Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Zaman Sedang Susah, Eh Para Guru Kasih Tugas Berbiaya Pula!

10 Juni 2021   10:19 Diperbarui: 10 Juni 2021   10:29 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source image https://www.process.st/

Saya sih masih jomlo ya. Boro-boro punya anak, calon istri saja masih belom tampak "hilal"-nya. Walau begitu, hidup saya masih sering bersinggungan dengan tugas-tugas sekolah. Baik itu tugas yang diterima oleh keponakan saya sendiri atau juga yang diterima oleh anak-anaknya sepupu saya.

Jam 11 malam ditelepon sepupu karena anaknya ada PR Bahasa Inggris? Oh sering. Dibangunin subuh-subuh karena PR Matematika? Ini lebih sering lagi. Dalam situasi normal, saya tidak mau mengerjakan soal-soal itu dengan mudah. Maksudnya, saya kerjakan dan mereka terima beres. Enak aja, yang punya PR siapa, kok yang repotnya saya hehehe.

Eh maksud saya baik, biar yang ketiban PR next time lebih disiplin soal tugas. Jangan dengan mudah dilupain gitu dong. Herannya, emak-emak zaman sekarang masih aja rela bersusah payah bikinin anak PR ya. Padahal, kalau si anak sesekali kena hukum karena gak kerjain PR toh bukan masalah besar? Iya, kan? ini proses mendidik loh bu-ibu.

Nah si anak sudah terbiasa disiplin soal PR, dan ngeh butuh bimbingan, kalau waktunya cukup, saya dengan senang hati akan mengajarkan. Walaupun anak-anaknya sepupu saya ini berada di seberang pulau. Teknologi harus dimanfaatkan dong ya, bisa diajarin via video call. Intinya, banyak jalan menuju Cibinong. Bisa naik Damri atau naik taksi. Oke sip.

TUGAS PRAKARYA BIKIN TAMBAH SUSAH

Oke, sesuai judulnya, saya mau spesifik bahas tugas bikin prakarya yang diberikan oleh para guru. Saya nggak tahu ya apakah di kota lain guru-gurunya sama kayak di sini yang demen banget ngasih tugas berbiaya. Mudah-mudahan saja tidak. Besar harapan saya, jika tulisan ini sampai ke para guru, maka bapak-ibu guru dapat mempertimbangkan dengan baik sebelum memberikan tugas kepada murid. Terlebih di zaman susah kayak sekarang.

Satu ketika, sepupu datang ke saya dan mina tolong dicarikan gambar Pakaian Adat Se-Indonesia di internet. Bayangin aja, semua pakaian adat seluruh Indonesia itu jumlahnya puluhan. Trus, harus dicari pula nama pakaiannya apa, sejarahnya bagaimana. Dan setelah ketemu, harus dicetak berwarna dan dijilid rapi.

"Ini tugas perorangan?"

"Iya," jawab sepupu saya. "Yang lain disuruh cari tema berbeda. Misalnya alat musik tradisional, rumah adat atau makanan," ujarnya jagi.

Kebetulan saya masih simpan filenya. Ini tugas anak SD loh. (Dokpri)
Kebetulan saya masih simpan filenya. Ini tugas anak SD loh. (Dokpri)
Yang tidak saya gali, yakni apakah tugas ini diberikan ke semua siswa? Atau tugas khusus karena melanggar kedisiplinan, dsb. Saya tidak mengulik sedetail itu. Yang jelas, biaya untuk mencetak dan menjilid ini nggak main-main. Belum lagi kalau nggak ada akses komputer dan internet di rumah. Ngupah kang Warnet tuh bianya terpisah. Setara 3 sd 5 bungkus nasi Padang. Beruntung sepupu saya ini orangnya lumayan berduit. Bagi dia, uang segitu mungkin tidak terlalu jadi masalah. Lalu, bagaimana dengan siswa lain yang penghasilan orang tuanya pas-pasan? Apalagi itu sekolah biasa di perkampungan pinggiran kota yang bahkan muridnya tidak membayar SPP karena digratiskan pemerintah.

Di lain waktu, sepupu yang lain juga datang menemui dan minta bantu dibuatkan mencari resensi buku.

"Loh bukannya harus baca dulu bukunya?"

"Gak perlu. Cari aja di internet. Yang penting harus diketik dan dicetak rapi."

Lha, tujuannya jadi melenceng, yekan? Apakah guru nggak tahu kalau resensi itu modal googling? Pasti tahu. Tapi apakah peduli? Belum tentu. Menurut saya, mending si murid disuruh baca apa saja. Misalnya cerpen anak satu-dua halaman, lalu dibuat resensi sederhananya dengan ditulis tangan. Lebih berfaedah dan jelas nggak akan keluar biaya.

Ini juga, tugas PKN suruh foto kegiatan sehari-hari berbiaya setara 1 kg beras. (Dokpri)
Ini juga, tugas PKN suruh foto kegiatan sehari-hari berbiaya setara 1 kg beras. (Dokpri)
Di kesempatan lain, ada lagi tugas PKN di mana siswa harus mengirimkan foto saat berkegiatan di rumah dan masyarakat. Misalnya di rumah, biasa bantu ibu cuci piring, menyapu dan mengepel atau mengurus tanaman. Di sekolah, piket kelas, membersihkan selokan. Bahkan anak SD pun sudah ada tugas "gaul" di masyarakat kayak kerja bakti, membantu panitia qurban dsb.

Semua harus difoto, dicetak berwarna perlembar. Satu siswa saja bisa 10 lembar. Dikalikan seribu, sudah 10 ribu. Ini setara 1 kg beras kualitas sedang wahai bapak-ibu guru.

Kenapa saya akhirnya bisa bercerita seperti ini? Karena ini semacam akumulasi dari rasa gemas. Di komputer, saya mengumpulkan satu folder khusus tugas-tugas semacam ini. Sebagian hasil pencarian di internet. Harus dicetak pula. Wah, ini saya belum ngebahas dan menyinggung isu lingkungan ya. Kertas terbuang untuk tugas semacam ini udah berapa banyak coba?

BINGKAI FOTO DAN BERKACA PADA MASA LALU

Saya jadi mengingat-ingat, apakah dulu guru saya juga membebankan tugas semacam ini ya? Waktu TK, ada satu momen saat saya dikasih tugas membuat topi tapi dari daun. Mungkin ini maksudnya untuk bonding hubungan anak dan orang tua ya. Dulu sih yang saya ingat, pagi-pagi orang tua udah ke halaman rumah, memetik banyak daun pohon nangka dan dirajut jadi satu pakai stepler hehe. Saya? Ngeliatin doang. Tapi ya, hal ini cukup berkesan.

Saat SMP, beberapa kali guru juga kasih prakarya yang membuat kami harus membayar peralatannya. Misalnya, membeli stik es krim untuk dibuat vas bunga, atau piring kayu yang lucu. Atau juga, membeli peralatan rajut dan balok-balok kayu tipis untuk dibuat bingkai foto.

Tugas prakarya zaman saya dulu sekolah. Ini aja walau murah tetap saja ada siswa yang gak berkemampuan loh. Itulah perlunya saling tolong menolong. Source merdeka.com
Tugas prakarya zaman saya dulu sekolah. Ini aja walau murah tetap saja ada siswa yang gak berkemampuan loh. Itulah perlunya saling tolong menolong. Source merdeka.com
Saat SMA, saya pernah sibuk mencari tripleks bekas, mengumpulkan aneka biji-bijian untuk kemudian saya rangkai jadi sebuah lukisan (well, ini sih inisiatif saya sendiri ya, temen lain ada yang Cuma modal krayon dan kertas selembar, tadaaa jadilah karya yang apik).

Oke, berarti dari dulu sampai sekarang sama saja. TAPI... inget, itu kata "tapi"-nya saya capslock. Tugas itu ya memang sudah sepantasnya diberikan karena mata pelajarannya Kesenian dan Keterampilan. Dan, rasanya, modal untuk membeli stik es krim, lem kayu, atau kertas karton, masih dalam kategori wajar.

Permintaan tolong via WA untuk dicari gambar semacam itu untuk dicetak dan dibingkai. (Dokpri)
Permintaan tolong via WA untuk dicari gambar semacam itu untuk dicetak dan dibingkai. (Dokpri)
Ini saya kasih contoh satu yang nggak wajar (baca: kelewatan). Baru terjadi kemarin (ya ya ya, makanya saja gatel mau nulis tulisan ini haha). Saat, salah satu kerabat minta saya mencarikan gambar Wali Songo, dicetak berwarna untu kemudian.... dibingkai pakai bingkai kaca!

Berhubung kejadiannya baru, jadi saya enak mau tabayunnya yekan. Saya tanyalah ke siswanya, "ini tugas pribadi atau kelompok?"

Dan dijawabnya tugas pribadi.

Mata pelajarannya: Pendidikan Agama Islam pula.

Di situ saya ingin beristighfar panjang. Susah bagi saya untuk adil-sejak-dalam-pikiran. Tugas semacam ini jelas saja menyusahkan. Anak SD yang pakai komputer saja masih kagok. Trus harus minta bantuan orang (katakanlah operator warnet, jelas berbayar belum lagi gambarnya harus diedit dsb) untuk cari gambar. Cetak, lalu harus nyari penjual bingkai foto (yang saya cek di marketplace termurah saja harganya 13 ribuan, itupun harga grosir).

Lantas, seberapa perlu tugas ini?

Apakah memang sejak awal ditujukan untuk dipajang di dinding-dinding kelas di sekolah? Jika iya, kenapa harus dibebankan ke siswa dan tentu saja orang tua murid? Di zaman susah kayak gini loh bapak-ibu. Gak semua orang (walau terlihat dari luar dia survive)  tapi dari dalam yakin para orang tua ini nggak babak belur?

TOLONG LEBIH BIJAK DAN KREATIFLAH

Sekali lagi, besar harapan saya untuk para guru mempertimbangkan lagi jika ingin memberikan tugas kepada siswa. Pikirkan, "apakah tugas ini perlu?" jika iya. "Apakah manfaat dari pemberian tugas ini akan efektif?" lanjut lagi. "Apakah tugas ini akan membebankan siswa dan orang tua terlalu banyak?"

Tugas proyek IPA. Cari anggota keluarga yang sakit dan cari info soal penyakitnya (Dokpri)
Tugas proyek IPA. Cari anggota keluarga yang sakit dan cari info soal penyakitnya (Dokpri)
Saya kira, masih banyak jenis tugas lain yang dapat diberikan kepada siswa. Saya paham, di masa pandemi gini, beban guru juga bukannya ringan, tapi semakin berat. Salam hormat saya kepada semua guruyang terus berjuang mencerdaskan generasi bangsa. Namun, saya juga berharap, bapak-ibu guru lebih bijak dan kreatif memberikan tugas yang tentu saja tujuannya baik untuk mengukur kemampuan siswa. Namun, sekali lagi, sebelum itu, sebagai (mayoritas) orang tua juga di rumah, silakan dipertimbangkan kembali apakah tugas yang akan diberikan itu tepat atau tidak.

Penulis bagian dari Kompal
Penulis bagian dari Kompal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun