Apa kaitan antara joget dan empati?
Tidak ada sebenarnya.
Tetapi, di negara kita keduanya jadi berkaitan.
Jangan salah. Masalahnya bukan pada jogetnya. Joget sendiri tidak salah, jika itu dilakukan pada waktu, tempat, dan situasi yang tepat.
Empati, di lain sisi, adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Empati bukan hanya tentang memahami perasaan orang lain, tetapi juga tentang bagaimana perasaan itu mempengaruhi tindakan dan hubungan kita dengan dunia di sekitar.
Nah, di situ letak masalahnya.
Joget -- yang lekat dengan konotasi bersukaria dan bersenang-senang -- jadi tindakan yang kurang atau bahkan tidak berempati ketika itu dilakukan dalam situasi dan kondisi yang tidak tepat, oleh pihak-pihak yang seharusnya menjadi teladan dan memiliki pengaruh besar.
Dan, itulah yang kita lihat dalam sidang MPR dan upacara peringatan kemerdekaan di Istana Negara tahun ini.
Tindakan korupsi, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, komentar-komentar tidak peka dan tidak simpatik, serta berbagai kebijakan penguasa akhir-akhir ini saja sudah memperlihatkan ketidakpekaan dan ketidakberpihakan mereka terhadap situasi dan kondisi rakyat. Mestikah itu diperjelas lagi dengan tindakan joget oleh wakil rakyat dan pejabat negara di tengah berbagai isu dan kondisi bangsa yang sedang tidak baik-baik saja saat ini?
Tidakkah seharusnya mereka yang menjadi wakil rakyat dan pejabat negara itu bisa bersikap lebih peka, sensitif, dan prihatin terhadap persoalan bangsa dan rakyat?
Bukankah untuk itu mereka dipilih dan diangkat, untuk menjadi pelayan dan pengemban amanat rakyat? Â
Tentu saja persoalan berat bangsa ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan empati dan keprihatinan semata. Akan tetapi, kepekaan dan empati menjadi dasar penting yang memengaruhi upaya dalam tindakan untuk memecahkan persoalan bangsa.
Tanpa kepekaan dan empati, kita akan memiliki wakil rakyat dan penguasa yang tidak mampu merasakan penderitaan rakyat dan bergerak lebih jauh untuk mengatasinya. Jabatan dan kekuasaan yang dimiliki bukan digunakan untuk melayani kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan partai, keluarga, dan diri sendiri.
Sayangnya, yang terakhir itulah yang selalu terjadi hingga saat ini.
Sayangnya lagi, sepertinya belum banyak masyarakat yang sadar bahwa ada kaitan antara "joget dan empati" di tengah situasi bangsa yang sedang tidak baik-baik saja. Kebanyakan orang mungkin justru menganggap itu sebagai hiburan dan selebrasi semata, jadi tidak perlulah dibuat sebagai isu atau persoalan baru.
Namun pertanyaannya, apa sih yang bisa dirayakan dengan joget-joget itu, ketika isu korupsi, pengangguran, angka kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kerusakan lingkungan justru semakin meningkat?
Lagi pula, apa yang menghibur dari fakta bahwa meski kita memiliki kekayaan alam yang berlimpah, masih banyak sekali orang miskin dan belum sejahtera di negara ini? Bahwa setelah 80 tahun merdeka, masih ada banyak orang belum merdeka dari kebodohan?
Joget tentu saja bukan isu utamanya. Tetapi, empati.
Setelah 80 tahun merdeka, masih adakah empati dari wakil rakyat dan pejabat negara yang akan mendorong mereka untuk berpihak pada rakyat dan berjuang sungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat?
Atau jangan-jangan, seperti slogan yang sempat marak kemarin-kemarin, empati itu sudah diganti dengan semangat "jogetin aja"?
Dirgahayu Indonesia.
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
 Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI