Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Egoislah Menghadapi Keegoisan Perilaku Non-Prokes

24 Juni 2021   13:38 Diperbarui: 24 Juni 2021   13:53 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Disain dengan canva.com

Keluar rumah sebentar maka akan banyak dijumpai orang yang tidak mematuhui protokol kesehatan. Tidak memakai masker. Tidak menjaga jarak. Cuci tangan, nggak perlu lagi dipertanyakan. Perilaku non Prokes.

Cuek kah sebagian orang dengan Covid 19 apalagi dengan Varian Delta? Daerah seperti Jakarta, dan Palembang yang paling sering ditinggali oleh penulis menunjukkan hal itu. Itu Fakta.

Seorang teman yang berprofesi sebagai dokter dan pulang malam Minggu lalu, memasang status di WA, terkejut karena jalanan rame, trotoar di Jalan Sudirman ramai orang nongkrong. Tak berjarak dan tak bermasker. Ia pulang dari tempat kerja di bandara ke rumah di kawasan Jaka Baring Palembang biasanya sampai 30 menit sampai 40 menit dan malam Minggu lalu 60 menit nyetir baru sampai rumah.

"Apakah Pandemi sudah berakhir?", tanyanya. Sambil memasang emoji terkejut sedih di status WA. Apa yang diungkapkan pas mewakili kegelisahan orang-orang lain yang berusaha menegakkan Prokes dan bertahan dari Pandemi Covid 19.

Kaki Kupu-Kupu (KKP) Minggu lalu juga berbelanja ke sebuah mini market di dekat rumah di Jakarta. Memakai masker dua lapis, lapis pertama masker medis dan lapis kedua masker kain. Menjaga jarak. Dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak berdekatan dengan orang lain ketika memilih barang.

Membeli stok makanan dan minuman serta vitamin. Hal yang sama kami lakukan tahun lalu ketika Covid 19 mulai menyerang negeri 62 di gelombang pertama. Gelombang kedua ini terus terang, nyaris seperti lepas kendali.

Pada waktu akan melakukan pembayaran, ada pembeli lain yang mendekat, tidak mematuhi jaga jarak padahal di lantai sudah ada tanda telapak kaki, di mana seharusnya posisi antrian pembeli yang akan melakukan pembayaran di kasir. Melihat orang di belakang seperti cuek dan tanpa sungkan serta egois, KKP pun melakukan hal yang sama, dia menjauh dan tetap memantau barang-barang yang sedang di hitung, scanner kasir.

Orang yang di belakang KKP merasa tidak senang, terlihat dari roman mukanya. KKP pun cuek dan egois juga, mau apa. Orang di belakang  KKP seperti "terhukum" membawa penyakit menular. Orang tersebut rikuh. Cuma masih cuek dan egois, tetap tidak tahu diri dengan perilaku non Prokes tak menjaga jarak.

Sang kasir pun meminta orang yang non Prokes tersebut untuk ikut antrian dengan tetap menjaga jarak sesuai dengan jejak tapak kaki yang sudah di pasang di lantai. Orang tersebut menjadi perhatian dan lalu meletakkan barang di kasir, tidak jadi membeli.

Pembeli lain yang antri lalu mengikuti sesuai dengan telapak kaki antrian. KKP pun kembali mendekati kasir dan melakukan pembayaran. Sang kasir, bilang, "terima kasih Bu sudah mengingatkan untuk menegakkan Prokes. Banyak orang yang belanja sudah tidak patuh lagi dengan Prokes".

Orang abai dan non Prokes, itu fakta. Orang yang berusaha menegakkan Prokes juga fakta. Apakah akan terjadi benturan antara orang yang non Prokes dan penegak Prokes? Bisa jadi. Semoga tidak sampai benturan fisik saja.

Sungkan. Tidak enak. Mari buang itu. Menghadapi orang egois, harus egois juga. Sama-sama egois dong.

Stiker di sebuah rumah sakit ketika menjemput KKP yang sedang menjalankan kewajibannya sungguh awu wu wu. Stiker di tempel di pintu kaca otomatis.  Isi stiker adalah "tidak memakai masker medis, tidak akan dilayani". Bahkan Satpam di IGD dan perawat di IGD yang memakai pakaian APD lengkap selalu mengingatkan pasien yang datang yang tidak benar memakai masker. Mereka yang tidak memakai masker di lingkungan rumah sakit juga di tegur Satpam untuk memakai masker.

Budaya untuk mentaati aturan masih belum tertanam dalam diri sebagian orang. Masih banyak yang egois tak taat. Egois, padahal perilakunya bisa membahayakan orang lain (menulari) kalau dirinya ternyata OTG Covid 19. Bahkan membahayakan dirinya sendiri kalau orang orang lain ternyata OTG.

Budaya pecut. Budaya ikut aturan kalau kepepet atau ada orang yang berjaga untuk menegakkan aturan yang berlaku. Budaya ini sangat menghambat kemajuan masyarakat secara umum. 

Indonesia sudah banyak kehilangan. Kehilangan cendekia baik dokter, perawat ataupun profesor serta orang-orang ahli di bidangnya.
Tidak hanya di bidang kedokteran tetapi juga kehilangan di bidang tata pemerintahan, pertanian dan bidang ekonomi serta teknologi informasi. Mereka sudah sekolah cukup lama, melakukan penelitian untuk mencapai titik tertinggi dalam ilmu dan memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu di masyarakat. Belum lagi kehilangan orang-orang yang duduk di eksekutif. Itu fakta. Itu nyata.

Mereka ini dibutuhkan pada waktunya. Usai pandemi ini berakhir untuk membuat disain ekonomi, tata pemerintahan ataupun sosial agar kehidupan pasca pandemi berjalan baik.

Lalu apakah orang-orang biasa yang meninggal di sekeliling kita juga tidak memiliki arti? Bohong lah kalau tidak memiliki arti. Semua orang memiliki arti dalam kehidupan.

Berdasarkan penulusuran, sudah banyak bayi yang meninggal karena positif Covid 19. Mari lihat ini. Kunjungi ini. Juga ini. Masih mau berlaku egoiskah? Egois untuk tidak melakukan Prokes. Covid 19 sudah merengut nyawa  Lansia maupun bayi.

Terkadang ada yang menulis di Medsos atau mengomentari sebuah berita di dunia maya mengenai Euro 2020 yang penontonnya tak bermasker dengan membandingkan Indonesia yang masih bermasker dalam menjalankan aktivitas luar rumah. Mari intropeksi diri. Orang Eropa sudah vaksin. Orang Eropa sebelumnya pro Prokes. Kesadaran untuk menjaga diri dari penularan dan menulari Covid 19 tinggi. Sederhananya mereka sudah berhasil melewati masa itu.

Di negeri 62 masih ribut soal vaksin. Ada yang mau dan ada yang tidak. Belum lagi ribut soal kandungan vaksin dan produsen vaksin. Ada yang percaya Covid 10 konspirasi dan lain sebagainya. Iri dengan orang Eropa yang nonton bola tak bermasker. Iri bilang bos. Iri, intropeksi pribadi dulu. Tulisan mengenai ganasnya konten hoax boleh dilihat kok di kompasiana.com.

Jiwa egois penulis pun meronta. Terpaksa kutulis dengan egois. Bila mau mati, matilah sendiri! Jangan mengajak orang lain! Jangan datang ke rumah sakit kalau sakit, sesak nafas obati sendiri. Nikmati.

Tidak perlu misuh-misuh. Rumah sakit sudah mendekati penuh. Kalau ke rumah sakit nanti dicovidkan. Tidak bisa menegakkan diagnosis, mendiagnosis sendiri. Misuh dengan dokternya. Aneh. Tidak bisa mengobati, datang minta obati sesuai dengan diagnosis sendiri. Misuh.  Lucu. Lah yang dokter siapa, yang sekolah dokter siapa, yang uji kompetensi dokter siapa dan yang spesialis siapa. Alat diagnostik yang menjalankan siapa. Ngakak pol.

Mari selamatkan diri masing-masing. Jangan pernah berharap orang lain menegakkan Prokes untuk menekan jumlah Covid 19. Tegakkan Prokes untuk diri sendiri. Kalau sudah menegakkan Prokes untuk diri sendiri, artinya sudah menjaga orang-orang yang dicintai.

Egois lah menghadapi perilaku non Prokes Covid 19. Genting ia. Panik ia. Apa nggak panik kalau ada pasien ditolak 10 rumah sakit? Ini linknya.

Egois.

Salam Kompal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun