Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pernah Puas karena Menerima Layanan Prima?

27 Mei 2017   09:47 Diperbarui: 27 Mei 2017   22:46 1637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Aris/UCEO, [http://ciputrauceo.net/blog/2015/7/7/pengertian-layanan-prima].

Di sini Om-G akan memulai dengan kasus-kasus yang nyebelin dulu ya, baru setelah itu kasus-kasus yang bisa bikin kita kelepek-kelepek... Ceritanya sih agar tulisan ini berakhir dengan happy ending gitu lho. Setuju, ‘kan..? Baik, mari kita simak...

Kasus pertama. Sekitar dua minggu yang lalu, Om-G kebetulan mengisi acara kuliah umum di sebuah kota di Jawa Timur. Untuk menuju Surabaya dan lalu kembali ke Bandung, siang itu Om-G ceritanya akan menggunakan mobil travel, dijemput langsung dari tempat acara. Karena tanya jawabnya cukup seru, Om-G mempersilakan acara tanya-jawabnya diteruskan sampai mobil travelnya menjemput. Pada saat mobilnya sampai, Om-G sudahi acara, dan sebetulnya ingin ke toilet dulu sebelum naik mobil. Ternyata di toiletnya harus ngantri, dan karena ndak enak kalau bikin penumpang lain jadi terpaksa menunggu, Om-G langsung naik mobil travel, dengan pemikiran bahwa ke toiletnya nanti saja sebentar lagi pada saat mobil mengisi bensin. Dan Om-G langsung bilang kepada mas sopir, minta tolong untuk berhenti sebentar di SPBU terdekat karena ingin ke toilet. Si mas sopir setuju, Om-G pun menjadi tenang.

Tetapi apa yang terjadi? Ternyata Om-G terpaksa harus menunggu sekitar tiga setengah jam untuk bisa unloading di toilet sebuah SPBU (setelah relatif dekat ke bandara Juanda), setelah sebelumnya BERKALI-KALI melewati SPBU-SPBU lainnya yang kami lalui dengan alasan “Wah sudah kepalang kelewat, Pak... Nanti di SPBU berikutnya saja ya? Lalu terpaksalah Om-G menunggu dengan menahan-nahan pipis sambil ngedumel... Padahal rasanya apa salahnya sih Om sopir berhenti 2-3 menit di sebuah SPBU agar saya bisa ke toilet, walaupun dia belum perlu isi bensin? Kemungkinan besar sih penumpang lain juga akan maklum dan nggak ngedumel karena berhenti 2-3 menit itu...

Kira-kira bisa dimengerti, ’kan, kenapa Om-G tidak ingin lagi menggunakan mobil travel dari perusahaan tersebut di masa yang akan datang?

Kasus ke dua.Cerita ini terjadi sekitar dua puluh sembilan tahun yang lalu di sebuah kota di mana di situ ada banyak tempat yang menawarkan makan malam dengan lesehan. Tapi yang membuat Om-G sebal adalah  bahwa Om-G merasa mereka (para penjual di situ) bertindak diskriminatifyaitu dengan menerapkan harga yang mahalnya keterlaluan(lebih dari sepuluh kali lipat “harga normal”). Kata seorang teman yang mukimin di situ, konon katanya harga istimewa ini memang hanya diterapkan untuk “pendatang”.

Memang ada juga sih kesalahan Om-G, yaitu nggak nanya-nanya harga dulu sebelum pesan makanan. Tapi bukankah biasanya dalam keadaan normal mah “aman-aman” saja” ? Kalaupun perkiraan kita meleset, paling-paling melesetnya hanya 10-20%, bukan seribu persen lebih! Yang lebih dipermasahkan terutama bukan saja nominalnya yang selangit itu (walaupun iya juga sih...), tapi lebih pada perasaan “dirampok”gitu lho... [Mungkin sama saja dengan kalau kita naik taxi yang memakai “argo kuda”, walaupun kita sebetulnya mampu membayar tarif yang dua kali lipat dari tarif normal itu, tetap saja sebal, ‘kan?].

Oh ya ada satu hal lagi: Pada saat makan (jamannya sekitar 29 tahun yang lalu, nggak tahu kalau sekarang, karena rasanya Om-G tidak pernah lagi tergoda untuk nyamnyam di situ...), ternyata banyak sekali pengamen (ibaratnya mereka datang setiap 1-2 menit, pengamen yang berbeda-beda sih...) yang berada dekat sekali dengan tempat kita duduk, yang rupanya tidak akan beranjak pergi dari situ kalau kita belum memberi uang. Bayangkan betapa tidak nyamannya makan sambil “ditunggui”seperti itu, dan ibaratnya pada setiap suap harus merogoh kantong untuk mengambil uang kecil. Mudah-mudahan sekarang mah sudah tidak seperti itu lagi ya... Misalnya dengan mengkoordinir mereka lalu mereka bernyanyi di atas panggung kecil (yang disediakan setiap beberapa tempat lesehan), trus barulah setelah 2-3 lagu “menagih” kepada orang-orang yang sedang makan di sekitar situ. Rasanya ini jauh lebih baik, daripada hanya bernyanyi sepanjang 2-3 kalimat, lalu langsung menagih. Kalau main musik dan nyanyinya bagus mah insya Allah hasilnya akan lumayan banyak juga. Iya ndak, Om dan Tante ?

Kasus ke tiga.Suatu ketika Om-G sedang berada di sebuah kota di luar Jawa. Pada suatu waktu bebas, Om-G keluyuransendiri di kota. Pada saat perut terasa lapar, masuklah Om-G ke sebuah resto yang cukup besar dan bagus. Setelah makanan dan minuman terhidang, tiba-tiba mata Om-G menangkap pemandangan yang tidak biasa: pada gelas minuman yang Om-G pesan ada bekas lipstick. Astaga! Om-G segera memanggil waiter di situ sambil menunjuk ke gelas, sambil meminta dia untuk mengganti minuman itu (plus gelasnya tentu saja!). “Kenapa Pak? Bukannya Bapak tadi memesan jus jeruk? Ini betul jus jeruk ‘kan Pak”. Hadeuh... Si Om waiter rupanya belum juga ngeh...Om-G bilang bahwa Om-G ingin dia mengganti jus jeruk itu karena di gelasnya ada bekas lipstick. Tetapi apa yang terjadi? Dengan tenangnya beliau memutar gelas sambil berkata dengan manis “Ah cuma lipstick saja ‘kan? Mudah saja Pak, tinggal diputar saja gelasnya...”. Wah Om-G langsung ilfil deh! Tanpa ba-bi-bu langsung kabur ke kasir, bayar, ke luar dan bersumpah gak bakal pernah lagi datang ke situ. Amit-amit deh!

Kasus ke empat.Pada sebuah penerbangan dari Jakarta menuju sebuah kota di Eropa, Om-G berangkat dari bandara Soekarno-Hatta, lalu transit di Singapur. Setelah masuk pesawat kembali, kemudian ternyata ada seorang bule yang mengklaim bahwa Om-G menduduki kursi punya dia. Wah bagaimana urusannya nih, Om-G ‘kan sudah naik duluan dari Jakarta menuju Paris, mestinya duduk di seat yang sama ‘kan? Lha si Om bule mah baru naik dari Singapur... Walaupun Om-G bisa menunjukkan bahwa Om-G berhak duduk di situ (‘kan bisa dilihat di boarding pass...), si Om bule tetep keukeuh ingin duduk situ, ngomong dengan keras sambil nunjuk-nunjuk muka Om-G, [nah ini lagi nih, mau bikin gara-gara apa ngajak berantem nih bule?] sampai-sampai Tante pramugari datang ke situ untuk ‘melerai’ kami. Yang nyebelin adalah si Tante pramugari pun menyudutkan saya dan bilang bahwa Om-G yang salah. [Ye enak aja, memangnya siapa yang ngasi nomor seat pada saat check-in?Speechlessdah... ].

Sekarang kita cerita-cerita tentang kasus-kasus yang bagus ya, siapa tahu bisa menjadi contoh ato inspirasi bagi kita semua mengenai upaya untuk membuat pelanggan menjadi pelanggan yang setia dan menarik pelanggan baru karena cerita positif yang tersebar oleh para pelanggan yang puas. Boleh ‘kan, Om-G menyebut nama-namanya? Ini mah anggap saja sebagai iklan gratis sebagai penghargaan karena mereka memang (pernah, tapi mudah-mudahan selalu) memberikan layanan yang sangat baik yang langsung diberikan tanpa bertele-tele mikir ini-itu dulu, atau layanan yang bahkan diberikan tanpa kita minta terlebih dahulu. Kita mulai ya...

Kasus pertama. Dulu, rasanya sekitar 5-7 tahun yang lalu, Om-G pernah ada pelatihan yang diselenggarakan di Hotel Novotel Bandung (yang kalau tidak salah berlokasi di sekitar Jalan Cihampelas “bawah”). Pada pagi itu kebetulan hujan sedang mengguyur Bandung, sehingga sepatu Om-G menjadi lumayan kotor, yang terpaksa Om-G cuek-in... Ya bagaimana lagi, masa cari-cari tukang semir sepatu dulu? Mungkin pada saat itu ada staf hotel yang memperhatikan kotornya sepatu Om-G tersebut (plus orang-orang lainnya juga dong, memangnya yang kena hujan Cuma Om-G doang, hehehe...). You know what? Pada saat coffee break, dan kami ke luar ruangan untuk ngopi-ngopi, ternyata di luar, dekat ruang pelatihan, disediakan layanan semir sepatu. Wow! Surprising dan luar biasa sekali! Pada saat kita perlu, ada orang lain yang menyediakan apa yang kita butuhkan. Gratis lagi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun