Judul Buku: Senja di Jakarta
Penulis Buku: Mochtar Lubis
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun Terbit: Cetakan keempat, 2019
Jumlah Halaman: 278 halaman
ISBN: 9786024335885
Senja di Jakarta bukan sekadar novel. Membaca buku karya Mochtar Lubis di masa sekarang seakan melihat kembali ke era pasca-kemerdekaan. Pembaca bisa menyaksikan bagaimana benih-benih permasalahan bangsa mulai tumbuh.
Novel Senja di Jakarta menceritakan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Indonesia pada tahun 1950-an. Korupsi, kesenjangan sosial, kemiskinan, dan perjuangan mencari keadilan adalah isu-isu yang diangkat dalam buku ini. Ironisnya, isu-isu tersebut masih menjadi pekerjaan rumah bangsa ini hingga sekarang.
Diterbitkan pertama kali pada tahun 1963, “Senja di Jakarta” menggambarkan kota Jakarta dengan segala kontradiksinya. Kita akan diperkenalkan karakter-karakter dari berbagai lapisan masyarakat.
Ada para politisi korup yang haus kekuasaan, kaum intelektual yang idealis, para pedagang kecil yang berjuang demi sesuap nasi, kaum miskin, dan para wanita yang berjuang mencari tempat di tengah perubahan zaman.
Intrik politik dan perebutan kekuasaan menjadi pemandangan sehari-hari. Kesenjangan sosial antara kaum kaya yang bergelimang kemewahan dan kaum miskin yang berjuang untuk bertahan hidup semakin menganga.
Karakter-karakter dalam novel Senja di Jakarta digambarkan dengan sangat jelas. Pembaca bisa merasakan kehidupan yang berbeda-beda dari setiap tokoh.
Sugeng, pegawai di Kementerian Perekonomian, adalah orang yang idealis. Sebagai pegawai yang jujur tentu ia sangat menolak korupsi. Namun, hidupnya selalu pas-pasan. Belum lagi tuntutan Hasnah, istrinya, yang ingin segera punya rumah sendiri. Demi memenuhi keinginan istrinya, Sugeng akhirnya tergoda melakukan korupsi.
Raden Kaslan, dulunya pegawai negeri, tapi keluar dan jadi pebisnis. Ia mulai masuk dunia politik dan melakukan praktik-praktik korupsi. Ada pula Suryono, anak Raden Kaslan, pegawai negeri muda yang selalu menuruti bapaknya.
Selain mereka, ada Husin Limbara seorang pemimpin partai politik yang sedang mencari dana, Halim seorang wartawan senior, dan kaum kecil dari buruh, pekerja kasar hingga pengemis. Masih ada beberapa karakter yang berjuang mempertahankan integritas dan nilai-nilai kemanusiaan.
Lantas, bagaimana dengan akhirnya? Tentu semua perbuatan ada balasannya. Begitu pula dengan karakter-karakter yang ada di dalam novel. Saya tidak ingin terlalu spoiler di sini, namun akhir ceritanya cukup memuaskan.
Masalah Klasik yang Tak Kunjung Selesai
Senja di Jakarta berani mengangkat isu-isu sensitif pada masanya. Novel ini tidak hanya menyajikan kritik sosial yang tajam terhadap kondisi pada zamannya, tetapi juga refleksi mendalam tentang perjuangan mencari keadilan.
Hingga kini, isu-isu krusial dalam novel Senja di Jakarta masih sangat relevan di Indonesia. Tema utama korupsi yang diangkat dalam novel masih menjadi masalah laten di dalam negeri. Praktik suap, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan terus terjadi di berbagai tingkatan pemerintahan.
Kesenjangan sosial dan ekonomi yang digambarkan dalam novel juga masih ada. Di beberapa aspek bahkan semakin melebar. Bedanya, nilai rupiah pada tahun 1950-an sudah meningkat berkali-kali lipat sekarang.
Belum lagi dinamika politik yang penuh intrik. Terkadang kepentingan rakyat diabaikan demi kepentingan kelompok atau pribadi. Ini yang digambarkan dalam “Senja di Jakarta”. Kita dapat melihat kemiripan antara intrik-intrik dalam novel dengan yang terjadi saat ini.
Novel ini juga menggambarkan kompleksitas masyarakat dengan berbagai macam karakter dan motivasi. Kita akan menemukan berbagi tipe manusia yang ada di sekitar kita dalam karakter-karakter novel.
Membaca “Senja di Jakarta” bukan hanya sekadar menikmati sebuah cerita fiksi, tetapi juga merenungkan sejauh mana kita telah berubah dan tantangan apa saja yang masih perlu diatasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI