Mohon tunggu...
OSTI  LAMANEPA
OSTI LAMANEPA Mohon Tunggu... Mahasiswa - DEO GRATIA (RAHMAT ALLAH)

MAHASISWA FILSAFAT DAN TEOLOGI

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Minoritas, Multikulturalisme, dan Liberalisme

11 April 2021   22:26 Diperbarui: 3 Mei 2021   09:22 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minoritas, Multikulturalisme, dan Liberalisme

1. Latar Belakang

Kesadaran akan pentingnya identitas diri mendasari berkembangnya wacana

multikulturalisme. Proses globalisasi dan modernisasi telah membawa implikasi begitu besar

dalam berbagai kehidupan manusia. Salah satu implikasi yang timbul adalah meningkatnya

mobilitas manusia. Mobilitas yang tinggi menjadikan beragam orang dari bermacam-macam


latar belakang berjumpa, bekerjasama, dan kemudian bersepakat. Pertemuan itu kemudian

menimbulkan kesadaran bahwa akan pluralisme menjadi sungguh nyata dan tidak dapat

dielakkan. Munculnya kelompok-kelompok subkultur baru pun mewarnai realitas dunia

masyarakat modern dewasa ini. Negara pun dituntut untuk memberikan pengakuan kepada

kelompok-kelompok, termasuk pada kelompok minoritas yang kerapkali ditindas. Maka dari

itu, muncullah wacana multikulturalisme yang mencoba mengatasi realitas keberagaman

tersebut.

Pemikir liberal yang terkesan individualistis berusaha memberikan tanggapan terhadap

realitas multikulturalisme yang berkembang dewasa ini. Jika mau dilihat secara mendalam,

pemikiran liberal pada dasarnya begitu dekat dengan wacana multikulturalisme ini. Dalam

wacana multikulturalisme, pembahasan yang begitu hangat dibicarakan adalah mengenai hakhak minoritas. Kelompok minoritas tidak jarang mendapatkan diskriminasi dalam kehidupan

bermasyarakat. Hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan justru diambil dan dirampas. Hakhak minoritas harus berhadapan dengan usaha negara mengintegrasikan dan menciptakan

budaya nasional. Tulisan ini bertujuan untuk menelaah pemikiran liberalisme kontemporer

yang dalam hal ini berusaha untuk memberikan jawaban dan mendefenisikan kembali makna

sejati dari liberalisme dalam kaitan dengan multikulturalisme. Tulisan ini dibagi sebagai

berikut yakni: 1)Liberalisme: Paham Kebebasan dan Kesetaraan; 2)Minoritas dalam

Pluralisme Masyarakat; 3)Wacana Multikulturalisme dalam Liberalisme; 4)Konteks Indonesia

dalam Wacana Multikulturalisme dan Liberalisme; dan 5)Penutup.

2. Liberalisme: Paham Kebebasan dan Kesetaraan

Paham mengenai kebebasan menjadi perbincangan yang tiada habisnya untuk diulas

dan diperdalam. Dalam sejarah pemikiran, terdapat begitu banyak tokoh yang mencoba untuk

mengajukan premis guna mendefinisikan secara utuh hakikat dari kebebasan itu sendiri.

Liberalisme pun mencoba untuk mengajukan premis umumnya mengenai kebebasan.

Liberalisme memaknai kebebasan dalam konteks keterkaitannya dengan individu. Dalam

pemikiran kaum liberal, setiap individu mempunyai kebebasannya masing-masing. Paham

liberalisme tentang kebebasan didasarkan pada keyakinan akan ciri metafisis dari kebebasan

yang pada dasarnya melekat pada individu sebagai human being (Bdk Arga Tyas Asmoro, Legitimasi Hak Minoritas dalam Multikulturalisme)

Manusia yang mengada pada saat yang sama turut serta mempunyai hak-hak individu.

hakikat setiap individu adalah setara, karena mereka masing-masing mempunyai hak-hak

individual sebagai human being. Liberalisme berusaha merekontruksi pemahaman akan

subjektivitas individu. Individu ditempatkan sebagai aktor sosial yang bertindak di atas dasar

konstruksi diri yang utuh. Individu tidak dapat dicabut dari kediriannya dan direduksi hak-hak

individualnya. Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa individu tidak dapat dilepaskan dari

kebebasan yang bersifat privat-individual. Will Kymlicka melihat bahwa manusa pada

dasarnya berharap untuk menuju kepada hidup yang baik dan bahwa ini memerlukan otonomi (Bhiku P, Rethinking Multiculturalism, 139).

Kebebasan individual dalam liberalisme berusaha dipahami dalam konteks keadilan

dan kesetaraan. Kelompok liberal harus mengakui bahwa melepaskan konteks masyarakat

dalam usaha pendefinisian individu adalah sesuatu yang absurb. Dalam terori Wilhelm von

Humboldt promosi individualitas dan pengembangan kepribadian manusia sebenarnya terkait

erat dengan keanggotaanya dan peran seseeorang dalam masyarakat. John Rawls memberikan

sebuah panorama pemikiran liberalisme politik dengan menekankan stabilitas yang tercipta

sebagai konsekuensi dari keadilan. Rawls menekankan bahwa kebebasan individu terikait erat

dengan terciptanya societas yang adil. Dalam kaitan dengan hidup bernegara, Rawls

mengajukan sebuah pemikiran tentang konsesus sebagai upaya guna mencapai stabilitas dalam

hidup politik masyarakat.

Ia menghargai otonomi perorangan tetapi membatasi penggunaannya pada dunia politis. Susunan

kebaikan-kebaikan yang utama juga berasal dari dalam konsepsi politik keadilan. Warga negara

menata urusan bersama mereka menurut akal budi publik. Karena sebagai warga negara, mereka

terikat untuk menilai tindakan-tindakan dan usulan satu sama lain, mereka hanya tertarik pada citacita dan prinsip-prinsip yang dimasukkan dalam konsepsi politik keadilan atau kepada nilai-nilai

public (Bhiku P, Rethinking Multiculturalism, 118).

Pada kenyataannya, liberalisme berusaha mengangkat kebebasan individual sebagai

cita-cita yang patut untuk dipertahankan. Liberalisme menekankan subjek sebagai pribadi yang

individualistis. Dalam kesadaran akan societas, liberalisme tunduk pada realitas sifat

kebebasan yang terkait erat dengan konsep kesetaraan dan keadilan dalam hubungannya

dengan individu-individu lainnya. Dapat dikatakan bahwa dalam kebebasan terdapat

kewajiban dan tanggungjawab individu dalam konteks hidup bersama. Jika kebebasan adalah

sebuah keniscayaan, maka keadilan adalah sebuah pilihan yang harus diambil atas dasar

keniscayaan itu. Pandangan liberalisme menjadi semakin jelas apabila dilihat dalam konteks

pertentangan dengan kelompok komunitarianisme. Sudut pandang yang digunakan oleh

kelompok komunitarianisme adalah gambaran tentang "kita" yang didasarkan pada

pemahaman bahwa dalam sebuah kelompok subjek-subjek dalam menemukan identitas

dirinya. Sementara, liberalisme menekankan kebebasan individual sebagai landasan

pembangunan masyarakat.

3. Minoritas dalam Pluralisme Masyarakat

Globalisasi memicu perubahan yang begitu besar di berbagai segi kehidupan manusia.

Perkembangan teknologi semakin memudahkan manusia untuk mengembangkan dirinya.

Mobilitas manusia dewasa ini yang sangat tinggi memicu pertemuan budaya-budaya yang

sebelumnya seakan sulit terjadi karena alasan akses teritorial. Kesadaran baru akan

keberagaman budaya yang begitu kaya menjadi bertumbuh sebagai kesadaran bersama.

Pluralitas menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan di tengah-tengah dunia dewasa ini.

Dalam perkembangan selanjutnya, realitas pluralisme berkembang menjadi persoalan

sekaligus tantangan yang harus diselesaikan oleh banyak pihak.

Heterogenitas budaya sebagai kenyataan dari pluralisme mendapat tanggapan yang

beragam dari berbagai pihak. Sejak Perang Dunia II pecah, kesadaran akan pentingnya

homogenitas budaya begitu bergeliat dan hampir mengalahkan kesadaran akan heterogenitas

budaya. Konsekuensi dari itu semua adalah terbentuknya sekat-sekat yang seakan-akan

membagi masyarakat menjadi dua kutub besar, yakni mayoritas dan minoritas. Fakta sejarah

memperlihatkan dengan begitu jelas bagaimana dalam perjalanan waktu kaum minoritas selalu

diminta untuk "mengalah" dari kaum mayoritas. Pandangan yang berkembang bahkan hingga

saat ini adalah pentingnya homogenitas budaya yang terwujud dalam suatu budaya komunal

yang lahir dari konsesus bersama. Ada tendensi untuk mengorbankan budaya kaum minoritas

yang sebenarnya tetap harus dihargai. Minoritas seakan diminta untuk "mengalah" dari

mayoritas. Diskriminasi terhadap budaya-budaya memicu tumbuhnnya ketidakadilan yang

menjadi bentuknya nyata dari kesewenang-wenangan dan bentuk pelecehan dari prinsip

kesetaraan.

Pembatasan hak-hak minoritas ini dilakukan, bukan untuk kepentingan keadilan, tetapi oleh orangorang yang dalam kerangka acuannya kepentingan negara nasional digolongkan sebagai nilai yang

tertinggi. Mayoritas kebangsaan memiliki kepentingan dalam membuat stabilitas negara dan

institusi-institusinya stabil, bahakn dengan mengorbankan budaya-budaya minoritas dan

memaksakan homogenitas yang dipaksakan kepada penduduk.4

Ketidakadilan yang dialami kelompok minoritas menjadi bukti nyata dari ketimpangan

penyangkalan hak-hak nasional mereka yang telah dipromulgasikan dalam hukum negara.5

Sebagai bagian dari negara, kelompok minoritas sudah semestinya mendapatkan kesempatan

yang sama dengan kelompok lainnya. Ketegangan yang terjadi antara prinsip hak kebebasan

individual dan prinsip sosial kemasyarakatan memang kerapkali menjadi alasan di balik

terjadinya diskriminasi ini. Pada tempat pertama, negara-negara berusaha untuk mencapai

konsesus bersama guna memprosomikan eksistensi dari identitas nasional. Namun,

kenyataannya identitas nasional seringkali dipertanyakan, karena tumbuhnya pemahaman

seakan-akan identitas nasional malah mengunggulkan kelompok yang satu dan merugikan

kelompok yang lainnya. Maka, timbullah kesadaran dari kelompok minoritas untuk meminta

pengakuan akan keberadaan mereka. Kelompok minoritas yang bahkan merupakan kelompok

dengan subkultur baru meminta pengakuan dari negara termasuk dalam hal-hal sederhana,

seperti izin untuk menggunakan bahasa ibu, pemberian libur atas hari raya dalam budaya

mereka, dan sebagainya. Mereka tidak hanya ingin supaya identitasnya ada, tetapi supaya

identitas tersebut berkembang secara dinamis dengan identitas-identitas lainnya di dalam

masyarakat.

4. Wacana Multikulturalisme dalam Liberalisme

Pada dasarnya, wacana multikulturalisme dapat dikatakan sangat dekat dengan

semangat liberalisme. Wacana multikulturalisme mengedepankan perjuangan kaum-kaum

minoritas dalam mengusahakan kesetaraan dan pengakuan. Wacana tersebut ingin

membongkar kenyataan pahit yang dialami oleh kaum minoritas yang dipandang sebelah mata

oleh negara atau pemerintah. Liberalisme sendiri mempunyai dua klaim yang digunakan untuk

membela hak-hak minoritas bahwa kebebasan individu terikat dalam kepentingan keanggotaan

seseorang dalam kelompok nasional, dan bahwa hak kelompok secara spesifik dapat

mempromosikan kesetaraan antara mayoritas dan minoritas.7 Liberalisme kontemporer

berusaha melihat konteks permasalahan mengenai multikulturalisme dengan dalil dasar bahwa

kebebasan individu tidak dapat dimutlakkan.

Beberapa kaum liberal mempunyai pendapat lain terhadap tuntutan hak-hak kaum

minoritas dalam wacana multikulturalisme. Mill, misalnya, menekankan bahwa lebih baik bagi

kelompok-kelompok kecil untuk dapat bergabung dan berasimilasi dengan kelompok besar

guna membangun sebuah kelompok besar yang disebut negara. Pendapat Mill tersebut lebih

cenderung menekankan pentingnya kesatuan budaya yang kemudian dapat dijadikan sebagai

identitas nasional. Kebebasan individu harus diarahkan kepada kehendak untuk bersatu dengan

kelompok yang lebih besar. Bagi Mill, bangsa besar dinilai sebagai masyarakat yang beradab

yang mampu mengembangkan situasi sosial-budaya, sedangakn kelompok kecil dinilai

sebaliknya. Pandangan Mill ini dapat memberikan ruang bagi munculnya paham etnosentrime.

Sebagai contoh, kaum liberalisme Amerika Serikat mendukung pengabaian hak-hak minoritas

nasional yang justru kemudian menimbulkan konflik dalam tubuh masyarakat mereka sendiri.

Maka, dengan sendirinya, Mill mendukung terwujudnya identitas nasional sebagai elemen dari

stabilitas pemerintahan maupun negara.

Pandangan berbeda dikemukakan oleh Will Kymlicka. Identitfikasi terhadap prinsip

liberalisme bahwa manusia selalu menuju kepada yang baik membuatnya meletakkan

komitmen pada otonomi sebagai dasar politik liberal. Dalam pandangannya, Kymlicka

menekankan bahwa setiap individu mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan

akses kepada informasi, data, kesehatan, layanan public, dan sebagainya. Individu adalah agenagen moral dan pembawa hak dan kewajiban yang harus dihormati dan dipandang setara.

Masyarakat 'tidak memiliki status moral mereka sendiri' dan akan dinilai menurut sumbangan

mereka pada hidup yang baik dari anggota-anggota mereka (Bhiku P, Rethinking Multiculturalism, 140).

Kymlicka melihat bahwa kebebasan individual dapat dipergunakan guna mencapai sebuah konsesus menuju kebaikan dalam kenyataan hidup bermasyarakat. Ada berbagai macam pandangan dari para liberalis mengenai hak-hak minoritas dalam konteks negara multinasional. Pemahaman yang kerapkali muncul dalam pemikiran kaum liberal kontemporer adalah cita-cita negara nasional yang seringkali dipahami sebagai  satunya jalan mencapai stabilitas negara. Inilah yang disebut oleh Taylor sebagai bagian dari politik kesetaraan.

Politik kesetaraan menekankan sisi dimana perlunya menghargai harkat dan martabat manusia dan serta kelompok dimana manusia berada. Pemikiran politik kesetaraan

bergerak di atas prinsip universal yang dianggap dapat mengatasi partikularitas. Namun,

Taylor, dalam pemikirannya lebih lanjut, berpendapat bahwa yang semestinya juga diterapkan

dalam kehidupan konkret adalah penerapan politik perbedaan. Premis yang ditawarkan Taylor

untuk mempertahankan politik perbedaan adalah, bahwa setiap kebudayaan, dengan cara

berpikirnya yang unik, selalu memiliki nilai intrinsic yang membuatnya berarti.

Keberagaman

Kberagaman tidak harus dipandang sebagai penghalang, tetapi justri dianggap sebagai sebuah kesempatan

bagi manusia untuk sungguh memperkaya dirinya. Dua jenis politik, yakni politik kesetaraan

dan perbedaan, yang dikemukakan oleh Taylor berusaha untuk memperlihatkan pandangan

liberalisme yang komprehensif mengenai realitas masyarakat dewasa ini. Perbedaan sudah

seharusnya dirawat dan diakui sambil mengusung solidaritas dalam semangat persatuan

sebagai nilai universal.

Konteks Indonesia dalam Wacana Multikulturalisme dan Liberalisme

Sudah sejak lama kesadaran akan pluralitas tumbuh dan berkembang di Indonesia.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki begitu ragam rupa budaya yang menampilkan

kekhasannya masing-masing. Para founding father jelas-jelas menyadari realitas ke-bhinekaan Indonesia yang sungguh-sungguh harus dikelola dengan baik. Mereka telah mewariskan

suatu nilai penghormatan yang kuat terhadap pluralitas, yakni dengan rumusan Pancasila

sebagai ideologi negara dan bangsa. Pancasila bukan sekadar piagam yang hanya dapat

dikenang dan diabadikan dalam museum-museum. Tetapi merupakan ideologi pemersatu dari

ke-bhineka-an ini. Dasar filosofis dari Negara Indonesia adalah Pancasila.

Pancasila dan implementasinya sebagai sebuah ideologi dapat dilihat dan ditinjau lebih

lanjut dalam kerangka pemikiran liberal dan wacana multikulturalisme. Sebagai sebuah

ideologi, Pancasila memiliki peran untuk mempersatukan berbagai macam golongan, budaya,

dan kelompok yang ada dalam naungan Indonesia. Apabila dilihat dalam konsep pemikiran

liberal kontemporer, peletakan Pancasila sebagai dasar negara merupakan sebuah upaya untuk

membentuk kesadaran akan kesatuan identitas. Kesatuan identitas menjadi elemen pokok yang

penting untuk diperhatikan dalam konsep masyarakat yang pluralistic. Namun, hal itu tidak

langsung mengartikan bahwa Pancasila hanya merupakan alat penguasa untuk menundukkan

berbagai kelompok di bawah naungannya. Pancasila sebagai ideologi menampilkan makna

rasionalitas yang memiliki target dan tujuan kepentingan. (Armada Riyanto, Politik, Sejarah, Identitas, Postmodernitas, 43). Tujuan kepentingan itu tidak lain adalah terwujudnya rasa solidaritas-persaudaran dalam kesadaran akan pluralitas. Dengan demikian, Pancasila merupakan sebuah ideologi bangsa yang pada dasarnya menghormati eksistensi manusia yang bebas sebagaimana yang dihormati pula oleh paham liberalisme. Wacana multikulturalisme menjadi menarik untuk dibahas dalam kerangka pemikiran eksistensi Pancasila. Perlu diingat bahwa pada dasarnya multikulturalisme adalah sebuah wacana pengakuan yang ditimbulkan kesadaran kaum minoritas yang mau meminta hakhaknya. Secara ideal, eksistensi Pancasila mengatakan penghormatan terhadap perbedaan dan

sekaligus pengakuan atasnya. Dengan menyebut Pancasila sebagai Philosophische Grondslag,

pemikiaran Soekarno tentang Pancasila sesungguhnya jauh mengatasi persepsi politis ideologis

aliran apapun (Armada Riyanto, Politik, Sejarah, Identitas, Postmodernitas, 38).

 Pancasila memberikan wadah dan sekaligus pengakuan terhadap realias pluralisme masyarakat.

Penerapan Pancasila secara actual dan konkret memang mendapatkan tantangan dan

hambatan. Banyak fenomena yang terjadi di Indonesia justru seakan mencemoohkan semangat

dasar dari Pancasila itu. Dalam banyak surat kabar atau laman pemberitaan, dapat ditemukan

berbagai permasalahan intoleransi di dalam kehidupan bermasyarakat, anarkisme yang

merajalela, perampasan hak-hak individual atau kelompok, dan sebagainya. Baru-baru ini,

timbul wacana untuk memperkenankan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk supaya

dapat dikosongkan. Kelompok-kelompok yang tidak termasuk dalam lima agama yang diakui

di Indonesia berusaha untuk meminta pengakuan dari pemerintah. Selain itu, ketidakmerataan

pembangunan yang terjadi di Indonesia juga menuai protes dari berbagai pihak yang

menganggap adanya ketimpangan perhatian pemerintah terhadap kelompok-kelompok tertentu

saja. Inilah realitas yang terjadi di Indonesia. Wacana multikulturalisme menjadi penting untuk

diperhatikan bersama. Indonesia harus mulai melihat perbedaan kultur sebagai potensi yang

bisa digali sebagai bentuk penegasan identitas bangsa.12

Penutup

Wacana multikulturalisme, pada dasarnya, mempunyai ruang tersendiri dalam

pembahasan liberalisme kontemporer. Multikulturalisme bukan sekadar wacana dangkal atas

permintaan kaum minoritas untuk dapat diakui keberadaannya. Justru di balik

multikulturalisme, terungkap nilai-nilai esensial dari liberalisme itu sendiri. Apabila dilihat

lebih jauh, pergerakan kelompok-kelompok yang menyerukan multikulturalisme didasarkan

pada kenyataan bahwa pada dasarnya manusia itu mempunyai kebebasan. Ada seruan agar

kesetaraan dan keadilan dijunjung dengan sungguh dalam konteks masyarakat pluralis.

Liberalisme ditantang untuk menyikapi pergerakan tersebut dengan pemikiran yang matang.

Memang ada begitu banyak pandangan yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh liberal

kontemporer terkait dengan multikulturalisme dan hak-hak minoritas. Ada yang lebih

menekankan pentingnya hak-hak individual di atas kepentingan komuniter dan ada pula yang

sebaliknya. Namun, pandangan Taylor mengenai multikulturalisme sudah semestinya

mendapatkan perhatian bersama. Dengan mengemukakan dua tipe politik yang dapat

dijalankan dalam konteks pluralisme, Taylor memberikan sebuah panorama baru untuk melihat

realitas multikulturalisme ini. Multikulturalisme harus dipandang dan ditanggapi secara

komprehensif. Dalam penyelenggaraan negara yang plural, ideologi persatuan menjadi sesuatu

yang substansial, karena dapat menjadi tolak ukur atau penyangga kehidupan sosial

masyarakat. Namun, di satu sisi, keunikan maupun kekhasan dari setiap kelompok yang ada di

dalam sebuah negara tetap harus diakomodasi sebagai bagian dari politik perbedaan.

Keberagaman harus dikelola dengan baik agar tidak terjadi ketimpangan.

Dalam konteks Indonesia, wacana multikulturalisme dan liberalisme perlu untuk

ditinjau dan dipertimbangkan. Sebagai sebuah negara dengan tingkat pluralitas yang tinggi,

Indonesia harus terus membuat evaluasi terhadap penyelenggaraan negara dan perpolitikan.

Pancasila sebagai identitas bangsa adalah modal yang kuat sebab di dalamnya sudah terangkum

semangat persatuan dan penghormatan terhadap hak-hak eksistensial individu. Untuk itu,

bentuk-bentuk penyelewengan yang terungkap dalam berbagai fenomena dalam masyarakat

yang melenceng dari semangat Pancasilais harus ditanggapi secara serius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun