saya belum pernah lepas dari buku itu. Ada semacam kepercayaan kolektif: tanpa kutipan Sugiyono, skripsi seolah belum sah. Seperti kopi tanpa gula, atau sidang tanpa power point template biru.
Mengapa Selalu Sugiyono?
Mungkin karena tulisannya ringkas, logis, dan sangat bersahabat bagi mereka yang tak akrab dengan istilah epistemologi. Gaya bahasanya tidak membuat mual, dan struktur pikirannya membuat metode penelitian tak lagi tampak seperti peta harta karun yang hilang. Dalam studi dari Jurnal Sosial Humaniora (2021), buku Sugiyono disebut sebagai literatur metode paling banyak dipakai di kalangan mahasiswa pendidikan dan sosial-humaniora.
Sugiyono, secara tidak resmi, adalah dosen metodologi nasional. Dia hadir di setiap kampus, bahkan di skripsi anak teknik yang merasa tersesat ke bab penelitian kualitatif karena salah baca contoh.
Dari UNY, untuk Skripsi Seluruh Negeri
Prof. Sugiyono adalah Guru Besar di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), lulusan IKIP Bandung, dan spesialis pendidikan teknik mesin. Ironisnya, buku yang paling dikenal justru yang jauh dari mesin: tentang penelitian. Tapi begitulah dunia akademik. Ia bisa membelokkan jalan siapa saja ke arah yang tak terduga. Dan Sugiyono membuktikan, bahwa ketekunan di bidang metodologi bisa mencetak sejarah---dan royalti.
Dengan lebih dari 22 buku, 16 di antaranya soal metode penelitian, Sugiyono bukan hanya produktif, tapi juga populer. Kalau ada ajang penghargaan 'Idola Bab III Nasional', beliau bisa menang mutlak---bahkan tanpa kampanye.
Antara R&D dan Realita Mahasiswa
Dulu, waktu saya pertama kali membaca bagian 'Penelitian dan Pengembangan (R&D)' di buku Sugiyono, saya mengira ini tentang software atau makanan kaleng. Tapi beliau menjelaskannya dengan sederhana. Bahkan R&D jadi terasa mungkin dilakukan, meski kenyataannya mahasiswa tetap lebih nyaman dengan 'deskriptif kualitatif'. Karena ya, lebih mudah menulis kesimpulan dari pada membuat produk.
Dalam publikasi di Jurnal Pendidikan Tinggi (2020), disebutkan bahwa sekitar 70% mahasiswa Indonesia mengambil pendekatan deskriptif kualitatif karena kemudahan teknis dan referensi yang tersedia. Dan ya, Sugiyono menyediakan semuanya---dengan tata bahasa yang tidak menghakimi.
Dosen Bisa Tak Hadir, Tapi Sugiyono Tidak
Ada kalanya dosen pembimbing sibuk. Tapi mahasiswa tahu harus pergi ke mana: ke perpustakaan, mencari Sugiyono. Beliau tidak pernah menolak konsultasi, tidak pernah telat masuk kelas, dan tidak pernah membalas 'dibaca saja dulu ya'. Dia hadir dalam bentuk cetak dan PDF, murah, mudah didapat, dan selalu bisa dijadikan senjata saat diskusi metodologi mulai memanas.
Tak heran jika dalam laporan pustaka dari Google Scholar Indonesia (2022), buku Sugiyono termasuk dalam 10 besar sumber kutipan terbanyak di skripsi S1.
Royalti Ilmu yang Jadi Masjid
Apa yang dilakukan Prof. Sugiyono dengan royalti bukunya pun tak kalah mulia: ia membangun masjid dan sekolah penelitian. Bukan sekadar menulis, tapi menanam. Dalam laporan Detik (2022), beliau mengaku sebagian besar royalti digunakan untuk membiayai kegiatan sosial dan pendidikan. Ilmu, bagi Sugiyono, bukan sekadar untuk dinikmati sendiri, tapi juga harus dibagikan---bahkan dalam bentuk bangunan ibadah.
Barangkali inilah mengapa meski tak semua pembacanya tahu wajah beliau, namun tetap merasa dekat. Karena tiap lembar yang kita baca, terasa seperti beliau sedang menyemangati dari balik layar laptop.
Kalau Metode Sudah Buntu, Pasti Akan Kembali ke Beliau
Kadang saya berpikir: apa jadinya dunia pendidikan Indonesia tanpa Sugiyono? Mungkin mahasiswa akan lebih sering bertengkar di Bab III. Mungkin dosen lebih sering memutar mata. Mungkin rental skripsi akan lebih kaya karena semua orang butuh pelampung.
Tapi selama beliau masih ada, dan bukunya masih dicetak, kita tahu satu hal pasti: bahwa ada keilmuan yang dikerjakan dengan konsistensi, bukan kejar-kejaran tren. Dan untuk itu, saya ucapkan: terima kasih, Prof. Sugiyono. Kami, para pembaca setia Bab III, sangat berutang pada Anda.
***
Makassar. 11/05/2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI