Mohon tunggu...
Ouda Saija
Ouda Saija Mohon Tunggu... Dosen - Seniman

A street photographer is a hitman on a run.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mata Setan di Kereta Bawah Tanah

15 Februari 2010   23:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:54 1234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_75252" align="alignleft" width="170" caption="mata itu ..."][/caption]

Belum terlalu senja. Jam empat sore kereta bawah tanah mulai gelap dan penuh berdesakan. Ketika berangkat dari selatan kota, melewati daerah Chinatown kereta masih di atas, lalu sesampai di Rooseveltkereta menelusup ke dalam lorong-lorong di bawah tanah.

Ketika kereta sampai di bawah kota, mulai dari stasiun bawah tanah Jackson, penumpang mulai berdesak. Kereta mulai sesak dengan anak sekolah dan mahasiswa yang kuliah. Di Grand and State, yang persis di bawah pusat kota, kereta menjadi berjejal. Tak ada lagi kursi, bahkan tak ada tempat untuk berdiri. Badan berhimpitan, terasa hangat di musim dingin ini. Hanya rasa hangat yang tak nyaman karena seperti ternak di kandang yang kekecilan.

Badan bendempetan, jarak mata ke mata hanya kira-kira 15 cm saja. Semua menghindari kontak mata, menghindari rasa tidak nyaman. Semua memalingkan muka untuk menghindari berebut udara yang kering dan tipis di musim dingin ini. Bertebaran kata-kata seperti “permisi”; “I’m sorry”; dan “Excuse me” ketika kereta mendadak berhenti, atau mendadak mempercepat.

Ketika jarak mata terlalu dekat, kalau bertatapan bisa seperti batu terantuk batu, menimbulkan percikan-percikan bunga api. Bisa terpercik api benci, api iba, atau bahkan api cinta atau percikan api rasa lainnya. Meskipun tanpa melihatnya, di antara deru mesin kereta dan desingan roda besi meniti rel kereta, kadang terdengar suara pletik-pletikan mata yang terantuk mata.

Tiba-tiba di stasiun Chicago, kereta berhenti mendadak, aku mendengar suara percikan mata terantuk mata diikuti suara gadis remaja yang menjerit, hampir melolong kesakitan. Buku yang semula dipeganginya terlempar, terjatuh di depanku, terbuka diantara boot-boot yang kotor bersalju.

Gadis itu menunduk dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Orang-orang hanya melihatnya penuh dengan keheranan dan Tanya. Darah merembes di antara jari-jarinya yang putih pucat. Perlahan dia membuka tangannya, mukanya pucat kehijauan, matanya yang hijau biru berair mata darah.

“Mata setan itu.” Bisiknya perlahan sambil memandangi lelaki tua berambut abu-abu yang berdiri terbungkuk di depannya.

“Maaf, mata ini adalah kutukanku.” Kata lelaki tua yang menanggung kutukan di setiap kerut wajahnya seraya menunduk. Tak berani dia memandang orang-orang di sekitarnya, takut ada yang terluka oleh percikan dari matanya.

Aku membungkuk mengambil buku yang terjatuh di depanku. Ku tutup perlahan. Ku kembalikan kepada pemiliknya. Gadis itu menerima bukunya, tangannya masih gemetaran.

Aku melirik judul buku itu: Kumpulan Cerita Pendek karangan Edgar Allan Poe. Aku paham sekarang, gadis itu ketakutan pasti karena terbayang cerita “Lelaki Bermata Burung Bangkai” karangan Poe dalam buku itu atau bahkan ketakutan menatap mata Poe sendiri.

Mendadak kereta berjalan lagi. Dan diantara jeritan roda besi menelusuri rel, aku masih mendengar percikan-percikan api dari mata yang terantuk mata.

(cuilan catatan percikan-percikan mata dalam kereta Redline dari 95th ke Howard)

Gambar dimodifikasi dari sini


Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun