Saya sih masih jomlo ya. Boro-boro punya anak, calon istri saja masih belom tampak "hilal"-nya. Walau begitu, hidup saya masih sering bersinggungan dengan tugas-tugas sekolah. Baik itu tugas yang diterima oleh keponakan saya sendiri atau juga yang diterima oleh anak-anaknya sepupu saya.
Jam 11 malam ditelepon sepupu karena anaknya ada PR Bahasa Inggris? Oh sering. Dibangunin subuh-subuh karena PR Matematika? Ini lebih sering lagi. Dalam situasi normal, saya tidak mau mengerjakan soal-soal itu dengan mudah. Maksudnya, saya kerjakan dan mereka terima beres. Enak aja, yang punya PR siapa, kok yang repotnya saya hehehe.
Eh maksud saya baik, biar yang ketiban PR next time lebih disiplin soal tugas. Jangan dengan mudah dilupain gitu dong. Herannya, emak-emak zaman sekarang masih aja rela bersusah payah bikinin anak PR ya. Padahal, kalau si anak sesekali kena hukum karena gak kerjain PR toh bukan masalah besar? Iya, kan? ini proses mendidik loh bu-ibu.
Nah si anak sudah terbiasa disiplin soal PR, dan ngeh butuh bimbingan, kalau waktunya cukup, saya dengan senang hati akan mengajarkan. Walaupun anak-anaknya sepupu saya ini berada di seberang pulau. Teknologi harus dimanfaatkan dong ya, bisa diajarin via video call. Intinya, banyak jalan menuju Cibinong. Bisa naik Damri atau naik taksi. Oke sip.
TUGAS PRAKARYA BIKIN TAMBAH SUSAH
Oke, sesuai judulnya, saya mau spesifik bahas tugas bikin prakarya yang diberikan oleh para guru. Saya nggak tahu ya apakah di kota lain guru-gurunya sama kayak di sini yang demen banget ngasih tugas berbiaya. Mudah-mudahan saja tidak. Besar harapan saya, jika tulisan ini sampai ke para guru, maka bapak-ibu guru dapat mempertimbangkan dengan baik sebelum memberikan tugas kepada murid. Terlebih di zaman susah kayak sekarang.
Satu ketika, sepupu datang ke saya dan mina tolong dicarikan gambar Pakaian Adat Se-Indonesia di internet. Bayangin aja, semua pakaian adat seluruh Indonesia itu jumlahnya puluhan. Trus, harus dicari pula nama pakaiannya apa, sejarahnya bagaimana. Dan setelah ketemu, harus dicetak berwarna dan dijilid rapi.
"Ini tugas perorangan?"
"Iya," jawab sepupu saya. "Yang lain disuruh cari tema berbeda. Misalnya alat musik tradisional, rumah adat atau makanan," ujarnya jagi.
Di lain waktu, sepupu yang lain juga datang menemui dan minta bantu dibuatkan mencari resensi buku.
"Loh bukannya harus baca dulu bukunya?"
"Gak perlu. Cari aja di internet. Yang penting harus diketik dan dicetak rapi."
Lha, tujuannya jadi melenceng, yekan? Apakah guru nggak tahu kalau resensi itu modal googling? Pasti tahu. Tapi apakah peduli? Belum tentu. Menurut saya, mending si murid disuruh baca apa saja. Misalnya cerpen anak satu-dua halaman, lalu dibuat resensi sederhananya dengan ditulis tangan. Lebih berfaedah dan jelas nggak akan keluar biaya.
Semua harus difoto, dicetak berwarna perlembar. Satu siswa saja bisa 10 lembar. Dikalikan seribu, sudah 10 ribu. Ini setara 1 kg beras kualitas sedang wahai bapak-ibu guru.
Kenapa saya akhirnya bisa bercerita seperti ini? Karena ini semacam akumulasi dari rasa gemas. Di komputer, saya mengumpulkan satu folder khusus tugas-tugas semacam ini. Sebagian hasil pencarian di internet. Harus dicetak pula. Wah, ini saya belum ngebahas dan menyinggung isu lingkungan ya. Kertas terbuang untuk tugas semacam ini udah berapa banyak coba?
BINGKAI FOTO DAN BERKACA PADA MASA LALU
Saya jadi mengingat-ingat, apakah dulu guru saya juga membebankan tugas semacam ini ya? Waktu TK, ada satu momen saat saya dikasih tugas membuat topi tapi dari daun. Mungkin ini maksudnya untuk bonding hubungan anak dan orang tua ya. Dulu sih yang saya ingat, pagi-pagi orang tua udah ke halaman rumah, memetik banyak daun pohon nangka dan dirajut jadi satu pakai stepler hehe. Saya? Ngeliatin doang. Tapi ya, hal ini cukup berkesan.
Saat SMP, beberapa kali guru juga kasih prakarya yang membuat kami harus membayar peralatannya. Misalnya, membeli stik es krim untuk dibuat vas bunga, atau piring kayu yang lucu. Atau juga, membeli peralatan rajut dan balok-balok kayu tipis untuk dibuat bingkai foto.
Oke, berarti dari dulu sampai sekarang sama saja. TAPI... inget, itu kata "tapi"-nya saya capslock. Tugas itu ya memang sudah sepantasnya diberikan karena mata pelajarannya Kesenian dan Keterampilan. Dan, rasanya, modal untuk membeli stik es krim, lem kayu, atau kertas karton, masih dalam kategori wajar.
Berhubung kejadiannya baru, jadi saya enak mau tabayunnya yekan. Saya tanyalah ke siswanya, "ini tugas pribadi atau kelompok?"
Dan dijawabnya tugas pribadi.
Mata pelajarannya: Pendidikan Agama Islam pula.
Di situ saya ingin beristighfar panjang. Susah bagi saya untuk adil-sejak-dalam-pikiran. Tugas semacam ini jelas saja menyusahkan. Anak SD yang pakai komputer saja masih kagok. Trus harus minta bantuan orang (katakanlah operator warnet, jelas berbayar belum lagi gambarnya harus diedit dsb) untuk cari gambar. Cetak, lalu harus nyari penjual bingkai foto (yang saya cek di marketplace termurah saja harganya 13 ribuan, itupun harga grosir).
Lantas, seberapa perlu tugas ini?
Apakah memang sejak awal ditujukan untuk dipajang di dinding-dinding kelas di sekolah? Jika iya, kenapa harus dibebankan ke siswa dan tentu saja orang tua murid? Di zaman susah kayak gini loh bapak-ibu. Gak semua orang (walau terlihat dari luar dia survive) Â tapi dari dalam yakin para orang tua ini nggak babak belur?
TOLONG LEBIH BIJAK DAN KREATIFLAH
Sekali lagi, besar harapan saya untuk para guru mempertimbangkan lagi jika ingin memberikan tugas kepada siswa. Pikirkan, "apakah tugas ini perlu?" jika iya. "Apakah manfaat dari pemberian tugas ini akan efektif?" lanjut lagi. "Apakah tugas ini akan membebankan siswa dan orang tua terlalu banyak?"