Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Wahai Penonton, Jangan Galau Gara-gara KPAI, Kita yang Lebih Mengerti Kurikulum!"

10 Agustus 2020   06:52 Diperbarui: 10 Agustus 2020   07:10 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Alfred Derks dari Pixabay 

Kurikulum Darurat telah dirilis, tepatnya pada hari Jumat (07/08/2020) kemarin yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus.

Secara umum namanya memang Kurikulum Darurat, namun Mas Nadiem lebih "suka" menyebutnya dengan julukan "Kurikulum dalam Kondisi Khusus." Pada intinya sama saja, karena maksud dari dihadirkannya kurikulum ini adalah agar siswa-siswi bisa belajar di masa pandemi.

Namanya juga Kurikulum Darurat, artinya diracik dalam keadaan darurat, dibuat dengan jangka waktu tertentu yang memprioritaskan kondisi khusus, dan hasilnya sudah pasti tak bisa memuaskan semua orang.

Maka dari itulah, Mas Mendikbud Nadiem Makarim kemudian menerangkan bahwa Kurikulum dalam Kondisi Khusus memberikan fleksibilitas bagi sekolah untuk memilih kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa.

Karena fleksibel, artinya kurikulum ini tidak wajib untuk diterapkan. Kemendikbud sendiri telah menghadirkan 3 opsi kurikulum yang kemudian bisa dipilih guru sesuai dengan kebutuhan siwa.

Pertama, guru tetap mengacu pada Kurikulum Nasional. Dalam hal ini, sekolah tetap bisa menggunakan Kurikulum 2013 atau Kurikulum KTSP sesuai dengan apa yang telah mereka terapkan sehari-hari sebelum pandemi.

Kedua, guru bisa menggunakan Kurikulum Darurat. Dalam hal ini, kurikulum disederhanakan oleh pihak Kemendikbud dengan kompetensi dasar untuk setiap mata pelajaran sehingga guru dan siswa dapat berfokus pada kompetensi esensial dan kompetensi prasyarat.

Sedangkan opsi ketiga, guru dipersilakan untuk melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri. Maksudnya, guru diberikan kemerdekaan secara khusus untuk meracik sendiri kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan siswa dengan mempertimbangkan keadaan yang ada.

Sekilas, dengan adanya 3 opsi kurikulum ini, berarti penggunaan Kurikulum Darurat sendiri tidaklah wajib. Kita memaklumi karena keadaannya juga darurat dan setiap daerah memiliki kelebihan, kekurangan serta tantangannya sendiri.

Tapi, baru saja kurikulum ini diluncurkan bahkan belum sempat dilengkapi KI dan KD-nya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) malah mengumbar kegelisahan.

Retno Listyarti, Komisioner KPAI bidang Pendidikan. Foto: Kompas.Com/Dean Pahrevi 
Retno Listyarti, Komisioner KPAI bidang Pendidikan. Foto: Kompas.Com/Dean Pahrevi 

Melalui Komisioner bidang pendidikan, Retno Listyarti, KPAI menyayangkan mengapa kurikulum darurat yang sudah terbit ini tidak wajib, mengapa hanya dijadikan kurikulum alternatif semata.

Kemendikbud dianggapnya tidak tegas, dan beliau pun membandingkan Kurikulum Darurat dengan kisah Mendikbud Anies.

"Seharusnya tidak boleh ada pelaksanaan kurikulum berbeda dalam satu tahun ajaran baru karena akan membingungkan guru dan sekolah di lapangan seperti pernah terjadi pada saat Mendikbud Anies Baswedan, yaitu berlakunya dua kurikulum, kurikulum 2013 dengan kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)," ujar Retno pada Jumat (07/08/2020).

Agaknya, sekilas Kurikulum Darurat sajian Kemendikbud ini cukup membingungkan. Para "penonton" sekalian bisa dibuat bingung karena kurikulum yang ditawarkan ada 3. Ini perihal wajar, kan?

Tapi, tidaklah wajar bila Kurikulum Darurat ini KPAI banding-bandingkan dengan Kurikulum 2013 dan Kurikulum KTSP yang sedang sekolah implementasikan sekarang.

Terang saja, Kurikulum Darurat bukanlah kurikulum yang akan kita terapkan "selamanya." Tidak lama kok, hanya sampai pandemi ini berakhir. Dan, yang juga telah mungkin KPAI lupakan adalah, Kurikulum ini dibuat dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan sesederhana mungkin.

Karena kata kuncinya adalah singkat dan sederhana, logislah bila kemudian Mas Nadiem tidak menjadikan Kurikulum Darurat sebagai opsi yang wajib ditebus alias harus diimplementasikan secara "sama" di seluruh sekolah se-Indonesia.

Kalau Kurikulum Nasional, beda lagi. Kurikulum Nasional memang memiliki nilai kewajiban yang lebih tinggi untuk diterapkan. Secara, namanya nasional, kan?

Dan walaupun kurikulumnya nasional, tetap tidak mudah bagi sekolah di negeri ini untuk mengimplementasikannya secara serentak. Contohnya, ya yang disebutkan oleh Bu Retno tadi.

Kurikulum Nasional hari ini adalah Kurikulum 2013, tapi masih banyak sekolah berkurikulum KTSP.

Apakah gara-gara hal ini kemudian kita ingin mencari pembanding yang lain? Misalnya, Kurikulum KTSP dengan Kurikulum KBK, atau Kurikulum KBK dengan Kurikulum rentjana Pelajaran Terurai 1952. Untuk saat ini, tidak mungkin, kan?

"Wahai Penonton, Jangan Galau Gara-gara KPAI, Kita yang Lebih Mengerti Kurikulum!"

Rasanya, kita tak perlu terlalu bingung dengan keadaan hari ini. Kita juga tak perlu galau gara-gara Kurikulum Darurat melahirkan banyak opsi. Hadirnya opsi malah memungkinkan para guru untuk lebih fleksibel dalam mengajar.

Begitu pula dengan orang tua siswa. Sebagai "Penonton" aksi KPAI, kitalah yang sesungguhnya lebih mengerti dengan kurikulum. Mengapa kok begitu?

Sejenak, cobalah kita lihat rumah, kita amati keluarga. Tanpa kita sadari, keluarga beserta segenap lingkungannya adalah Kurikulum Pertama bagi anak-anak kita.

Bersama orang tua, anak telah belajar membaca, belajar berperilaku, serta belajar menjadi sosok yang berkarakter. Jadi, orang tualah yang pertama kali menciptakan Kurikulum.

Nah, orang tua saja sudah mampu menciptakan dan menjalankan Kurikulum Pertama, apalagi guru?

Di sekolah, guru yang paling mengerti apa-apa saja kebutuhan siswa, guru yang lebih paham seperti apa karakter mereka, dan guru pula yang lebih mengerti bagaimana sesungguhnya kondisi sekolah tempat mereka mengajar.

Foto oleh Akela Photography dari Pexels 
Foto oleh Akela Photography dari Pexels 

Dari sini saja, kita sudah boleh mempunyai anggapan bahwasannya akan lebih baik bila guru itu sendiri yang memilihkan kurikulum untuk siswanya. Terlebih lagi jika ada kolaborasi antara guru dan orang tua, kiranya kurikulum itu lebih bagus lagi.

Dan sayangnya, Bu Retno malah melemparkan kegelisahan bin kegalauan kepada para penonton. Padahal, seharusnya jangan begitu. Sebagai lembaga yang mengurusi hak-hak anak terutama di bidang pendidikan, KPAI sesungguhnya perlu memberikan pengertian dan pencerahan.

Seperti halnya Kurikulum Darurat yang baru saja diluncurkan ini, jangan langsung disalahkan hanya gara-gara tidak dijadikan alternatif. Selain karena kondisi hari ini yang sedang darurat dan pandemi, para juga juga perlu dibebaskan untuk memilih kurikulum yang terbaik sesuai kondisi.

Yang jelas, kemarin kita sudah menanti-nanti hadirnya Kurikulum Darurat. Bahkan ada sebagian orang yang sampai berkirim surat terbuka untuk Mas Menteri.

Artinya, jelaslah oleh kita tentang apa yang dibutuhkan hari ini, kan?

Seperti kata Kompasioner bang Bayu Samudra, mengingat situasi dan kondisi, saat ini harus ada dan memang diperlukan suatu Kurikulum Pendidikan Jarak Jauh. Kita jatuh, kita merangkak lagi. Dunia pendidikan kehilangan porosnya. Jalani dan Enjoy Aja.

Kurang elegan kiranya jika KPAI terlalu cepat menghukumi Kurikulum Darurat sebelum mempelajari serta melihatnya dari berbagai sisi.

Ibaratkan ada sebuah angkot kosong dan kita adalah penumpangnya. Saat angkot itu lewat, kita malah memarahi supir hanya gara-gara warna angkotnya yang kurang menarik, padahal kita butuh tumpangan saat itu.

Apa yang akan terjadi setelahnya? Tentu saja kita akan ditinggal oleh supir, dan kita tidak akan sampai di tempat tujuan. Semoga saja Bu Retno tidak termasuk salah satu penumpang yang seperti ini.

Salam.

Baca Juga: Mengapa Harus Ada "Ragam Kurikulum" di Tengah Pandemi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun