Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kematangan Guru dan Problematika "Coba Saya Pikir-pikir Dulu"

3 Februari 2021   18:26 Diperbarui: 7 Februari 2021   16:44 1159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pikir-pikir dulu. Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Sama seperti berbagai pekerjaan lain, sejatinya profesi guru memiliki konsekuensinya sendiri. Siapa pun yang ingin menjadi guru, maka minimal dirinya sudah harus kuat mental dalam menghadapi berbagai permasalahan yang menimpa.

Permasalahan itu sendiri sejatinya cukup kompleks. Tidak hanya berkisar tentang pembelajaran daring, luring, maupun blended learning, melainkan juga berkisah tentang keadaan sekolah, persepsi masyarakat, kenyamanan, hingga kesejahteraan.

O ya, ada satu lagi, yaitu permasalahan birokrasi.

Sungguh, hal tersebut merupakan tantangan yang luar biasa bagi guru. Tambah lagi mereka juga mengemban status pengabdi sekaligus pelayan publik di bidang pendidikan, maka lengkap sudah ujian yang hadir kepada guru.

Bagi para guru yang senantiasa meninggikan syukur dan sabar, sejatinya mereka telah beruntung. Ibarat kata, guru tersebut telah menemukan secercah kematangan dalam kariernya.

Alhasil, biar bagaimanapun tekanan yang ia terima, maka tekanan itu bisa ia jadikan pijakan untuk maju.


Layaknya sebuah "Shock Motor", semakin guru tersebut ditekan dan dihadiahkan tantangan, maka semakin kuat pula pantulan mereka menuju tingkat yang lebih tinggi.

Tapi, ya, kenyataannya tidak semua guru seperti itu. Toh permasalahan hidup tiap insan berbeda-beda sehingga wajar bila kemudian ada rasa kurang termotivasi, kurang terpuaskan, hingga cenderung putus asa dengan keadaan yang menimpa.

Gara-gara hal tersebut, seseorang rawan didatangi rasa tidak tenang, ditambah lagi dengan prasangka terhadap kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bakal terjadi. Hemm, kalau begitu ceritanya, eksistensi karier seorang guru bisa gawat.

Bagaimana tidak gawat, keresahan diri dalam menghadapi tekanan kerja yang cukup kompleks bisa saja memunculkan perasaan tidak bahagia terhadap profesi, terlalu mengritik diri secara berlebihan, kurang percaya diri, hingga kurang semangat dalam bekerja.

Imbasnya, sesekali bakal terbesit pemikiran bahwa "sebaiknya aku pindah kerja saja".

Aku pula pernah berada dalam situasi tersebut. Beban kerjaku terlalu banyak, aku tidak berkembang, dan yang paling krusial adalah, profesi tersebut tidak sesuai dengan kompetensiku.

Okelah, anggap saja karena ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan kompetensi maka perasaan tidak nyaman itu wajar hadir di diriku. Tetapi, tidak jarang pula ditemukan bahwa ada guru yang "kurang menikmati" pekerjaannya, kan?

Ya, ketika masalah tersebut muncul dan disebabkan oleh faktor eksternal seperti problematika gaji, lingkungan kerja yang kurang nyaman, maupun beban kerja yang cukup berat, mungkin masih bisa dicari jalan keluar terbaik.

Tapi, bagaimana bila perasaan "kurang menikmati" tersebut malah datang dari faktor internal? Sontak saja keadaan hati jadi tambah ruwet. Jikalau perasaan tersebut terus disimpan dalam hati, maka bersiaplah. Stres kerja akan segera bertamu.

Profesi guru, mengajar sebagai seorang guru, namun kurang menikmati profesinya, rasanya hal ini adalah alamat bahaya.

Terang saja, seseorang yang kurang menikmati pekerjaan biasanya akan susah menunjukkan kehebatannya. Jangankan mau berkembang, terhadap masalah dan tantangan profesi saja dia menarik diri. Sudah tidak tenang rasa hati.

Kematangan dan Guru "Naik Level"
Agaknya, perasaan kurang menikmati pekerjaan merupakan salah satu ciri bahwa seseorang yang dimaksud masih belum matang. Gara-gara hal itu pulalah dirinya menjadi tidak tenang dan tidak nyaman.

Profesi guru pula demikian. Kesabaran, keikhlasan, serta keberanian mengambil keputusan merupakan secarik bukti bahwa guru tersebut sudah merengkuh kematangan.

Terang saja, profesi guru adalah pilihan, dan orang yang telah memilih profesi tersebut juga ingin untuk berkembang, ingin agar ide mereka terealisasi, serta ingin mencapai target-target tertentu yang sempat dicanangkan oleh diri.

Tetapi, terkadang keadaan tidak selalu berpihak hingga akhirnya seseorang bisa salah dalam mengelola kontrol diri. Salah satu perwujudan dari kesalahan tersebut adalah, terlalu seringnya seseorang menggaungkan kalimat "Coba Saya Pikir-pikir Dulu, ya."

Sejatinya salah satu syarat kematangan adalah, seseorang mampu memanajemen pertimbangan diri terhadap sebuah pilihan. Maksudnya, pilihan yang ditetapkan tidak sembrono, tidak nekat, tapi tidak pula terlalu takut mengambil keputusan.

Jujur saja, keputusan yang diambil secara sembrono tidaklah bagus. Sedangkan keputusan yang terlalu banyak pertimbangan juga tidak baik.

Sayangnya, beberapa orang terkadang cukup malu-malu dalam mengambil keputusan. Dari sanalah kemudian dia berdalih dengan kalimat "Coba Saya Pikir-pikir Dulu".

Mungkin dia malu, tapi mau. Atau mungkin juga dirinya tidak terlalu memercayai intuisi diri. Hemm. Jikalau seperti itu kisahnya, maka ruang gerak diri (termasuk guru) untuk berkembang semakin sempit dan kematangan semakin susah untuk diraih.

Padahal sebenarnya di manapun seorang guru berada, dirinya berhak untuk berkembang dan juga berhak untuk merengkuh kematangan. Caranya? Guru perlu menjadi sosok yang lebih bahagia sekaligus naik level.

Kematangan seorang guru perlu diasah, dan salah satu cara terbaik dalam mengasahkan ialah dengan mendongkrak "tenaga penggerak" yang ada di dalam dirinya.

Terhadap hal-hal yang bertajuk kebaikan, sudah semestinya tak perlu menghadirkan sejuta pertimbangan. Dunia memang perlu disikapi secara realisitis, tetapi guru juga perlu meninggikan intuisi.

Bukankah panggilan mengajar (dari hati) pada awalnya adalah buah dari pertimbangan atas keputusan untuk pengabdian? Jika iya, maka yang perlu dicari lagi adalah sisi mana saja yang bakal membuat seorang guru bahagia.

Apakah uang, gaji, dan jabatan? Semestinya tidak selalu begitu, sih. Toh kebahagiaan yang bernada materi hanya sementara saja. Sedangkan kebahagiaan yang awet biasanya datang dari pengabdian serta keinginan untuk berkontribusi lebih secara tulus dan penuh cinta.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun