Tentu. Tapi begitu juga bayar SPP tiap semester, itu juga tidak mudah. Dan yang sering tidak disadari adalah: acara perpisahan kadang tak lagi jadi momen anak, tapi sudah jadi panggung gengsi.
Ada yang menyewa jas formal dari konveksi tetangga yang juga menjahit pakaian karnaval. Ada yang menyewa fotografer---bukan untuk mengabadikan momen anak, tapi untuk mengabadikan wajah sendiri di pinggir panggung. Sementara anaknya? Duduk diam, menunggu namanya dipanggil, lalu bingung harus senyum atau salim duluan.
Bahkan ada anak yang datang tanpa properti, tanpa topi toga, tanpa ayah dan ibu. Ia datang sendiri, membawa selembar senyum dan satu pasang sandal yang sedikit kedodoran. Tapi senyumnya tulus. Ia tahu, meski tidak tampil megah, ia telah menyelesaikan sesuatu.
Saya bertanya padanya, "Kamu tidak pakai toga?"
Dia menjawab, "Saya cuma ingin foto sama guru-guru, Pak. Biar ada kenangannya."
Dan saya, yang biasanya cerewet, hanya bisa menunduk. Di saat yang lain sibuk menyewa cahaya, anak ini datang membawa kejujuran.
Toga memang penting. Tapi kalau sekolah mulai lebih sibuk menyiapkan undangan seremonial daripada memperbaiki WC yang mampet sejak zaman kepala sekolah lama, kita patut bertanya ulang:
siapa yang sedang dirayakan? Anak-anak, atau ilusi kita sendiri?
Kalau saya boleh jujur---dan siapa pula yang bisa melarang saya dalam tulisan ini---saya lebih ingin melihat isi tas anak-anak. Apakah mereka pulang membawa buku dengan catatan penuh, atau brosur sewa gedung dan daftar pembayaran acara?
Saya lebih ingin anak-anak menangis haru karena belajar menulis puisi, bukan karena ibu mereka menjual cincin kawin untuk beli seragam wisuda sekali pakai.
Saya ingin perpisahan sekolah kembali pada esensinya: bersyukur, sederhana, dan jujur. Kalau perlu, cukup di bawah pohon mangga di halaman sekolah. Pakai baju putih, celana hitam, dan senyum. Itu saja. Tidak perlu confetti. Tidak perlu MC dari luar kota. Tidak perlu make-up tebal yang membuat anak SD seperti calon kepala daerah.
Jadi, apakah toga lebih penting daripada isi tas sekolah?
Kalau kamu percaya bahwa sekolah adalah tempat menanam ilmu dan karakter, bukan panggung sementara yang diisi glitter dan utang---jawabannya pasti tidak.