Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Jeruk Kecut

26 Mei 2020   23:53 Diperbarui: 27 Mei 2020   15:16 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (sumber: freepik.com)

"Aduh, rasanya mau menjerit sekeras-kerasnya" gumamku merasakan musim pandemi yang tak berujung ini. Kata teman-temanku semua hancur berantakan. Untunglah bosku mampu menasehati, layaknya seorang ibu yang menyadarkan anak-anaknya yang bengal. 

"Hancur masih bisa dirangkai, jangan kau injak semua yang hancur menjadi serpihan hingga debu, selain sulit dirangkai juga keburu dibawa angin." Demikian yang selalu didengungkan sang bos saat pertemuan virtual melalui aplikasi.

Mungkin bosku layak menyandang predikat pemimpin paling sabar, meski sebenarnya perusahaan sudah genting. Untuk THR saja aku dan pegawai lain dipotong separuh. 

Sekali lagi sang bos mengatakan "Bersyukur masih menerima separuh THR, daripada tidak sama sekali." Kami jadi luluh juga. 

Mulanya kami berencana menuntut perusahaan untuk membayar penuh THR, bahkan berancang-ancang menembus Dinas Ketenagakerjaan setempat. Tapi, karena kesabaran sang bos, dan beliau juga mengalami hal yang serupa, maka kami urungkan niat. 

Selain itu, dituntut bagaimanapun juga toh kembalinya akan ke masing-masing pegawai. Contohnya aku saja. Sebagai konsultan pemasaran, tak banyak target yang berhasil kubukukan untuk perusahaan. Klien banyak yang kosong, "Sementara jangan dulu mas, nanti saja usai pandemi." 

Baiklah, sepertinya memang harus balik ke kantor dan menumpuk berkasku yang kucel. "Ah, mungkin tidak hanya aku saja yang bernasib demikian", hiburku sambil menikmati segelas air putih, sebab kopi dan teh sudah ditiadakan. Apalagi gula. Galon di atas dispenser pun hanya berisi udara. Jika demikian apa salahnya perusahaan untuk berhemat?

Dalam perjalanan pulang naik bus kota, pikiranku dipenuhi kata-kata, "Kota yang kau idamkan, ternyata membuat nasibmu penuh lebam. Kini kusadari, aku terlampau dibohongi oleh Kota." Nasib sudah terlanjur, nasi sudah seperti bubur. Siapa pula yang menyesali jika bukan aku sendiri? Apalagi jika teringat pesan almarhum Ayah, "Jeruk ini memang tak membuatmu kaya, tapi bisa menghidupi sebagai jerih payahmu sendiri."

Kini, kuingat-ingat lagi, terakhir kali kebun jeruk itu kutinggalkan memang ditumbuhi ilalang. Kakakku memilih menjadi TNI yang ditugaskan di perbatasan.

Jangan tanya kapan pulangnya. Sementara adikku ikut suaminya, karena kodrat wanita memang "rela" berpisah dengan orang tua untuk suami sekaligus "imamnya."

Berarti tinggal aku yang menggerutu. Menelantarkan kebun jeruk dengan segala kenangan rintisan dari Ayah. Mau mengandalkan Ibu yang sudah renta bersama Bibi Ijah? rasanya tak mungkin.

Apakah begini menjadi seorang anak? setelah lahir dan dibesarkan lalu pergi meninggalkan orang tua. Sedangkan dengan mudahnya kita memikirkan orang tua hanya mengandalkan uang belanja yang ditransfer bulanan dari anak-anaknya? "Ah, anak macam apa aku ini?" gerutuku semakin liar.

Pasti ibuku sedih tak berkesudahan, tak ada satupun anaknya yang mendampingi di rumah pusaka. Rumah dimana Ayah membesarkan aku dari berkebun jeruk hingga akhir hayatnya.

"Mas turun mana?, ini terminal Bungurasih!" seru kenek seraya menepuk pundakku. "Ups, apes nih, harusnya aku turun Medaeng untuk melanjutkan perjalanan ke Krian" gerutuku semakin menggila. 

Ya sudahlah, aku harus naik angkot untuk kembali ke arah Medaeng yang terlewatkan gara-gara melamun. Kau tahu kan rasanya kembali ke tempat tujuan dengan mengulangi naik dengan kendaraan lain? Ya, ini kerja dua kali dan sungguh menyebalkan.

"Berapa mas?" tanyaku pada sopir angkot seraya merogoh saku baju. "Lima ribu mas" balas sopir angkot. Mendadak keringatku keluar deras. Uang yang kutaruh di saku baju tidak ada. Terpaksa aku sodorkan uang dari dompet, sepuluh ribuan.

"Nggak apa-apa yang penting bayar, nah, uangku yang tadi kemana?" Sambil menendang botol plastik yang terbuang di pinggir jalan, aku mendamprat nasibku hari ini.

"Jelas, uang di saku ini pasti dicopet pengamen cilik tadi. Pantas saja ia menekan tangannya ke dadaku dengan kuat." Haduh, haduh, sakuku bau kecut, kucium sendiri bau telapak tanganku sekembalinya merogoh saku baju.  

BEBERAPA MENIT KEMUDIAN

Sembari menunggu bus kecil ke arah Krian, mataku tertuju pada sebuah warung kecil di pinggir jalan. Lumayan jalanan tak seramai biasanya. Mungkin ini efek dari Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB. 

Biasanya kalau jalanan ramai lumayan agak berdebu. Sebab itulah aku enggan mampir ke warung untuk sekedar menyeruput kopi atau menghisap kretek.

Tapi untuk sore ini aku bergumam tipis, "Kali ini di Medaeng istirahat dulu baru lanjut ke Krian".

Itu kebiasaanku untuk memenuhi urusan makan. Tak punya istri, tak mampu masak sendiri, maka warung nasi yang menjadi andalan.

"Mak nasi rames pakai telur dibungkus satu aja" pintaku pada Emak warung. Duduklah pantatku pada bangku panjang yang bisa memuat tiga orang, tapi sore itu hanya aku sendiri yang menguasai bangku. 

Nampak jajaran teh hangat dan susu kental masih utuh di hadapanku. Begitu pula minuman serbuk dalam sachet juga masih menjuntai nganggur di gantungan. Kubuka sebuah tudung, nampak beberapa gorengan masih utuh memenuhi piring. 

"Sepi ya Mak?" tanyaku.

"Iya mas, sudahlah semoga covid segera pergi, Emak hanya bisa jualan seperti ini." Aku tertunduk, mengamini harapan Emak warung dalam hati.

"Diamini Mas, jangan diam saja, bantu do'a saya" seru Emak warung buru-buru menyudahi keheningan.

"Iya Mak, ini tadi juga sudah amin dalam hati" balasku sewod.

"Loh mas, kok beli nasi bungkusan di sini?" tanya seorang pria perlente mendadak masuk warung. Pria perlente itu klienku tadi siang. Suara mesin mobilnya masih menderu di depan warung. 

Mungkin ia buru-buru mau beli sesuatu. Tadi siang kami sepakat bertemu di cafe mentereng pada sebuah mall yang hari ini mulai dibuka. Tadi siang rencananya klien ini akan closing, memenuhi targetku yang bolong selama beberapa bulan. Tapi, entah mengapa, ia ada disini dan menjumpaiku lagi beli nasi bungkus.

"Oh ini untuk Pak Darto mas, penjaga di perumahan saya" jurus tipu-tipuku keluar begitu saja. 

"Oh kirain masnya, ini saya mau beli rokok, Pak Darto rokoknya apa mas, sekalian saya yang bayar" timpal pria perlente itu. Kau mau tahu basa-basiku? Ya, aku jelas gengsilah, masak tadi siang ketemuan di cafe mentereng untuk beli rokok saja nggak mampu. 

Padahal untuk urusan menemui klien semua atas biaya kantor. Namun, pekerjaanku menuntut keahlian meyakinkan orang. Utamakan gaya dulu, demikian saran beberapa teman-teman. 

"Nggak usah mas, Pak Darto tidak merokok" pungkasku sembari menyingkirkan basa basi lain agar pria itu segera pergi. Nafasku terasa lega setelah mobil pria perlente itu berlalu meninggalkan warung. Aduh, gobyos, keringat benar-benar kecut.

Dan benar, ini pertanda buruk seperti instingku. Sesampai di kontrakan, sebuah pesan masuk ke handphone, "Mas besok pagi saya ada janji keluar kota, mungkin untuk konsultasi dtunda dulu ya, nanti saya kabari lagi." Biasanya, pesan seperti ini mengisyaratkan pembatalan alias tidak closing. Itu artinya aku tidak bisa memenuhi target, dan ini membuatku semakin ingin pulang ke desa.

Sampai kapan aku harus berpura-pura? aku benar-benar ingin merawat kebun jeruk warisan Ayah. Aku tak ingin lagi pakai dasi menemui klien. Aku tak ingin pakai parfum massal yang disediakan kantor, lalu naik mobil kantor menemui klien. 

Mirip orang kaya, tapi tinggal di rumah kontrakan. Aduh kecut sekali. Belum lagi yang satu ini, "Kau tahu siapa Pak Darto sebenarnya?" ya, dialah pemilik kontrakan yang sudah dua bulan ini menagih tunggakanku.

Terkadang orang baik tiba-tiba bisa kita benci dan dijadikan kambing hitam dalam urusan menutupi aib. Bukankah kata orang untuk menutupi kebohongan harus menggunakan kebohongan lainnya. Hemmm, bahkan aku sendiri tak mengurusi berapa neraca dosa atas segala kebohongan yang kuucapkan.

Kadang begitulah di kota. Menipu, mencopet, mencuri dan menunggak menjadi nasi yang dibungkus rapat, kalau tidak hati-hati bisa basi atau terbuka dan tumpah di jalan. Kalau sudah begini hanya ingin taubat.

Cukup sudah rasanya. Aku benar-benar mau pulang ke desa. Stop! Mau pulang ke desa? Kata Bibi Ijah, ini masih masa pandemi, pintu gerbang desa ditutup rapat dengan bambu, dijaga empat orang hansip. Warga lain tak boleh masuk. Olala, padahal KTP-ku masih tercatat sebagai warga desa. Aduh nasib, kecutnya melebihi jeruk.

SINGOSARI, 26 Mei 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun