"Loh bukannya harus baca dulu bukunya?"
"Gak perlu. Cari aja di internet. Yang penting harus diketik dan dicetak rapi."
Lha, tujuannya jadi melenceng, yekan? Apakah guru nggak tahu kalau resensi itu modal googling? Pasti tahu. Tapi apakah peduli? Belum tentu. Menurut saya, mending si murid disuruh baca apa saja. Misalnya cerpen anak satu-dua halaman, lalu dibuat resensi sederhananya dengan ditulis tangan. Lebih berfaedah dan jelas nggak akan keluar biaya.
Semua harus difoto, dicetak berwarna perlembar. Satu siswa saja bisa 10 lembar. Dikalikan seribu, sudah 10 ribu. Ini setara 1 kg beras kualitas sedang wahai bapak-ibu guru.
Kenapa saya akhirnya bisa bercerita seperti ini? Karena ini semacam akumulasi dari rasa gemas. Di komputer, saya mengumpulkan satu folder khusus tugas-tugas semacam ini. Sebagian hasil pencarian di internet. Harus dicetak pula. Wah, ini saya belum ngebahas dan menyinggung isu lingkungan ya. Kertas terbuang untuk tugas semacam ini udah berapa banyak coba?
BINGKAI FOTO DAN BERKACA PADA MASA LALU
Saya jadi mengingat-ingat, apakah dulu guru saya juga membebankan tugas semacam ini ya? Waktu TK, ada satu momen saat saya dikasih tugas membuat topi tapi dari daun. Mungkin ini maksudnya untuk bonding hubungan anak dan orang tua ya. Dulu sih yang saya ingat, pagi-pagi orang tua udah ke halaman rumah, memetik banyak daun pohon nangka dan dirajut jadi satu pakai stepler hehe. Saya? Ngeliatin doang. Tapi ya, hal ini cukup berkesan.
Saat SMP, beberapa kali guru juga kasih prakarya yang membuat kami harus membayar peralatannya. Misalnya, membeli stik es krim untuk dibuat vas bunga, atau piring kayu yang lucu. Atau juga, membeli peralatan rajut dan balok-balok kayu tipis untuk dibuat bingkai foto.
Oke, berarti dari dulu sampai sekarang sama saja. TAPI... inget, itu kata "tapi"-nya saya capslock. Tugas itu ya memang sudah sepantasnya diberikan karena mata pelajarannya Kesenian dan Keterampilan. Dan, rasanya, modal untuk membeli stik es krim, lem kayu, atau kertas karton, masih dalam kategori wajar.