Langit semakin jingga sembari mengundang gelap malam untuk bertamu. Aku dan Ayah sudah pulang, sudah mandi, dan kami duduk santai di ruang keluarga. Sembari duduk, terbesit di telingaku suara mikrofon. Ya, acara sedekah ruwah akan segera dimulai.
"Nak, mana kopiahmu, kita berangkat sekarang saja, ya."
Aku bergegas mengambil kopiah hitam yang tergantung manis di dekat meja belajarku. Aku segera bercermin, menyisir rambut, sedangkan Ayah menunggu di teras rumah.
Berselang beberapa detik saja, aku sudah berlari dan sampai di teras. Kami pun berangkat dan berpamitan kepada Ibu. Dekat, dekat sekali tempat acaranya. Aku dan Ayah hanya perlu menyeberang. Kira-kira seratus meter jaraknya.
Sesampainya di tempat acara, aku pun langsung duduk bersama Ayah di tenda utama. Buku saku surat Yasin sudah kupegang, dan halaman pertama surat sudah Ayah lipatkan untukku.
Ya, Ayahku sudah hafal surat Yasin. Jadi, beliau santai saja. Aku pun begitu. Walaupun belum hafal seluruh ayatnya, setidaknya aku sudah sering menghadiri acara sedekah ruwah, bahkan dari SD.
Sependektahuku, sedekah ruwah tidak memakan waktu lama. Acaranya paling-paling hanya sambutan, baca Yasin, Tahlil, dan Doa, serta ditutup dengan kegiatan makan bersama. Aku hanya berdoa, semoga sambutan dari Pak Kades tidak panjang lebar.
***
Kata "Aamiin" mengakhiri prosesi sedekah ruwah. Aku masih semangat, dan sungguh, aku belum mengantuk. Waktu Isya masih setengah jam lagi, sedangkan kami sudah bersiap untuk makan bersama.
Tapi, sajian kali ini tidak terpajang di prasmanan. Tuan rumah sudah menyiapkan hidangan, di mana porsi masing-masing hidangan adalah 5-6 orang dalam dua sesi. Beruntung aku dan Ayah adalah laki-laki. Biasanya kaum pria disilakan makan duluan.
"Ayah, ada gulai lema pakai ikan, Yah?"