Program andalan pemerintah provinsi Sulawesi Selatan di bidang pendidikan yakni smart school telah merampungkan dua minggu pelaksanaannya. Program ini diyakini telah memiliki dampak dalam mendorong kuantitas jumlah lulusan siswa SMA negeri se-Sulawesi Selatan yang bisa lulus pada SNBT perguruan tinggi negeri, khususnya dalam 2 tahun terakhir. Tenaga pengajar pun berasal dari guru-guru hebat dan beberapa lembaga bimbingan belajar kenamaan di sekitar kota Makassar.Â
Setiap sesi yang berlangsung dari hari Senin-Jumat selalu dihadiri di atas 400-an partisipan. Para peserta live adalah kelas dan siswa dari seluruh SMA negeri yang terjangkau internet di Provinsi Sulawesi Selatan.
Sekolah-sekolah tersebut patuh dan disiplin mengikuti 3-4 sesi belajar setiap hari. Kehadiran kembali smart school pada tahun ketiganya ini tentunya menyambungkan ketimpangan kualitas layanan pembelajaran. Siswa di daerah sudah bisa menyimak materi skolastik dengan metode beragam dari para tenaga pengajar atau mentor.
Melihat warna-warni pembelajaran setiap sesi, evaluasi sudah bisa diambil. Saya selaku guru yang pernah terlibat sebagai tenaga pengajar di studio smart school dan sekaligus sebagai guru pendamping di sekolah memberikan beberapa catatan yang bisa menjadi evaluasi peningkatan kualitas layanan ke depan.
Pertama, yang paling mencolok adalah seringnya terjadi gangguan teknis pada sesi pertama setiap pagi. Gangguan ini berupa buruknya kualitas jaringan. Seringkali sesi pertama harus tertunda. Saya kira kondisi ini perlu disikapi dan dicarikan solusi smart sesegera mungkin agar para siswa dan guru pendamping tidak terlalu lama menunggu sesi live.Â
Oleh karena adanya gangguan teknis ini, turut mempengaruhi kualitas bimbingan itu sendiri sampai ke sekolah-sekolah. Apalagi, sebagian besar guru mata pelajaran telah mengorbankan waktu mengajarnya untuk menyesuaikan dengan jadwal smart school.
Kedua, tulisan yang tampil di layar cenderung masih kecil sehingga membuat siswa sulit mengikuti konten bimbingan dengan maksimal. Dalam pada itu, animo siswa pun terganggu dan cederung ikut sesi live seadanya.
Ketiga, berdasarkan tampilan data pada nama-nama peserta live, banyak yang menggunakan nama unik dan cenderung bercanda. Beruntunglah, pihak teknisi dan admin smart school dengan senang hati memberikan himbauan agar setiap sekolah menuliskan kelas dan nama sekolahnya. Hanya saja, tetap saja banyak siswa yang bergabung secara personal menampilkan data yang justru mengganggu konsentrasi sesama peserta lain.
Keempat, banyak peserta live yang cenderung main-main saja. Artinya, mereka ikut semata sebagai formalitas. Barangkali supaya pihak pimpinan sekolah tidak mendapat teguran dari pengambil kebijakan di atasnya.