Mohon tunggu...
Ony Edyawaty
Ony Edyawaty Mohon Tunggu... Guru - pembaca apa saja

hanya seorang yang telah pergi jauh dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Merana

26 April 2021   23:06 Diperbarui: 26 April 2021   23:41 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : id. pikbest.com

Kupandangi mereka bertiga.  Sulungku adalah jelmaan hidup ibunya dari ujung rambut ke ujung kakinya.  Sementara yang tengah dan bungsu mewarisi kecengenganku dan ketangguhan ibunya. 

"Lies, haruskah aku kehilangan mereka bertiga setelah engkau? " ratapku parau dalam lirih.

     Akhirnya aku membawa kendaraan berpacu memasuki jalan bebas hambatan.  Macet, panas dan sumpek meskipun kendaraan kami sudah memasang pendingin kabin full.  Aku mengarah ke Timur, setidaknya sembilan jam perjalanan kalau lancar ke arah Kota Pemalang, tempat ibunda Lies tinggal.

     Beberapa jam berlalu dan kami sampai di kota Cirebon.  Aku sengaja mengarahkan kendaraan keluar pintu tol Kanci, sementara ketiga anakku mulai mendengking protes tidak mau lewat jalan biasa.  Aku pura-pura tidak mendengarnya.  Aku ingat dulu, Liesku sangat suka berjalan-jalan menikmati Cirebon dan kuliner kesukaannya yaitu nasi jamblang.  Saat memasuki jalan utama, kuparkir kendaraanku sejenak di kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati.  Aku membayar lima ribu rupiah di toilet musholanya untuk mandi dan mencuci muka.  Merebahkan sejenak punggungku yang rasanya mau patah menenteng sekeping hati yang sedang nekrosis, di pendopo pemakaman yang begitu adem.  Di sana aku mulai memanjatkan do'a. 

     Setelah selesai, ada sedikit kedamaian dan rasa sejuk di hatiku.  "Lies, kita makan nasi jamblang Bu Nur, yuk.  Aku lapar." Aku menggumam sendiri.  Ketiga anakku diam tanpa ekspresi seperti para ratu yang angkuh.  Ah, aku sudah tidak perduli lagi.  Kubawa kendaraanku parkir di depan rumah makan kenangan kami itu.  Aku memesan dua porsi, sementara ketiga anakku tidak mau turun. 

     "Mas, pesan dua? Teman yang satunya lagi mana?" tanya seorang pramusaji dengan ramah.


"Eh iya, nanti menyusul sebentar lagi,"jawabku sambil tersenyum.

"Wah, enak ini Lies.  Ada cumi asin dan perkedel jagung kesukaanmu."

"Mana sini, aku suapi saja ya, aku tahu kamu masih asyik memainkan Sims di gawaimu," ucapku sambil tersenyum. 

Tetiba aku merasakan hembusan nafas istriku di leher belakangku.  Aku merasakan ia memelukku dengan tangannya yang mungil namun bertenaga, dan membelai wajahku.  Tatapannya begitu nelangsa.

     Sesaat kemudian aku mendengar ketiga anakku menjerit masuk sambil menangis.  "Papah, maafkan kami ya.  Kami salah menilai Papah selama ini," ucap anakku Tania sambil tersedu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun