"Nah, itu ikan nila sepertinya, Nak."
"Aku makan, ya, Yah. Ayah mau?"
"Ayah sedikit saja, Nak. Ayah takut asam urat kambuh."
Di sepiring nasiku ada sepotong ayam goreng, mi putih, gulai lema, sambal, dan kerupuk. Aku semakin merasa kelaparan. Terang saja, perutku terakhir terisi siang tadi.
***
"Cek...cek...cek. Tes...tes...satu...dua...tes. Para hadirin tamu undangan yang berbahagia. Terima kasih atas kehadirannya. Mohon maaf mengganggu waktu minum kopinya. Izinkanlah saudara jauh saya, Pak Jaya yang ingin membuka bisnis di desa kita."
Lha, aku tersentak. Ketika kuperhatikan sumber suara, ternyata tamu yang tadi sampai ke ladang kami muncul lagi. Kembali kulihat Ayah, kemudian wajahnya mengernyut. Segelas kopi yang dipegang Ayah batal diseruput.
"Salam sehat, rekan-rekan semua. Perkenalkan, nama saya adalah Jaya, asal dari Tangerang, dan kehadiran saya di sini adalah untuk membuka bisnis properti."
Semua tamu undangan pun terdiam. Wajah mereka yang mayoritasnya adalah petani sayuran dan gula aren semakin berbinar. Mungkin, ada kabar baik bagi mereka.
"Begini, ya, hadirin semua. Saya, tadi siang sudah mendatangi sebuah ladang aren di dekat kuburan sana. Kira-kira ada 3 kaveling, dan saya berniat membelinya seharga tujuh ratus lima puluh juta."
"Wah. Uang apa uang. Sebanyak itu! Selamat, Mang. Selamat! Mamang jadi orang kaya sebentar lagi," tutur beberapa tamu undangan kepada Ayahku.