Biasanya, sebelum perkuliahan dimulai saya biasa beristirahat di masjil Al-Faruq. Perjalanan 90 KM dari Curup ke IAIN Bengkulu menggunakan sepeda motor cukup melelahkan. Kira-kira 2,5 jam perjalanan dan saya biasa berangkat dari Curup pukul 05.30 pagi.
Kadang, ada pula segelintir kecewa di hati karena saat saya sudah sampai di Bengkulu, kuliah malah dibatalkan atau dosennya yang tidak hadir. Kalau sudah demikian, apa mau dikata. Akhirnya saya menginap di masjid ini untuk melanjutkan kuliah di esok harinya.
Sesekali ada marbot masjid dan teman-teman yang menemani, tapi rasanya saya lebih sering sendirian menginap di sana. Kesepian, sih. Tapi tak mengapalah, namanya juga perjuangan.
Meski demikian, saat ini perjuangan kuliah mesti ditunda terlebih dahulu. Karena regulasi dari pekerjaan, saya harus cuti dan insya Allah tahun depan akan lanjut lagi untuk menyelesaikan tesis.
Agak berbeda dengan orang-orang kebanyakan, saya tidak terlalu menyukai yang namanya safari masjid alias menjelajah masjid ini dan itu. Bagi saya, di manapun diri berada, jika ingin beribadah tentu saja mencari lokasi masjid yang terdekat.
Yang jelas, semua masjid itu spesial, bisa jadi saksi dan semuanya indah. Spesial dan indah bukan semata karena penampilan fisik serta arsitektur masjidnya, melainkan jumlah jamaahnya.
Jujur saja, meskipun masjidnya mewah tapi jika jamaahnya sepi, untuk apa! Pasti sedih para imam dan seperangkat pengurus masjid. Makin banyak jamaah, maka makin mudah membangun dan menghiasi masjid.
Tapi, lagi-lagi itu bukanlah prioritas. Yang terpenting adalah tautan hati yang mencintai masjid. Jika sudah cinta, maka bukan lagi arsitektur masjid yang indah melainkan hiasan takwa. Dan, masjidlah yang akan menjadi salah satu saksi di akhirat kelak.
Salam.