Mohon tunggu...
Oktaviyanti Purba12
Oktaviyanti Purba12 Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya Mahasiswa Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Media Sosial dan Tantangan Etika Bisnis ditengah Arus Influencer

18 Juli 2025   22:52 Diperbarui: 18 Juli 2025   22:47 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setiap tanggal 10 Juni, Indonesia memperingati Hari Sosial Media, sebuah momen yang berbentuk apresiasi untuk mengingatkan kita akan peran besar media sosial dalam membentuk budaya komunikasi, perilaku sosial, dan strategi bisnis masa kini. Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern, media sosial bukan hanya sekadar tempat berbagi momen pribadi, tapi sudah menjadi alat interaksi sosial, pusat informasi, hiburan, dan peluang usaha yang potensial.

Media sosial membuka ruang bagi siapa saja untuk mengekspresikan diri, membangun popularitas dan mempengaruhi orang lain. Bagi pelaku bisnis, media sosial juga menjadi sarana yang efektif untuk menjangkau konsumen secara langsung yang relatif murah, munculnya influencer mengubah cara bisnis berpromosi. Dari iklan yang konvensional, sekarang berfokus pada personal branding dan konten viral. Melalui endorsement, influencer seperti artis mampu membujuk audiens, mempengaruhi dan mendorong penjualan secara langsung.

Namun, di era perkembangan sekarang muncul tantangan yang tidak bisa diabaikan: apakah semua praktik bisnis di media sosial dilakukan secara etis dan sesuai dengan hukum yang berlaku? Hari Media Sosial Indonesia seharusnya bukan hanya ajang perayaan, tapi juga pengingat akan pentingnya tanggung jawab etis dalam menciptakan ruang digital yang sehat, adil, dan berkelanjutan.

Fleksibilitas Etika Bisnis di Media Sosial

Etika bisnis pada dasarnya meliputi prinsip kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab dalam aktivitas ekonomi. Namun, di dunia media sosial, prinsip ini sering kali menjadi terlalu fleksibel. Banyak pelaku binis memilih cara instan demi menaikkan popularitas dan angka penjualan, meskipun harus mengabaikan aspek etika.

Misalnya, promosi produk dilakukan tanpa riset, dengan klaim yang dilebih-lebihkan, atau menggunakan testimonial palsu. Tak jarang pula pelaku bisnis berkolaborasi dengan influencer terjadi tanpa kejelasan apakah mereka benar-benar menggunakan dan memahami produk tersebut. Semua itu dilakukan untuk mendapat likes, views, dan keuntungan yang banyak.

Keadaan ini diperburuk dengan kurangnya pengawasan yang mengatur promosi di media sosial. Ketika melanggar etika bisnis akan banyak dampak negatifnya termasuk hilangnya kepercayaan konsumen terhadap perusahaan tertentu.

Di Hari Media Sosial Indonesianya ini, pentingnya pelaku bisnis untuk menyadari bahwa fleksibilitas bukan berarti bebas dari tanggung jawab. Etika harus tetap menjadi pondasi utama dalam setiap konten dan kolaborasi yang mereka lakukan, demi membangun kepercayaan jangka panjang.

 Citra Etika Bisnis di Media Sosial

Media sosial adalah salah satu alat yang digunakan untuk membentuk citra bisnis. Banyak bisnis di media sosial berusaha bisa terlihat sangat peduli terhadap isu lingkungan, sosial, atau hak asasi manusia, namun apakah citra itu benar-benar mencerminkan praktik nyata? Inilah yang menjadi persoalan besar dalam dunia etika bisnis saat ini.

Banyak brand menggunakan strategi "ethics-washing", yaitu membungkus produk atau jasa dengan narasi moral yang sebenarnya tidak dijalankan secara konsisten. Misalnya, mengklaim sebagai ramah lingkungan padahal proses produksinya masih mencemari lingkungan.

Menurut John Kotter, pakar manajemen perubahan, kepercayaan publik terhadap brand sangat ditentukan oleh konsistensi antara apa yang dikatakan dan dilakukan. Ketika citra dibangun hanya untuk menciptakan engagement tanpa komitmen nyata, maka kredibilitas perusahaan akan mudah runtuh di tengah krisis. Sebaliknya, citra yang jujur dan dapat dipercaya akan menghasilkan loyalitas konsumen.

Oleh sebab itu, momentum Hari Media Sosial Indonesia bisa menjadi sebuah kesempatan bagi setiap brand untuk mengevaluasi, memperbaiki dan merefleksi ulang apakah citra yang mereka tampilkan di media sosial benar-benar sesuai dengan prinsip etika yang mereka jalankan.

 Citra Media Sosial Menurut Etika Bisnis

Dari sudut pandang etika bisnis, media sosial bukan sekedar alat komunikasi, melainkan menjadi sebuah ruang publik digital yang harus dijalankan dengan komitmen moral yang kuat. Linda Ferrell (ahli etika bisnis), menyatakan bahwa etika dalam pemasaran digital pelaku usaha wajib memprioritaskan kejujuran, keadilan, serta tanggung jawab sosial dalam setiap konten yang mereka bagikan.

Namun, realitanya media sosial justru rentan disalahgunakan sebagai alat manipulatif presepsi publik. Testimoni palsu di ubah menjadi ikan tersembunyi, foto produk di edit secara berlebihan agak tampak lebih sempurna, dan alogaritma platform dimanfaatkan untuk menggiring opini sesuai dengan kepentingannya.

Citra media sosial yang sehat menurut etika bisnis adalah yang dibangun atas dasar kejujuran dan transparansi. Konsumen berhak mengetahui siapa yang membayar konten, apa fakta dari produk yang dipromosikan, dan bagaimana bisnis tersebut benar-benar beroperasi.

Keseimbangan: Antara Tren, Profit, dan Etika

Mengikuti tren adalah kunci eksistensi di media sosial. Namun, menurut Philip Kotler, etika tetap menjadi fondasi utama dalam membangun hubungan jangka panjang dengan pelanggan, perusahaan yang sukses adalah yang mampu menyeimbangkan kebutuhan pasar dengan tanggung jawab moral.

Keseimbangan ini penting, terutama di era ketika semua bisnis berlomba-lomba untuk viral. Tanpa komitmen etis, tren hanya akan menjadi jebakan yang mempercepat keruntuhan reputasi. Misalnya, memanfaatkan tren kesehatan untuk menjual produk tanpa izin BPOM, atau menggunakan isu sosial untuk mendulang simpati tanpa kontribusi nyata.

Bisnis yang etis adalah bisnis yang bisa memilih tren yang selaras dengan nilai perusahaan, bukan hanya yang menjanjikan keuntungan cepat. Mereka harus mampu mengikuti perubahan tanpa harus meninggalkan prinsip.

Tantangan yang Dihadapi dan Solusinya

Tantangan terbesar dalam menjaga etika bisnis di media sosial adalah minimnya regulasi, kurangnya edukasi, dan tekanan untuk viral. Banyak pelaku usaha, terutama UMKM, belum memahami pentingnya membangun reputasi secara etis karena terfokus pada hasil instan.

Di sisi lain, influencer juga menghadapi dilema antara idealisme dan kebutuhan ekonomi. Tidak semua memiliki kebebasan untuk menolak tawaran brand yang tidak sesuai nilai mereka, terutama jika tekanan finansial tinggi.

Solusinya adalah perlunya kolaborasi antara pemerintah, platform digital, dan masyarakat untuk membangun ekosistem media sosial yang etis. Pemerintah bisa mengeluarkan pedoman etik untuk konten promosi, platform bisa memperketat transparansi konten berbayar, dan konsumen bisa lebih aktif mengawasi serta memilih brand yang bertanggung jawab.

Di Hari Media Sosial Indonesia, mari kita jadikan momentum ini sebagai gerakan kolektif untuk menciptakan ruang digital yang sehat di mana bisnis berkembang bukan karena tipu muslihat, tapi karena kepercayaan dan nilai yang nyata.

Oktaviyanti Purba Mahasiswa FEB Universitas Katolik Santo Thomas  Medan

Helena Sihotang Dosen FEB Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun