Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Kota-kota Jadi Debu

5 April 2020   10:34 Diperbarui: 5 April 2020   10:40 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://cdn2.tstatic.net

Kota-kota jadi debu, ribuan orang bermantel dipersenjatai air bah menumpas orang-orang lapar. Mereka hanya pemecah batu yang berharap pundi-pundi ada didalamnya. Bahkan perempuan ikut mengerat susu, agar berubah menjadi secarik kain untuk anaknya yang kedinginan diguyur tangis.

"Sudah lama aku menjemput angin, dijalanan lengang dilempari gerutu" unggah pengantar tujuan.
"Sudah lama pabrik mengolah lusuh, buruh-buruh dipaksa layuh" pekik pekerja rapuh.
"Sudah lama aku kenyang dengan daganganku sendiri, jika kumuntahkan siapa mau membersihkan?" keriap pedagang gorengan.
"Ayo kalian siapa yang belum menjerit?" tanya koran berkibar-kibar di tumpukan loak.

Perempuan melepas anaknya ke dunia baru, menjeritlah ia. Nampak lelaki lugu membawa menantu menjauhi ibu, katanya ini lebih surgawi.

Mereka terus bekerja mengaduk kemapanan yang ditanak di kepala. Sampai suatu pagi, saat orang-orang mengantar jasad "Bukankah itu anakku? kemana nafasnya?" Matahari terus mengeringkan isak, seklumit cemas telah menghirup roh, membakarnya menjadi debu. 

Kota-kota jadi debu. Ribuan orang melepas mantel menyapu sisa-sisa kemapanan.


SINGOSARI, 5 April 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun