Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Punya Anak dengan Setan

4 September 2016   16:44 Diperbarui: 4 September 2016   16:48 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bukit Tunjuk tertutupi kabut senja

Semburat warna jingga menyeruak di pondok itu. Semuanya terlihat sangat indah. Bukit Tunjuk terlihat terselimuti oleh awan tipis. Sore ini semuanya sangat sempurna.

Perempuan yang ada di dekatku ini pun dengan lincah menyusun ranting kayu bakar untuk memasak air. Kemiringan tebing yang mencapai 70 derajat tak membuatnya ngeri atau takut. Keseimbangannya sungguh sempurna.

Tubuhnya nyaris tanpa lemak. Kakinya jenjang. Tangannya cekatan. Kulitnya coklat. Hidungnya mancung. Kurus tidak. Gemuk juga nggak.

“Sanelope” ujarnya mengenalkan diri. Itu dua hari lalu. Waktu itu dirinya datang ke Lahat minta ditemani untuk berjalan-jalan. Kami pun melaju ke pinggiran Sungai Lematang. “Keren,” ujarnya melihat Sungai Lematang di awal musim hujan ini.

Bila melihat di facebook nya perempuan ini sudah mendaki berbagai gunung di Indonesia. Sudah pula malang melintang di berbagai arung jeram. Malam itu, Sanelope mengajak makan malam.

Aku yang agak rikuh berjalan dengan perempuan di malam hari. Apalagi aku baru mengenalnya. Belum lagi kocek lagi mentok alias bokek dalam. Seakan sudah tahu keraguanku. “Jangan takut. Aku yang akan bayar. Begitupun dengan waktumu. Jangan takut akupun tak akan memperkosamu,” katanya sambil tertawa ketika dia datang ke kamar gudangku.


Malam itu menyeruput kopi di pinggir jalan Pasar Lama Lahat. “Itu perjalananku semua. Itu di  facebook semua. Kamu nggak punya  facebook,” tanyanya padaku sambil menggigit sate padang yang ke 12. Akupun menggeleng.

“Aneh. Semua orang pengen eksis. Dirimu malah menenggelamkan diri. Padahal dirimu sudah berjalan ke mana-mana. Aksimu sore tadi ketika mengambil gambar dan juga dirimu yang mau berpayah mengambil angle yang agak sulit. Itu sudah menunjukkan siapa dirimu, kau lelaki yang sengaja menghilangkan diri,” ungkapnya.

“Besok temani aku main arung jeram ke Selangis. Perahu dan juga peralatan lengkap sudah siap. Aku sudah sewa termasuk angkutan ke sana dan pulangnya di Tanjung Mulak.”

Akupun terperanjat. Perempuan ini begitu taktis. Cepat mengambil keputusan. “Kenapa? Tak mau menemani. Kita berdua. Pada  spot-spot  tertentu kau harus ambil gambarnya dengan hapeku dan juga MI mu.”

Sekali lagi aku seperti tak berdaya. Bisakah main arung jeram berdua saja. Padahal butuh tenaga yang besar untuk mengayuh dan melewati batu-batu besar di Sungai Selangis. Video mengenai arung jeram di Selangis bersama teman-temanku dulu pernah aku  upload ke  Youtube.

Pagi berkabut. Aku dan Sanelope serta seorang sopir sudah meliuk-liuk di kaki bukit Bukit Barisan Sumatra. Mobil mini pickup ini pun terkadang memainkan lampu dan juga menekan klakson di tikungan tajam. Kerlip lampu pondok-pondok terlihat di kejauhan. Wangi bunga Kopi pun melesat terendus oleh hidungku.

Sampai di bawah Jembatan Selangis. Kami pun menurunkan perahu dan juga peralatan. Hari masih gelap. Sorot lampu mobil menerangi Sungai Selangis yang suaranya terdengar nyaring. Kami pun melakukan pemanasan dan pelemasan otot. Mempersiapkan kamera. Memasang  life  jacket.  Memakai helm arung jeram. Semua siap.

Mukaku agak tegang. Sanelope sepertinya melihatnya. “Takutkah?” Aku menggeleng. Mobil pun mundur dan meluncur ke Tanjung Mulak.

Bekal dan juga peralatan penting lainnya dimasukkan ke dalam dua  dry bag. Perahu di gotong dan diturunkan ke sungai.

Sanelope pun di belakang dan aku di depan. “Ikuti perintahku saja,” ujarnya memecah kabut. Jeram-jeram kecil langsung menghadang di depan. “Keren,” teriaknya.

Cahaya matahari mulai menerobos hutan dan kebun. Memantulkan cahaya itu ke ceruk Sungai Selangis.

Beberapa warga terlihat melambaikan tangan melaksanakan aktivitas pagi di sungai. Pondok mereka di atas terlihat mengeluarkan asap panas menerobos hawa dingin sekitar.

Sanelope makin bersemangat mengayuh. Ia pun berteriak dan kadang malah tertawa lepas. Akupun mengabadikan gayanya. Terkadang menggunakan HP nya terkadang menggunakan MI ku.

Tiba-tiba suara gemuruh memekakkan telinga terdengar makin keras dan keras disertai dengan aliran air sungai yang makin membesar. “Banjir bandang,” teriakku. Sanelope menambah tenaga demikian pula dengan diriku yang turut membantu mendayung.

“Ambil kanan,” teriaknya. Perahu karet kami pun terangkat dan terbanting. “Tetap pegangan,” teriaknya. Lahan datar di bagian kanan itu menyelamatkan kami. Air pun menggerus apa saja. Kayu dan batu-batu besar terlihat teraduk-aduk di pagi buta itu.

Aku langsung drop. Dan tak sadarkan diri.

Itulah yang membuatkku kini terbaring di pondok kebun kopi warga. Aku juga tak tahu bagaimana Sanelope mengangkat tubuhku yang gemuk itu ke atas. Perjuangannya kuyakin sungguh berat. Belum lagi menyelamatkan satu  dry  bag.

“Tenanglah. Mungkin punggung dan lenganmu bergeser.”

“Kita di sini mungkin dua sampai tiga hari. Pertama, pasti sopir yang kita sewa akan memberitahu orang kampung kalau kita kena musibah. Kedua, pondok kopi ini pasti akan didatangi pemiliknya. Jadi kita masih bisa tertolonglah.”

Punggungku memang agak sakit demikian pula ketika lenganku digerakkan. Tubuhku sudah kering. Dan sudah berganti celana dan kaos. Sanelope dipastikan yang menggantikan celana basah dan kaos basahku.

“Nggak usah mikir. Aku yang mengeringkan tubuhmu dan menggantikan celana dan kaosmu.”

Air di cerek mendidih. Dan Sanelope pun membuatkan minuman sereal.

Hari sudah menjelang malam. Aku mesti cari ranting untuk perapian. Untung lampu yang ditinggalkan oleh pemilik pondok ini masih ada minyaknya.

Aku yang berusaha membantu dicegahnya. “Istirahatlah dulu. Kau meremehkan kemampuanku.”

Akupun diam saja. Malam merambat pelan. Nyamuk masih bisa terusir karena di  dry  bag  ternyata ada lotion  anti nyamuk.

“Kenapa kau lari? Menenggelamkan diri dalam pekerjaanmu. Kau punya bakat. Kau punya talenta. Kau punya semangat. Jangan kau tenggelamkan.”

“Aneh dirimu. Kau malah menasehatiku. Padahal kita sedang dalam bahaya. Kalau malam ini hujan. Pondok ini bisa longsor ke bawah. Matilah kita,” kataku.

Lagi-lagi Sanelope tersenyum. Giginya yang putih. Lesung pipitnya. Potongan rambutnya yang pendek membuat leher jenjangnya terlihat. Tubuhnya yang dibalut oleh kaos putih terlihat sexy.

Pondok yang berukuran dua meter kali dua meter, terbuat dari bambu inipun penuh oleh kami berdua. “Jujurlah padaku. Kau tadi sudah nyaris mati. Masih tak mau jujur,” pintanya.

Bayangan dosa-dosa yang pernah ku perbuat membuatku semakin melemah. Mabuk, zinah, selingkuh dan dosa-dosa besar lainnya pun melintas. “Kau setan,” sergahku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana kuatnya Sanelope menyeretku hingga ke pondok.

“Betul. Aku patuh dan selalu taat dengan sumpahku pada Tuhan. Tapi kau kadang terlihat sangat baik dan bijaksana tetapi sebenarnya jahat. Alim tapi lebih buruk dariku,” jawabnya menyeringai.

Aku tak takut. Justru aku menikmati. Gemericik air hujan yang lamat-lamat mulai jatuh dari langit yang gelap. Sanelope sungguh pandai. Di sekeliling perapian sudah dibuatkan aliran air sehingga air hujan tak mematikan perapian.

Perempuan ini sepertinya sudah menyiapkan segalanya. “Aku ingin membuat anak denganmu,” katanya memecah kebekuan gulita.

“Ha ha ha ha. Memang malam ini kau subur. Enak saja,” balasku. “Aku subur. Dan siap punya anak darimu. Suka atau tidak. Malam ini kau akan membuat anak denganku.”

“Aku sehat. Belum pernah berhubungan dengan lelaki. Aku tak punya penyakit kelamin, HIV apalagi AIDS. Aku ingin membesarkan anak dan aku memilihmu.”

Jatungku berdegup kencang. Bayangan perempuan-perempuan yang pernah kutolak karena tak mau memeriksakan diri ketika si perempuan mengajakku bercinta. “Ha ha ha. Kita periksa dulu. Penyakit kelamin dan juga HIV AIDS. Agar nanti kita bersih. Jangan saling menyalahkan kalau ada yang sakit.”

Si perempuan yang merasa terhina pun langsung meninggalkan diriku. Ada juga yang nekat memeriksakan diri tetapi tak pernah jadi bercinta.

Kali ini diriku  kena batunya. Entah kenapa tiba-tiba mataku terasa berat dan ada semacam beban berat yang menimpaku yang membuatku susah bernafas.

Paginya tubuhku terasa remuk. Sanelope terlihat tersenyum manis. “Selamat pagi sayang,” ucapnya. Ini sereal. Silahkan sarapan pagi. Pagi tadi, pemilik kebun sudah datang dan kujelaskan kalau aku dan dirimu adalah orang yang hilang yang diributkan oleh orang sekitaran Sungai Selangis.

Aku merasa ada yang hilang. Tetapi orang kampung dan Tim Tagana terdengar ramai di atas. Mereka datang membawa tandu.

Aku pun ditandu karena punggungku sakit sekali demikian pula dengan lenganku. Mereka berenam terlihat bersusah payah mengangkatku naik ke atas.

Aneh bagaimana dengan Sanelope yang mengangkatku dari bawah sungai ke atas kebun ini. Aneh pikirku. Sanelope terlihat jalan dengan ringannya. Sekali-kali terlihat melirikku. Senyumnya.

Ambulance  offroad  terlihat sudah di bawah. Jadi aku diangkat naik dari kebun kemudian diturunkan lagi ke jalan. Melintasi bukit tepatnya.

Selama di ambulance. Senelope selalu memandangiku. Senyumnya sangat lembut. Alisnya seperti semut hitam berbaris. Lesung pipitnya. Lehernya begitu indah.

Ketika di ruang  triage, Sanelope mengucapkan terimakasih. “Aku sudah punya anak darimu. Aku mencintaimu. Suatu hari nanti aku akan datang dan akan aku buktikan kalau aku bisa mendidik anak, bisa membesarkan anak dan juga kan kubuktikan kalau anak itu adalah anakmu,” katanya sambil mencium keningku.

Akupun terpatung. Setelah sehat dan pulang ke kamar gudangku. Sekali lagi aku terkejut karena ada foto 4r, aku dan Sanelope sedang berciuman tertempel di dinding. Ada tulisan kecil di atas notebook. “Jangan tenggelamkan dirimu. Aku butuh kamu nanti. Anakku butuh pembuktian kalau dia punya bapak. Jaga kesehatanmu.”  Love u Fever.  Sanelope

Akupun mencari Sanelope di  facebook. Semuanya hilang tak berbekas. Tak ada nama Sanelope. Padahal malam itu jelas. Foto-foto Sanelope di berbagai lokasi arung jeram terkenal, di gunung-gunung terkenal di Indonesia, bahkan ada videonya.

Keringat dingin pun mengalir deras. Sanelope setan.

Aku punya anak dengan setan. Bulu kudukkupun merinding. Aku menghempaskan tubuhku.  Ahhh  janin itu akan datang padaku pada saatnya nanti.

Salam Kompasiana

Salam Fiksiana

Salam KOMPAL

Foto dokumentasi OtnasusidE. Logo KOMPAL milik Admin
Foto dokumentasi OtnasusidE. Logo KOMPAL milik Admin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun