Minoritas, Multikulturalisme, dan Liberalisme
1. Latar Belakang
Kesadaran akan pentingnya identitas diri mendasari berkembangnya wacana
multikulturalisme. Proses globalisasi dan modernisasi telah membawa implikasi begitu besar
dalam berbagai kehidupan manusia. Salah satu implikasi yang timbul adalah meningkatnya
mobilitas manusia. Mobilitas yang tinggi menjadikan beragam orang dari bermacam-macam
latar belakang berjumpa, bekerjasama, dan kemudian bersepakat. Pertemuan itu kemudian
menimbulkan kesadaran bahwa akan pluralisme menjadi sungguh nyata dan tidak dapat
dielakkan. Munculnya kelompok-kelompok subkultur baru pun mewarnai realitas dunia
masyarakat modern dewasa ini. Negara pun dituntut untuk memberikan pengakuan kepada
kelompok-kelompok, termasuk pada kelompok minoritas yang kerapkali ditindas. Maka dari
itu, muncullah wacana multikulturalisme yang mencoba mengatasi realitas keberagaman
tersebut.
Pemikir liberal yang terkesan individualistis berusaha memberikan tanggapan terhadap
realitas multikulturalisme yang berkembang dewasa ini. Jika mau dilihat secara mendalam,
pemikiran liberal pada dasarnya begitu dekat dengan wacana multikulturalisme ini. Dalam
wacana multikulturalisme, pembahasan yang begitu hangat dibicarakan adalah mengenai hakhak minoritas. Kelompok minoritas tidak jarang mendapatkan diskriminasi dalam kehidupan
bermasyarakat. Hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan justru diambil dan dirampas. Hakhak minoritas harus berhadapan dengan usaha negara mengintegrasikan dan menciptakan
budaya nasional. Tulisan ini bertujuan untuk menelaah pemikiran liberalisme kontemporer
yang dalam hal ini berusaha untuk memberikan jawaban dan mendefenisikan kembali makna
sejati dari liberalisme dalam kaitan dengan multikulturalisme. Tulisan ini dibagi sebagai
berikut yakni: 1)Liberalisme: Paham Kebebasan dan Kesetaraan; 2)Minoritas dalam
Pluralisme Masyarakat; 3)Wacana Multikulturalisme dalam Liberalisme; 4)Konteks Indonesia
dalam Wacana Multikulturalisme dan Liberalisme; dan 5)Penutup.
2. Liberalisme: Paham Kebebasan dan Kesetaraan
Paham mengenai kebebasan menjadi perbincangan yang tiada habisnya untuk diulas
dan diperdalam. Dalam sejarah pemikiran, terdapat begitu banyak tokoh yang mencoba untuk
mengajukan premis guna mendefinisikan secara utuh hakikat dari kebebasan itu sendiri.
Liberalisme pun mencoba untuk mengajukan premis umumnya mengenai kebebasan.
Liberalisme memaknai kebebasan dalam konteks keterkaitannya dengan individu. Dalam
pemikiran kaum liberal, setiap individu mempunyai kebebasannya masing-masing. Paham
liberalisme tentang kebebasan didasarkan pada keyakinan akan ciri metafisis dari kebebasan
yang pada dasarnya melekat pada individu sebagai human being (Bdk Arga Tyas Asmoro, Legitimasi Hak Minoritas dalam Multikulturalisme)
Manusia yang mengada pada saat yang sama turut serta mempunyai hak-hak individu.
hakikat setiap individu adalah setara, karena mereka masing-masing mempunyai hak-hak
individual sebagai human being. Liberalisme berusaha merekontruksi pemahaman akan
subjektivitas individu. Individu ditempatkan sebagai aktor sosial yang bertindak di atas dasar
konstruksi diri yang utuh. Individu tidak dapat dicabut dari kediriannya dan direduksi hak-hak
individualnya. Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa individu tidak dapat dilepaskan dari
kebebasan yang bersifat privat-individual. Will Kymlicka melihat bahwa manusa pada
dasarnya berharap untuk menuju kepada hidup yang baik dan bahwa ini memerlukan otonomi (Bhiku P, Rethinking Multiculturalism, 139).
Kebebasan individual dalam liberalisme berusaha dipahami dalam konteks keadilan
dan kesetaraan. Kelompok liberal harus mengakui bahwa melepaskan konteks masyarakat
dalam usaha pendefinisian individu adalah sesuatu yang absurb. Dalam terori Wilhelm von
Humboldt promosi individualitas dan pengembangan kepribadian manusia sebenarnya terkait
erat dengan keanggotaanya dan peran seseeorang dalam masyarakat. John Rawls memberikan
sebuah panorama pemikiran liberalisme politik dengan menekankan stabilitas yang tercipta
sebagai konsekuensi dari keadilan. Rawls menekankan bahwa kebebasan individu terikait erat
dengan terciptanya societas yang adil. Dalam kaitan dengan hidup bernegara, Rawls
mengajukan sebuah pemikiran tentang konsesus sebagai upaya guna mencapai stabilitas dalam
hidup politik masyarakat.
Ia menghargai otonomi perorangan tetapi membatasi penggunaannya pada dunia politis. Susunan
kebaikan-kebaikan yang utama juga berasal dari dalam konsepsi politik keadilan. Warga negara
menata urusan bersama mereka menurut akal budi publik. Karena sebagai warga negara, mereka
terikat untuk menilai tindakan-tindakan dan usulan satu sama lain, mereka hanya tertarik pada citacita dan prinsip-prinsip yang dimasukkan dalam konsepsi politik keadilan atau kepada nilai-nilai
public (Bhiku P, Rethinking Multiculturalism, 118).
Pada kenyataannya, liberalisme berusaha mengangkat kebebasan individual sebagai
cita-cita yang patut untuk dipertahankan. Liberalisme menekankan subjek sebagai pribadi yang
individualistis. Dalam kesadaran akan societas, liberalisme tunduk pada realitas sifat
kebebasan yang terkait erat dengan konsep kesetaraan dan keadilan dalam hubungannya
dengan individu-individu lainnya. Dapat dikatakan bahwa dalam kebebasan terdapat
kewajiban dan tanggungjawab individu dalam konteks hidup bersama. Jika kebebasan adalah
sebuah keniscayaan, maka keadilan adalah sebuah pilihan yang harus diambil atas dasar
keniscayaan itu. Pandangan liberalisme menjadi semakin jelas apabila dilihat dalam konteks
pertentangan dengan kelompok komunitarianisme. Sudut pandang yang digunakan oleh
kelompok komunitarianisme adalah gambaran tentang "kita" yang didasarkan pada
pemahaman bahwa dalam sebuah kelompok subjek-subjek dalam menemukan identitas
dirinya. Sementara, liberalisme menekankan kebebasan individual sebagai landasan
pembangunan masyarakat.
3. Minoritas dalam Pluralisme Masyarakat
Globalisasi memicu perubahan yang begitu besar di berbagai segi kehidupan manusia.
Perkembangan teknologi semakin memudahkan manusia untuk mengembangkan dirinya.
Mobilitas manusia dewasa ini yang sangat tinggi memicu pertemuan budaya-budaya yang
sebelumnya seakan sulit terjadi karena alasan akses teritorial. Kesadaran baru akan
keberagaman budaya yang begitu kaya menjadi bertumbuh sebagai kesadaran bersama.
Pluralitas menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan di tengah-tengah dunia dewasa ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, realitas pluralisme berkembang menjadi persoalan
sekaligus tantangan yang harus diselesaikan oleh banyak pihak.
Heterogenitas budaya sebagai kenyataan dari pluralisme mendapat tanggapan yang
beragam dari berbagai pihak. Sejak Perang Dunia II pecah, kesadaran akan pentingnya
homogenitas budaya begitu bergeliat dan hampir mengalahkan kesadaran akan heterogenitas
budaya. Konsekuensi dari itu semua adalah terbentuknya sekat-sekat yang seakan-akan
membagi masyarakat menjadi dua kutub besar, yakni mayoritas dan minoritas. Fakta sejarah
memperlihatkan dengan begitu jelas bagaimana dalam perjalanan waktu kaum minoritas selalu
diminta untuk "mengalah" dari kaum mayoritas. Pandangan yang berkembang bahkan hingga
saat ini adalah pentingnya homogenitas budaya yang terwujud dalam suatu budaya komunal
yang lahir dari konsesus bersama. Ada tendensi untuk mengorbankan budaya kaum minoritas
yang sebenarnya tetap harus dihargai. Minoritas seakan diminta untuk "mengalah" dari
mayoritas. Diskriminasi terhadap budaya-budaya memicu tumbuhnnya ketidakadilan yang
menjadi bentuknya nyata dari kesewenang-wenangan dan bentuk pelecehan dari prinsip
kesetaraan.
Pembatasan hak-hak minoritas ini dilakukan, bukan untuk kepentingan keadilan, tetapi oleh orangorang yang dalam kerangka acuannya kepentingan negara nasional digolongkan sebagai nilai yang
tertinggi. Mayoritas kebangsaan memiliki kepentingan dalam membuat stabilitas negara dan
institusi-institusinya stabil, bahakn dengan mengorbankan budaya-budaya minoritas dan
memaksakan homogenitas yang dipaksakan kepada penduduk.4
Ketidakadilan yang dialami kelompok minoritas menjadi bukti nyata dari ketimpangan
penyangkalan hak-hak nasional mereka yang telah dipromulgasikan dalam hukum negara.5
Sebagai bagian dari negara, kelompok minoritas sudah semestinya mendapatkan kesempatan
yang sama dengan kelompok lainnya. Ketegangan yang terjadi antara prinsip hak kebebasan
individual dan prinsip sosial kemasyarakatan memang kerapkali menjadi alasan di balik
terjadinya diskriminasi ini. Pada tempat pertama, negara-negara berusaha untuk mencapai
konsesus bersama guna memprosomikan eksistensi dari identitas nasional. Namun,
kenyataannya identitas nasional seringkali dipertanyakan, karena tumbuhnya pemahaman
seakan-akan identitas nasional malah mengunggulkan kelompok yang satu dan merugikan
kelompok yang lainnya. Maka, timbullah kesadaran dari kelompok minoritas untuk meminta
pengakuan akan keberadaan mereka. Kelompok minoritas yang bahkan merupakan kelompok
dengan subkultur baru meminta pengakuan dari negara termasuk dalam hal-hal sederhana,
seperti izin untuk menggunakan bahasa ibu, pemberian libur atas hari raya dalam budaya
mereka, dan sebagainya. Mereka tidak hanya ingin supaya identitasnya ada, tetapi supaya
identitas tersebut berkembang secara dinamis dengan identitas-identitas lainnya di dalam
masyarakat.
4. Wacana Multikulturalisme dalam Liberalisme
Pada dasarnya, wacana multikulturalisme dapat dikatakan sangat dekat dengan
semangat liberalisme. Wacana multikulturalisme mengedepankan perjuangan kaum-kaum
minoritas dalam mengusahakan kesetaraan dan pengakuan. Wacana tersebut ingin
membongkar kenyataan pahit yang dialami oleh kaum minoritas yang dipandang sebelah mata
oleh negara atau pemerintah. Liberalisme sendiri mempunyai dua klaim yang digunakan untuk
membela hak-hak minoritas bahwa kebebasan individu terikat dalam kepentingan keanggotaan
seseorang dalam kelompok nasional, dan bahwa hak kelompok secara spesifik dapat
mempromosikan kesetaraan antara mayoritas dan minoritas.7 Liberalisme kontemporer
berusaha melihat konteks permasalahan mengenai multikulturalisme dengan dalil dasar bahwa
kebebasan individu tidak dapat dimutlakkan.
Beberapa kaum liberal mempunyai pendapat lain terhadap tuntutan hak-hak kaum
minoritas dalam wacana multikulturalisme. Mill, misalnya, menekankan bahwa lebih baik bagi
kelompok-kelompok kecil untuk dapat bergabung dan berasimilasi dengan kelompok besar
guna membangun sebuah kelompok besar yang disebut negara. Pendapat Mill tersebut lebih
cenderung menekankan pentingnya kesatuan budaya yang kemudian dapat dijadikan sebagai
identitas nasional. Kebebasan individu harus diarahkan kepada kehendak untuk bersatu dengan
kelompok yang lebih besar. Bagi Mill, bangsa besar dinilai sebagai masyarakat yang beradab
yang mampu mengembangkan situasi sosial-budaya, sedangakn kelompok kecil dinilai
sebaliknya. Pandangan Mill ini dapat memberikan ruang bagi munculnya paham etnosentrime.
Sebagai contoh, kaum liberalisme Amerika Serikat mendukung pengabaian hak-hak minoritas
nasional yang justru kemudian menimbulkan konflik dalam tubuh masyarakat mereka sendiri.
Maka, dengan sendirinya, Mill mendukung terwujudnya identitas nasional sebagai elemen dari
stabilitas pemerintahan maupun negara.
Pandangan berbeda dikemukakan oleh Will Kymlicka. Identitfikasi terhadap prinsip
liberalisme bahwa manusia selalu menuju kepada yang baik membuatnya meletakkan
komitmen pada otonomi sebagai dasar politik liberal. Dalam pandangannya, Kymlicka
menekankan bahwa setiap individu mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan
akses kepada informasi, data, kesehatan, layanan public, dan sebagainya. Individu adalah agenagen moral dan pembawa hak dan kewajiban yang harus dihormati dan dipandang setara.
Masyarakat 'tidak memiliki status moral mereka sendiri' dan akan dinilai menurut sumbangan
mereka pada hidup yang baik dari anggota-anggota mereka (Bhiku P, Rethinking Multiculturalism, 140).
Kymlicka melihat bahwa kebebasan individual dapat dipergunakan guna mencapai sebuah konsesus menuju kebaikan dalam kenyataan hidup bermasyarakat. Ada berbagai macam pandangan dari para liberalis mengenai hak-hak minoritas dalam konteks negara multinasional. Pemahaman yang kerapkali muncul dalam pemikiran kaum liberal kontemporer adalah cita-cita negara nasional yang seringkali dipahami sebagai  satunya jalan mencapai stabilitas negara. Inilah yang disebut oleh Taylor sebagai bagian dari politik kesetaraan.
Politik kesetaraan menekankan sisi dimana perlunya menghargai harkat dan martabat manusia dan serta kelompok dimana manusia berada. Pemikiran politik kesetaraan
bergerak di atas prinsip universal yang dianggap dapat mengatasi partikularitas. Namun,
Taylor, dalam pemikirannya lebih lanjut, berpendapat bahwa yang semestinya juga diterapkan
dalam kehidupan konkret adalah penerapan politik perbedaan. Premis yang ditawarkan Taylor
untuk mempertahankan politik perbedaan adalah, bahwa setiap kebudayaan, dengan cara
berpikirnya yang unik, selalu memiliki nilai intrinsic yang membuatnya berarti.
Keberagaman
Kberagaman tidak harus dipandang sebagai penghalang, tetapi justri dianggap sebagai sebuah kesempatan
bagi manusia untuk sungguh memperkaya dirinya. Dua jenis politik, yakni politik kesetaraan
dan perbedaan, yang dikemukakan oleh Taylor berusaha untuk memperlihatkan pandangan
liberalisme yang komprehensif mengenai realitas masyarakat dewasa ini. Perbedaan sudah
seharusnya dirawat dan diakui sambil mengusung solidaritas dalam semangat persatuan
sebagai nilai universal.
Konteks Indonesia dalam Wacana Multikulturalisme dan Liberalisme
Sudah sejak lama kesadaran akan pluralitas tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki begitu ragam rupa budaya yang menampilkan
kekhasannya masing-masing. Para founding father jelas-jelas menyadari realitas ke-bhinekaan Indonesia yang sungguh-sungguh harus dikelola dengan baik. Mereka telah mewariskan
suatu nilai penghormatan yang kuat terhadap pluralitas, yakni dengan rumusan Pancasila
sebagai ideologi negara dan bangsa. Pancasila bukan sekadar piagam yang hanya dapat
dikenang dan diabadikan dalam museum-museum. Tetapi merupakan ideologi pemersatu dari
ke-bhineka-an ini. Dasar filosofis dari Negara Indonesia adalah Pancasila.
Pancasila dan implementasinya sebagai sebuah ideologi dapat dilihat dan ditinjau lebih
lanjut dalam kerangka pemikiran liberal dan wacana multikulturalisme. Sebagai sebuah
ideologi, Pancasila memiliki peran untuk mempersatukan berbagai macam golongan, budaya,
dan kelompok yang ada dalam naungan Indonesia. Apabila dilihat dalam konsep pemikiran
liberal kontemporer, peletakan Pancasila sebagai dasar negara merupakan sebuah upaya untuk
membentuk kesadaran akan kesatuan identitas. Kesatuan identitas menjadi elemen pokok yang
penting untuk diperhatikan dalam konsep masyarakat yang pluralistic. Namun, hal itu tidak
langsung mengartikan bahwa Pancasila hanya merupakan alat penguasa untuk menundukkan
berbagai kelompok di bawah naungannya. Pancasila sebagai ideologi menampilkan makna
rasionalitas yang memiliki target dan tujuan kepentingan. (Armada Riyanto, Politik, Sejarah, Identitas, Postmodernitas, 43). Tujuan kepentingan itu tidak lain adalah terwujudnya rasa solidaritas-persaudaran dalam kesadaran akan pluralitas. Dengan demikian, Pancasila merupakan sebuah ideologi bangsa yang pada dasarnya menghormati eksistensi manusia yang bebas sebagaimana yang dihormati pula oleh paham liberalisme. Wacana multikulturalisme menjadi menarik untuk dibahas dalam kerangka pemikiran eksistensi Pancasila. Perlu diingat bahwa pada dasarnya multikulturalisme adalah sebuah wacana pengakuan yang ditimbulkan kesadaran kaum minoritas yang mau meminta hakhaknya. Secara ideal, eksistensi Pancasila mengatakan penghormatan terhadap perbedaan dan
sekaligus pengakuan atasnya. Dengan menyebut Pancasila sebagai Philosophische Grondslag,
pemikiaran Soekarno tentang Pancasila sesungguhnya jauh mengatasi persepsi politis ideologis
aliran apapun (Armada Riyanto, Politik, Sejarah, Identitas, Postmodernitas, 38).
 Pancasila memberikan wadah dan sekaligus pengakuan terhadap realias pluralisme masyarakat.
Penerapan Pancasila secara actual dan konkret memang mendapatkan tantangan dan
hambatan. Banyak fenomena yang terjadi di Indonesia justru seakan mencemoohkan semangat
dasar dari Pancasila itu. Dalam banyak surat kabar atau laman pemberitaan, dapat ditemukan
berbagai permasalahan intoleransi di dalam kehidupan bermasyarakat, anarkisme yang
merajalela, perampasan hak-hak individual atau kelompok, dan sebagainya. Baru-baru ini,
timbul wacana untuk memperkenankan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk supaya
dapat dikosongkan. Kelompok-kelompok yang tidak termasuk dalam lima agama yang diakui
di Indonesia berusaha untuk meminta pengakuan dari pemerintah. Selain itu, ketidakmerataan
pembangunan yang terjadi di Indonesia juga menuai protes dari berbagai pihak yang
menganggap adanya ketimpangan perhatian pemerintah terhadap kelompok-kelompok tertentu
saja. Inilah realitas yang terjadi di Indonesia. Wacana multikulturalisme menjadi penting untuk
diperhatikan bersama. Indonesia harus mulai melihat perbedaan kultur sebagai potensi yang
bisa digali sebagai bentuk penegasan identitas bangsa.12
Penutup
Wacana multikulturalisme, pada dasarnya, mempunyai ruang tersendiri dalam
pembahasan liberalisme kontemporer. Multikulturalisme bukan sekadar wacana dangkal atas
permintaan kaum minoritas untuk dapat diakui keberadaannya. Justru di balik
multikulturalisme, terungkap nilai-nilai esensial dari liberalisme itu sendiri. Apabila dilihat
lebih jauh, pergerakan kelompok-kelompok yang menyerukan multikulturalisme didasarkan
pada kenyataan bahwa pada dasarnya manusia itu mempunyai kebebasan. Ada seruan agar
kesetaraan dan keadilan dijunjung dengan sungguh dalam konteks masyarakat pluralis.
Liberalisme ditantang untuk menyikapi pergerakan tersebut dengan pemikiran yang matang.
Memang ada begitu banyak pandangan yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh liberal
kontemporer terkait dengan multikulturalisme dan hak-hak minoritas. Ada yang lebih
menekankan pentingnya hak-hak individual di atas kepentingan komuniter dan ada pula yang
sebaliknya. Namun, pandangan Taylor mengenai multikulturalisme sudah semestinya
mendapatkan perhatian bersama. Dengan mengemukakan dua tipe politik yang dapat
dijalankan dalam konteks pluralisme, Taylor memberikan sebuah panorama baru untuk melihat
realitas multikulturalisme ini. Multikulturalisme harus dipandang dan ditanggapi secara
komprehensif. Dalam penyelenggaraan negara yang plural, ideologi persatuan menjadi sesuatu
yang substansial, karena dapat menjadi tolak ukur atau penyangga kehidupan sosial
masyarakat. Namun, di satu sisi, keunikan maupun kekhasan dari setiap kelompok yang ada di
dalam sebuah negara tetap harus diakomodasi sebagai bagian dari politik perbedaan.
Keberagaman harus dikelola dengan baik agar tidak terjadi ketimpangan.
Dalam konteks Indonesia, wacana multikulturalisme dan liberalisme perlu untuk
ditinjau dan dipertimbangkan. Sebagai sebuah negara dengan tingkat pluralitas yang tinggi,
Indonesia harus terus membuat evaluasi terhadap penyelenggaraan negara dan perpolitikan.
Pancasila sebagai identitas bangsa adalah modal yang kuat sebab di dalamnya sudah terangkum
semangat persatuan dan penghormatan terhadap hak-hak eksistensial individu. Untuk itu,
bentuk-bentuk penyelewengan yang terungkap dalam berbagai fenomena dalam masyarakat
yang melenceng dari semangat Pancasilais harus ditanggapi secara serius.