"Kau bahagiakah di sini? Sampai kapan kau akan di sini?" tanya si lelaki.
"Aku jelas bahagia di sini.  Lah kau lihat sendiri ketika kau dan aku ke Posyandu di desa sebelah. Apakah aku tak bahagia ketika aku menggendong seorang anak dan juga tertawa bersama ketika mereka menggodaku untuk segera menikah denganmu? Ketika mereka tersenyum dan bahagia, pada saat itulah aku merasa menjadi manusia," katanya.
Ada saat suatu waktu ketika si lelaki trenyuh sekitar jam delapan malam. Terharu. Hampir menitikkan air mata ketika ada seorang bapak yang membawa anaknya dengan sepeda dengan panas agak tinggi dan ketika sampai di ruangan tak berani, ragu-ragu masuk.
Si lelaki yang melihat hal itu lalu menggendong si anak itu dan meletakkan ke tempat tidur periksa. Si bapak terlihat masih tercekat. Ragu untuk ngomong.
Si dokter dan perawat melakukan pemeriksaan. Dan kemudian menyiapkan obat-obatan untuk dibawakan.
Si bapak masih terpaku. Si bapak berusaha untuk menguatkan diri.
"Bu dokter apakah aku boleh berhutang. Aku tak punya uang. Aku sudah diingatkan oleh istri untuk besok saja bawa anak ke dokter ke Puskesdes. Ini kan waktu ibu praktek swasta. Aku takut karena anakku sudah panas dua hari," kata si bapak terbata nyaris tak terdengar.
"Ndak apa-apa Pak. Sudah bawa anaknya pulang. Gelap loh jalanan. Ini aku bawakan obat untuk tiga hari. Kalau sampai belum ada perbaikan bawa lagi saja ke sini," kata si dokter.
Si lelaki  pun menyiapkan sepeda bapak bersama perawat. Si lelaki menaikkan si anak ke boncengan belakang. Si perawat mengikat tubuh si anak ke tubuh bapaknya dengan selendang yang mereka bawa.
Menembus kegelapan malam dengan lampu batere sepeda si bapak pulang ke rumah. Si bapak harus melalui empat desa dengan empat jembatan melengkung untuk sampai ke rumahnya.
"Aku akan di sini sampai penggantiku datang. Pada saat itulah aku sudah melunasi hutangku kepada negara yang telah mendidiku dan menjadikanku seorang dokter. Kenapa kau sudah tak sabar menungguku," kata si dokter.