Menurut John Kotter, pakar manajemen perubahan, kepercayaan publik terhadap brand sangat ditentukan oleh konsistensi antara apa yang dikatakan dan dilakukan. Ketika citra dibangun hanya untuk menciptakan engagement tanpa komitmen nyata, maka kredibilitas perusahaan akan mudah runtuh di tengah krisis. Sebaliknya, citra yang jujur dan dapat dipercaya akan menghasilkan loyalitas konsumen.
Oleh sebab itu, momentum Hari Media Sosial Indonesia bisa menjadi sebuah kesempatan bagi setiap brand untuk mengevaluasi, memperbaiki dan merefleksi ulang apakah citra yang mereka tampilkan di media sosial benar-benar sesuai dengan prinsip etika yang mereka jalankan.
 Citra Media Sosial Menurut Etika Bisnis
Dari sudut pandang etika bisnis, media sosial bukan sekedar alat komunikasi, melainkan menjadi sebuah ruang publik digital yang harus dijalankan dengan komitmen moral yang kuat. Linda Ferrell (ahli etika bisnis), menyatakan bahwa etika dalam pemasaran digital pelaku usaha wajib memprioritaskan kejujuran, keadilan, serta tanggung jawab sosial dalam setiap konten yang mereka bagikan.
Namun, realitanya media sosial justru rentan disalahgunakan sebagai alat manipulatif presepsi publik. Testimoni palsu di ubah menjadi ikan tersembunyi, foto produk di edit secara berlebihan agak tampak lebih sempurna, dan alogaritma platform dimanfaatkan untuk menggiring opini sesuai dengan kepentingannya.
Citra media sosial yang sehat menurut etika bisnis adalah yang dibangun atas dasar kejujuran dan transparansi. Konsumen berhak mengetahui siapa yang membayar konten, apa fakta dari produk yang dipromosikan, dan bagaimana bisnis tersebut benar-benar beroperasi.
Keseimbangan: Antara Tren, Profit, dan Etika
Mengikuti tren adalah kunci eksistensi di media sosial. Namun, menurut Philip Kotler, etika tetap menjadi fondasi utama dalam membangun hubungan jangka panjang dengan pelanggan, perusahaan yang sukses adalah yang mampu menyeimbangkan kebutuhan pasar dengan tanggung jawab moral.
Keseimbangan ini penting, terutama di era ketika semua bisnis berlomba-lomba untuk viral. Tanpa komitmen etis, tren hanya akan menjadi jebakan yang mempercepat keruntuhan reputasi. Misalnya, memanfaatkan tren kesehatan untuk menjual produk tanpa izin BPOM, atau menggunakan isu sosial untuk mendulang simpati tanpa kontribusi nyata.
Bisnis yang etis adalah bisnis yang bisa memilih tren yang selaras dengan nilai perusahaan, bukan hanya yang menjanjikan keuntungan cepat. Mereka harus mampu mengikuti perubahan tanpa harus meninggalkan prinsip.
Tantangan yang Dihadapi dan Solusinya