Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2024 - I am proud to be an educator

Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2024. Guru dan Penulis Buku, menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Cerita Perjalanan, Menyusuri Jalur Ekstrem dan Sunyi di Rano - Bonggakaradeng

16 Juli 2025   17:22 Diperbarui: 17 Juli 2025   12:22 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di puncak rangkaian pegunungan jalur sunyi Rano-Bonggakaradeng. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Hari Selasa, 15 Juli 2025, saya memiliki pengalaman perjalanan yang sangat mengesankan. Rute perjalanan saya adalah dari Kota Makale, ibu kota Kabupaten Tana Toraja menuju ke Kampung/Dusun Pandan, di Lembang Bau, Kecamatan Bonggakaradeng. Masih dalam wilayah Kabupaten Tana Toraja. 

Kampung Pandan adalah wilayah yang berdekatan dengan salah dua objek wisata kebanggaan Tana Toraja, yaitu Tebing Romantis Kendenan dan Ollon. 

Tujuan perjalanan saya adalah mengikuti upacara PGRI dan ibadah pelepasan jenazah untuk salah satu pensiunan guru. Almarhum di masa aktifnya mengajar di wilayah Kabupaten Enrekang.

Dari Kota Makale, terdapat beberapa rute yang bisa ditempuh untuk tiba di Kampung Pandan. Semua rute memiliki jarak yang tidak terlampau jauh berbeda.

Rute pertama, Makale lewat Rembon-Batu Sura'-Buakayu-Tebing Romantis Kendenan-Pandan dengan jarak kurang lebih 55 km.

Rute kedua Makale lewat Rembon-Batu Sura'-Buakayu-Peaun-Ratte Membuni-Pandan dengan jarak sekitar 48 km. 

Rute ketiga, Makale lewat PLTA Malea-Buakayu-Tebing Romantis Kendenan-Pandan. 

Rute keempat, Makale lewat PLTA Malea-Rano-Tebing Romantis Kendenan-Pandan. 

Rute kelima, Makale lewat PLTA Malea-Rano-Peaun-Ratte Membuni-Pandan. 

Rute keenam, Makale lewat Mebali-Buntu-Kaduaja-Pongkamisi'-Rano-Peaun-Ratte Membuni-Pandan.

Rute ketujuh, Makale lewat Mebali-Salubarani. Selanjutnya masuk wilayah Kabupaten Enrekang lewat Buasan-Tongko' dan masuk ke Pongkamisi'-Rano-Peaun-Ratte Membuni-Pandan dengan jarak sekitar 47 km.

Rute kedelapan, Makale lewat Mebali-Salubarani-masuk wilayah Kabupaten Enrekang lewat Buasan-Baroko-Mundan-Bulung-Pandan. 

Masih ada beberapa rute lain lewat jalan kampung di wilayah Kabupaten Enrekang yang tembus ke Mundan.

Dalam perjalanan ke sana, saya memilih rute kedelapan, mengingat saya akan ditemani oleh salah seorang pensiunan  guru dan pengawas sekolah.

Adapun jarak perjalanan sebenarnya tidak terlampau jauh. Tetapi 47 km yang dalam kondisi jalan normal bisa dijangkau dalam tempo 1,5 jam, ternyata membengkak hingga hampir 4 jam. 

Di perbatasan Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Enrekang. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Di perbatasan Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Enrekang. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Melihat undangan upacara PGRI dari Pengurus PGRI Cabang Bonggakaradeng, upacara akan dimulai pukul 9 pagi wita, saya memulai perjalanan saya dari Kota Makale pukul 06.30. Oleh karena kendaraan yang bisa tembus ke Pandan hanya motor dan mobil jenis hardtop, 4x4 dan double gardan, saya memilih naik motor trail.

Hujan rintik-rintik mengawali perjalanan saya. Mantel hujan langsung saya kenakan. Sepatu yang saya gunakan saya bungkus dengan kantong plastik. Ternyata, hujan menjadi deras memasuki kilometer 2. Lama-kelamaan, jas hujan yang saya kenakan tembus air. Pakaian dan jaket terasa sudah tembus air pula. Di Mebali, saya memilih membeli jas hujan plastik.

Pukul 07.20, hujan masih turun rintik-rintik hingga saya masuk Kelurahan Salubarani, gerbang perbatasan Tana Toraja-Enrekang. Di Salubarani, saya menjemput rekan perjalanan. Beliau adalah rekan sepelayanan di gereja, mantan guru saya di SMP dan tetangga juga. Kami justru telihat seperti kawan karib. Beliau menggunakan motor matic. Saya sempat was-was apakah bisa lolos dan lancar melewati jalur ekstrim nantinya.

Kami melanjutkan perjalanan dalam kondisi cuaca dingin dan berkabut pukul 08.30, menyusuri kampung Buasan ke Tongko' di Kabupaten Enrekang. Jalur ini tergolong sepi karena merupakan jalan penghubung desa. Jalan telah dirabat beton. 

Tantangan kecil hadir saat masuk desa Tongko' di Enrekang. Jalan pintas berupa jalan tani yang kami lewati adalah perpaduan rabat beton, jalan tanah dan berbatu. Hujan membuat jalan yang berumput dan berlumut makin licin.

Di Kampung Pongkamisi', Rano. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Di Kampung Pongkamisi', Rano. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Pukul 8 lewat 15 menit, kami tiba di kampung Pongkamisi', Kecamatan Rano, Lembang Rano Timur. Kabut tebal dan hujan rintik-rintik menyambut. Kami berhenti sejenak mengingat di depan kami adalah jalan menukik turun yang kaya tikungan dan cukup terjal. Di bagian kiri jalan adalah jurang. 

Kampas rem cakram motor matic rekan saya mulai panas. Kami mencari selokan berisi air untuk menyiramnya. Kurang lebih 5 km di depan kami adalah jalan penurunan menantang. 

Jalur berkabut dari Pongkamisi' ke Batukara, Rano. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Jalur berkabut dari Pongkamisi' ke Batukara, Rano. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Kami turun perlahan di tengah tebalnya kabut dan hujan rintik-rintik. Jalan rabat beton terasa licin karena basah. Di sisi lain, selama ini jalan tersebut jarang tersentuh cahaya matahari sehingga agak berlumut di pinggirannya.

3,7 km pertama benar-benar membuat keringat dingin. Beberapa kali matic harus berhenti untuk disiram air agar rem kembali pakem. Sementara rem trail saya juga saya kontrol. Mengingat pernah remnya blong waktu ke Simbuang. 

Pemandangan di Rano dan jembatan penghubung Rano-Bonggakaradeng (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Pemandangan di Rano dan jembatan penghubung Rano-Bonggakaradeng (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Cukup lama juga kami menuruni Kampung Pongkamisi'-Batukara menuju Batutu di Lembang Rano Utara. Hampir 40 menit. Kecepatan motor pun saya kontrol mengingat motor matic rekan saya tak bisa digeber di jalanan desa.

Ada tiga titik longsong yang kami jumpai di jalur menuju Batutu. Dua cukup licin dan berlumpur.

Hampir jam 9 pagi, kami tiba di Batutu. Kami sempat singgah di rumah mertua saya sambil mengecek rekan guru di sana yang akan menemani kmai ke Pandan. 

Dari rumah mertua saya, pegunungan dengan hutan pinus yang akan kami lalui sudah nampak. Kata mertua saya, masih lebih 10 kilometer ke Kampung Pandan dengan jalur ekstrim. Jika lewat Tebing Romantis Kendenan, jalan agak bagus karena sebagian besar telah dirabat beton dan dilebarkan.

Saya mencoba menelpon via WhatsApp bapak guru yang akan menjadi penunjuk jalan dan sekaligus salah satu Pengurus Cabang PGRI Bonggakaradeng yang akan ikut upacara. Tidak diangkat. Beberapa nomor HP juga saya telpon. Tidak diangkat juga. Nantilah baru saya tahu bahwa Kampung Pandan itu masih blank spot area.

Mengingat waktu mendesak, kami memilih jalur Peaun-Ratte Membuni ke Pandan. Jarak lebih dekat tetapi jalan menantang.

Tidak ada hujan waktu kami melanjutkan perjalanan dari Batutu lewat Peaun-Ratte Membuni. Beberapa kali saya bertanya ke warga dan anak-anak yang saya temui di jalan mengenai rute ke Pandan.

Dari Buakayu, di pertigaan jalan ke Tebing Romantis dan Ollon, kami lurus menyusuri pinggir Sungai Sa'dan ke Kampung Peaun. Jalan rata dan sudah dirabat beton. Hanya saja kecil dan sunyi sekali. Hanya satu motor yang saya temui di jalan, dikendarai oleh siswa SMP yang sudah pualng sekolah karena gurunya rapat (katanya). 

Melewati Gereja Toraja Jemaat Peaun, jalan mulai menanjak. Di bagian kiri dan kanan jalan penuh dengan pohon jati dan gamal yang divariasi dengan sulu' (pagar pembatas hewan ternak. Mulai tidak ada tanda-tanda kegiatan manusia. Hanya kotoran kerbau dan sapi liar yang sering dijumpai. Ladang jagung dengan pagar sulu' juga banyak. 

Jalan mulai mendaki meninggalkan rabat beton berganti tanah. Ada pertigaan, kami sempat berhenti sejenak. Beruntung masih ada jaringan internet. Saya coba buka Google Maps jalan ke Pandan. Kami harus menyusuri tanjakan ke puncak perbukitan. Jarak yang tertera masih 6,7 km. 

Di jarak inilah tantangan yang sebenarnya. Entah seperti apa kontur jalan ke depan.

Saya jalan lebih dulu membelah jalan tanah. Bekas ban motor yang menyerupai jalan setapak tampak jelas bahwa beberapa pengendara baru saja melewati jalur tersebut. Kami pun yakin, kami tidak salah jalan. Sekitar 6 tikungan tajam dan jalan menanjak berbatu di sisi tebing yang curam menjadi santapan ban motor trail. Tubuh pendek dan kaki saya yang juga pendek tentunya akan menjadi masalah besar jika sampai terpeleset karena saya tak bisa menjejak tanah.

Di sisi kiri jalan yang menanjak ada jurang menganga. Di bawahnya lautan awan, pohon pinus, Sungai Sa'dan dan persawahan Lembang Rano Tengah. Pemandangan indah sempat terlintas di pandangan saya yang mana saya deg-degan menyusuri tanjakan.

Saya tak memperhatikan lagi rekan saya yang mengendarai matic di belakang. Intinya, jalan tanjakan berbatu tak bisa untuk tempat berhenti. Salah pijakan, bisa terjun bebas ke jurang. 

Satu kali ada bagian jalan kurang lebih 50 meter yang telah dirabat beton. Sepertinya, jalur yang paling ekstrim dan menanjak. Jalan tanah berbatu, menanjak curam dan dihiasi rerumputan liar di kedua sisinya. Jalan agak terbuka karena sepertinya pengendara yang melintasi duluan sempat memangkas rerumputan dan semak yang menutupi badan jalan. Artinya, jalan alternatif ke Pandan ini benar-benar sunyi dan hanya dilewati oleh orang tertentu saja yang memiliki kepercayaan diri menjajal jalur ekstrim.

Jalur ektrem dari Ratte Membuni. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Jalur ektrem dari Ratte Membuni. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Tak lama berselang, mata saya dihadapkan pada pemandangan yang indah lagi. Sayangnya, jalan masih agak mendaki, tak ada pijakan yang nyaman. Sekilas, bentangan alam di bagian kiri jalan menyerupai Tebing Romantis Kendenan. Saya tak bisa mengambil dokumentasi. 

Ternyata tempat itulah yang dinamai warga Bonggakaradeng dan Rano sebagai Ratte Membuni. Ratte artinya tanah/lapangan datar/landai dan Membuni artinya tersembunyi. Saya boleh simpulkan Ratte Membuni adalah surga kecil yang masih belum terjamah. Suatu hari nanti, jika akses jalan sudah mumpuni, pasti akan dibuka sebagai objek wisata alam yang baru.

Di bagian punggungan bukit yang sedikit rata dengan permukaan agak terbuka, saya berhenti sejenak sambil menunggu rekan saya yang mengendarai matic. Semoga tidak terjadi apa-apa.

Dua menit kemudian beliau muncul sambil tersenyum. Kami berhenti, memuji keindahan alam Ratte Membuni. Surga kecil yang tersembunyi.

Di sisi perbukitan Tebing Romantis Kendenan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Di sisi perbukitan Tebing Romantis Kendenan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Hanya tiga menit istirahat, kami kembali melanjutkan perjalanan. Jam sudah menunjukkan pukul 10 wita lewat. Jaringan telpon dan internet masih ada sedikit. 

Semakin naik, jalan semakin menantang. Tanah dan berbatu, diselingi sekali rabat beton sejauh 20 meter. Di depan saya ada kerbau betina tambun sedang mencari makan. Luar biasa.

Jalan yang masih alami dan tergolong ekstrim. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Jalan yang masih alami dan tergolong ekstrim. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Akhirnya setelah mendaki tanjakan lurus sejauh lebih 100 meter, saya tiba di puncak perbukitan. Jalan agak rata. Saya berhenti sejenak menunggu lagi rekan saya. Belum ada manusia yang berpapasan dengan kami. 

Tak berselang lama, rekan saya muncul dan saya mempersilahkan beliau untuk jalan lebih dulu. Tapi hanya berselang seratusan meter, beliau meminta saya untuk duluan.

Jalur tanah turun ke Kampung Pandan, Lembang Bau. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Jalur tanah turun ke Kampung Pandan, Lembang Bau. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Jalan rata sekitar 100 meter di puncak dengan jalan tanah berumput. Sangat sepi dan alami ditutupi kabut tebal. Seperti masuk di kampung awan saja. Dingin pun terasa menusuk kulit tangan saya yang terbuka.

Ada pondok dari terpal dengan beberapa perabotannya di samping jalan. Sepertinya pondok petani yang mengolah ladang jagung. 

Jalur bekas ban motor  meuntun saya untuk melewati jalur tanah agar ban motor tak tergelincir. Ban trail standar saya masih labil dan mudah tergelincir di jalan berlumpur dan tanah kering berdebu.

Surga cantik di bagian timur perbukitan yang bersebelahan dengan Tebing Romantis Kendenan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Surga cantik di bagian timur perbukitan yang bersebelahan dengan Tebing Romantis Kendenan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Dan.... tiba-tiba saya tiba di sisi bukit di bagian kanan, sebelah barat laut dengan pemandangan yang sangat mempesona. Bentangan perbukitan hijau dengan beberapa kumpulan semak yang sangat alami. Ada kelompok sapi liar di ujung sana. Apakah ini yang disebut Tebing Romantis? Entahlah.

Tak ada rumah yang nampak sama sekali. Sunyi, sepi dan hanya sesekali dihiasi suara deru motor dari kejauhan yang mengambil rute dari Tebing Romantis Kendenan dari arah barat. 

Rekan saya pun berhenti kemudian. Beliau berguman, "Lembang Bau memang surga yang tersebunyi."

Alam yang masih sangat alami. jauh dari tangan jahil manusia. Ahh... semoga abadi tidak tergerus zaman dan pembangunan. 

Jalan tanah kali ini menurun dan menukik tajam. Salah sedikit memilih jalur bisa apes cium tanah air. Saya hati-hati sekali menuruninya. Tapi, terjalnya penurunan terbayar oleh pemandangan indah dan menakjubkan. Speechless!!! Mau ambil dokumentasi foto dan video pendek, susah. Motor sudah berhenti, tetapi terus bergerak. 

Sekitar 5 menit kemudian, sayup terdengan pengeras suara. saya bertanya pada dua bapak-bapak berpakaian hitam khas orang Toraja di pinggir jalan. Tujaun saya ada di depan..sekitar 200 meter lagi. Saya berhenti sambil menunggu rekan saya.

Selain itu, mantel di badan saya buka. Mengenakan baju batik PGRI dan merapikan celana dari lumpur. Terdengar gladi bersih upacara PGRI. Ya, ternyata kami masih ditunggu padahal jam menunjukkan pukul 11 siang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun