Senja yang muram ini tepat empat puluh hari kematian istriku, aku meratap di atas pusaranya.  Sementara ketiga putriku menatap dari kejauhan dengan bahasa tubuh yang sudah menahan jengkel.  Untunglah kacamata hitam lebarku ini menutup rapat semua ekspresiku.  Perlahan kulangkahkan kaki menjauhi pusara istriku dan memutar kunci kontak.
"Aku pergi dulu, Lies. Â Sampai nanti ya," gumamku.
 Kutatap ketiga anakku yang duduk berdempetan di bangku belakang.  "Tidak ada yang mau duduk di depan, menemani supir?," tawarku sambil menyeringai mencoba menebarkan humor.  Mereka bertiga diam tanpa ekspresi.  Aku menelan ludah sambil menangis batin.
   Semenjak ibunya meninggal, anak-anakku sering menghukumku dengan sangat keras.  Mereka kompak melakukan hal-hal yang mampu merobek-robek perasaanku.  Mulai dari mengusir setiap klien wanita, mendiamkan dan tidak mengacuhkan aku, bersikap kasar, mengunci pintu pagar rumahku kalau aku pulang malam, sampai menyuruhku melakukan berbagai pekerjaan laksana sopir dan pembantu mereka saja.  Tangisanku sebenarnya sangat perih, namun atas nama laki-laki, aku tak boleh setetespun menunjukkan itu di hadapan mereka bertiga.Â
"Andai malam itu aku tidak melepasmu pergi bersama rombongan kawan-kawanmu, Lies," rutukku.
"Aku hanya ingin kamu bahagia, menikmati sisi lain kehidupan sosialmu."
"Paah...cepat!", kudengar Anya, anak tertuaku berteriak dari lantai dasar rumah kami. Â Kulihat ketiga anakku sudah berdandan rapi dan bersiap dengan tiga buah kopor besar di sisi mereka masing-masing.
"Mau apalagi mereka?", pikirku kalut.
"Pah, hari ini kami mau kerumah nenek. Â Papah yang antar," tukas Nieke bungsuku.
"Iya papah akan antar, tapi papah mau mandi dan siap-siap dulu. Â Sarapan dan memanaskan mobil. Â Tadi malam kita kan pulang larut dari Pondok Ranggon," kataku mencoba bersabar.Â
"Tidak bisa, pah. Â Kami mau sekarang," balas ketiganya kompak dan sengit.