Mbah Karyo menggeleng perlahan.
"Dia memilih hidup sendiri. Tapi... Sekar tetap kuat. Ia menjadi guru bagi anak-anak desa ini. Ia tak pernah menyesali pilihannya."
Naila memeluk buku tua itu lebih erat. Semakin kuat keyakinannya bahwa Sekar masih punya ikatan darah dengannya. Ia bertanya lagi, suara sedikit gemetar,
"Apa ada peninggalannya? Surat atau barang yang ditinggalkan?"
Mbah Karyo menatap Naila dalam-dalam, lalu berdiri perlahan.
"Ada sesuatu yang harus kau lihat."
Mbah Karyo membawa Naila ke belakang rumah. Di sana, di antara rerumputan tinggi, berdiri pohon beringin tua. Di bawahnya, sebuah batu besar bertuliskan huruf-huruf pudar
"Untuk yang pernah berani mencinta di bawah purnama."
Mbah Karyo menunjuk tanah di dekat batu itu.
"Di situ, katanya, Sekar sering duduk sendiri. Menulis surat-surat yang tak pernah ia kirimkan."
Hening sesaat. Angin sore menggoyangkan daun-daun beringin, menciptakan desiran seperti bisikan lembut.
Naila menyentuh batu itu perlahan.
"Aku ingin membaca surat-surat itu, Mbah," ucapnya, penuh tekad.
Mbah Karyo mengangguk. "Besok pagi, kau ikut aku ke gudang tua desa. Mungkin, surat-surat itu masih bisa kau temukan di sana."
Naila mengangguk penuh semangat. Dalam hatinya, ia tahu ini lebih dari sekadar perjalanan menemukan masa lalu. Ini tentang menemukan bagian dirinya sendiri yang belum pernah ia kenal.
Sore itu, saat matahari tenggelam perlahan di balik bukit, Naila berdiri di bawah pohon beringin tua, mengangkat wajahnya ke langit. Bulan belum muncul, tapi ia tahu --- saat malam tiba, purnama akan bersinar, menemani langkahnya menuju kebenaran.