"Anxiety."
"Kena mental."
"Generasi strawberry."
"Brain rot."
"Mager."
Sering kan dengar kata-kata seperti itu? Nah, tanpa harus dijelasin lagi, kita pasti sudah tahu ke mana itu mengarah dan dalam konteks apa.
Ya. Meski setiap generasi memiliki keunikan, keistimewaan, kelebihan, kekurangan, dan tantangannya masing-masing, tetapi kata-kata semacam itu belum pernah terdengar pada era generasi saya dulu, yaitu Generasi X. Dalam konteks inilah saya merasa bersyukur terlahir sebagai Gen X. Kami adalah generasi yang sudah terbukti tangguh mengatasi masalah dan tantangan dalam melintasi zaman.
Sebagai generasi yang lahir pada kisaran tahun 1965-1980-an, Gen X adalah generasi setelah Boomers (kelahiran 1946 hingga 1964) dan sebelum Milenial (kelahiran 1981 -- 1997). Menurut AI, Gen X dikenal karena memiliki kemandirian, kemampuan beradaptasi, etos kerja yang kuat, sekaligus menjadi generasi yang mengutamakan keseimbangan kehidupan dan pekerjaan. Mereka dikenal sebagai pribadi-pribadi yang banyak akal, praktis, dan berjiwa wirausaha, dengan preferensi pada komunikasi langsung dan keinginan kuat untuk stabilitas. Meski karakteristik ini bisa berbeda di setiap negara, bahkan dalam kisaran daerah wilayah lokal (Gen X di kota-kota besar bisa saja agak berbeda karakteristiknya dengan Gen X di wilayah yang lebih terpencil). Namun, tetap saja ada beberapa situasi zaman yang membentuk karakteristik Gen X secara umum.
Lahir dan tumbuh pada era sebelum dan sekaligus pada awal-awal perkembangan teknologi dan internet, justru membuat Gen X jadi memiliki banyak karakter unik yang positif. Gen X pada umumnya adalah pribadi yang memiliki keterampilan sosial tinggi. Kami suka berteman, bekerja sama, dan berkontribusi. Meski dari dulu selalu ada saja pribadi yang introvert maupun ekstrovert, tetapi hal itu tidak pernah menghambat rata-rata Gen X untuk memiliki (banyak) teman dan sahabat. Apa sebab?
Pada masa-masa itu, internet, gadget, game online, dan media sosial belum berkembang pesat. Masa kecil dan remaja kami pun jadi lebih banyak dihabiskan untuk bermain dan bergaul dengan teman sebaya, baik di lingkungan rumah, keluarga, sekolah, serta tempat les. Tidak punya teman sepertinya adalah aib besar buat kami saat itu. Permainan yang kami lakukan pun juga lebih banyak yang bersifat tradisional dan komunal (tidak sendirian). Hal-hal itulah yang justru membuat kami memiliki keterampilan bersosialisasi, beradaptasi, memiliki etika dan etiket, kecerdasan emosi, dan kemampuan bekerja sama dalam tim. "Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya." Yes, banyak sekali keterampilan dan kecerdasan yang diperoleh justru dengan banyak berinteraksi langsung dengan sesama, bukan dengan gadget dan dunia maya.
Tidak/belum terekspos banyak dengan internet dan medsos membuat kami jadi suka melakukan berbagai aktivitas seperti berolahraga, mendaki gunung, menari, bermain teater, atau melakukan berbagai aktivitas yang melibatkan fisik. Saat itu, kami juga masih banyak berjalan kaki, bersepeda, atau naik kendaraan umum. Kami tidak familiar dengan istilah Mager atau Pewe. Namun, justru kegiatan-kegiatan semacam itulah yang membuat kami relatif jarang terpapar penyakit parah pada usia muda. Fisik dan mental kami juga terlatih dengan baik karena banyak hal harus kami lakukan atau upayakan sendiri, tanpa banyak bantuan dari teknologi atau berbagai moda transportasi. Didikan orang tua Boomers yang berjiwa disiplin dan suka bekerja keras sedikit banyak juga memengaruhi kami. Berjuang untuk meraih sesuatu bukan sesuatu yang asing. Itu merupakan kewajaran dan menjadi bagian dari kehidupan kami. Itu sebabnya, Gen X jadi punya semacam resilience karena kami sudah terbiasa gagal atau jatuh bangun dalam upaya kami meraih sesuatu. Kena mental? Ga ada ceritanya tuh.
  Â
Bullying atau perundungan sebenarnya juga sudah marak terjadi pada zaman itu. Tetapi, tidak seperti sekarang yang bersifat online dan jadi punya dampak yang luas, bullying pada zaman dulu biasanya hanya terjadi dalam lingkup sekolah atau lingkungan sekitar rumah dan keluarga saja. Kurang banyak bersosialisasi dan bermain dengan teman secara nyata dan lebih banyak terhubung dengan internet, game online, serta dunia maya tampaknya membuat generasi muda sekarang jadi kurang punya empati dan kecerdasan emosi yang baik saat terhubung dengan sesamanya.
Karena belum terpapar dengan arus informasi yang lebih canggih via internet, gadget, dan media sosial, Gen X jadi jauh lebih suka membaca buku dan bacaan (tebal) dibanding generasi sesudahnya. Meski kemampuan kami dalam mendapat dan mengolah informasi tidak secepat dan sebanyak generasi di bawah kami, tetapi pengetahuan dan pemahaman kami tidak dangkal atau sepenggal-sepenggal terhadap banyak hal dan isu. Tanpa bantuan internet dan teknologi, kami "dipaksa" terbiasa mencari solusi untuk memecahkan masalah sendiri (DIY). Inilah modal yang mungkin membuat Gen X, meski bukan digital native, justru banyak meletakkan fondasi penting pada perkembangan teknologi, media sosial, dan AI. Google, Wikipedia, Amazon.com, dan YouTube adalah sebagian kontribusi Gen X pada dunia dan masyarakat. Jangan lupa, ada banyak sekali content creator serta pengusaha startup sukses yang justru berasal dari Generasi X.
Oh ya, hidup dalam era awal-awal perkembangan teknologi juga melatih kemampuan kami untuk beradaptasi. Jadi, meski ga techie, tapi rata-rata kami tetap mampu belajar mengikuti perkembangan teknologi. Dan, itulah yang membuat kebanyakan kami tetap bisa bertahan memiliki pekerjaan di berbagai instansi, perusahaan, dan lapangan kerja pada saat ini, meski harus bersaing dengan Milenial dan Gen Z yang jauh lebih melek teknologi. Jangan salah, masih banyak sekali posisi CEO, Manager, Top Leader, dan pemimpin politik dan pemerintahan yang dipegang oleh generasi X selain Boomers pada saat ini. Dan, itu menempatkan Gen X di posisi kedua dengan tingkat kekayaan tertinggi setelah Boomers, mengalahkan Milenial apalagi Gen Z. Â
Hidup dalam zaman perkembangan media televisi dan radio, membuat kami sangat terpapar dengan berbagai jenis genre musik. Bisa dibilang, musik adalah bagian dari gaya hidup kami. Jangan heran kalau Gen X sangat fanatik dengan jenis musik yang hits atau kami sukai pada era itu. Referensi musik kami sangat kaya dan beragam. Ada pop, rock, jazz, rap, new wave, hip hop, metal, soul, punk rock, grunge, dan rock alternatif. Syair dan melodi lagu-lagu pada masa itu pun relatif lebih nancap di hati. Jelas beda dengan musik dan lagu-lagu pada era ini yang sifatnya easy come yet easy go, alias mudah nge-hits tapi mudah pula dilupakan. Siapa sih yang saat ini ga tahu lagunya Dewa 19, Nirvana, atau Michael Jackson?
Dalam perkara musik ini, semua Gen X pasti punya bank memori khusus jika menyangkut lagu-lagu yang kami dengarkan pada saat itu. Sedang jatuh cinta? Dengerin aja lagu-lagu Boyband, Celine Dion, Whitney Houston, Mariah Carey, atau Kahitna. Kesel atau pengen marah? Puter lagunya Nirvana, Bon Jovi, atau Metallica biar bisa teriak-teriak untuk melepaskan emosi. Pengen nge-dance? Lagu-lagu Michael Jackson, Spice Girl, Vanila Ice, atau beberapa Boyband pas untuk itu. Kalau lagi nongkrong bareng temen-temen, mungkin lagunya U2, Sting, dan Dewa 19 cukup nyenengin untuk sayup-sayup didengar.Saat itu, kaset, radio, MTV, dan walkman adalah kenangan manis kami terkait musik. Dan, berbeda dengan generasi sekarang yang dapat dengan mudah memiliki playlist melalui platform seperti Spotify, Gen X harus sedikit berjuang untuk memiliki playlistnya. Kami perlu kaset kosong, tape dan radio, atau dua tape (satu untuk memutar lagu dan satu untuk merekamnya) buat merekam lagu favorit kami. Tentu saja jadi butuh waktu untuk mengumpulkan semua lagu atau musik favorit kami dalam satu kaset. Itu cara yang cerdik, kan? Tapi, ah, mari bersyukur sajalah dengan keberadaan platform Spotify saat ini :-D
Budaya ngafe atau nongkrong di cafe belum marak saat itu. Jika ingin ngumpul, mengerjakan tugas sekolah/kuliah, atau sedang bosan di rumah, biasanya kami akan main ke rumah teman, nonton ke bioskop, atau malah nge-mall (yang kedua terakhir mungkin hanya berlaku untuk mereka yang tinggal di kota besar). Uang saku atau gaji kami kebanyakan habis bukan untuk ngafe, jajan Go/Grab/Shopeefood, atau rutin beli produk skincare, melainkan untuk membeli buku, komik, kaset, majalah, atau benda-benda koleksi seperti topi, aksesoris, pin, dsb. Itu pun biasanya kami beli setelah beberapa saat menabung. Dibanding Milenial atau Gen Z, kami jauh lebih baik dalam mengatur keuangan. Kami bisa menahan diri untuk mendapatkan sesuatu serta menyisihkan uang untuk menabung. Gaya hidup frugal sangat tidak asing bagi kami, meski sebetulnya kami belum kenal dengan istilah frugal living. Gaya hidup ini pula yang mungkin menyebabkan Gen X jauh lebih baik dalam berinvestasi dan memiliki properti dibanding generasi sesudahnya.
Namun, ada banyak juga sisi negatif Gen X yang terbentuk karena situasi dan kondisi pada masa-masa itu. Penggunaan narkoba, sinisme, anti kemapanan, materialisme, dan sikap apatis menjadi hal-hal yang sangat terkait dengan Gen X, yang akan terlalu panjang jika dijabarkan di sini. Akan tetapi, secara umum semua hal yang saya sebutkan di atas adalah hal-hal yang terbukti membentuk Gen X menjadi generasi yang tangguh dan adaptif dalan melintasi zaman. Dan, hal-hal itu seharusnya diwariskan oleh orang tua Gen X kepada anak-anak Gen Z mereka. Meski Milenial dan Gen Z juga memiliki keunikan dan keistimewaannya sendiri, tetapi tak ada salahnya jika mereka belajar dari karakter Gen X agar tak mudah kena mental, tak dicap generasi strawberry, dan mampu menghadapi tantangan zaman yang kian berat.
Punya cerita asyik sebagai Gen X?Â
Yuk, tambahin di kolom komentar, biar yang lain bisa ikut membayangkan betapa asyiknya bertumbuh sebagai Gen X pada masa lalu.
  Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI