Mohon tunggu...
Oktavia Purnama Dewi
Oktavia Purnama Dewi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Its Me

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kulacino Anindita

21 September 2022   13:45 Diperbarui: 21 September 2022   13:51 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kulacino Anindhita

Oleh Oktavia Purnama Dewi

Gerimis tampak enggan beranjak dari Kota Hujan. Butiran kristal menjelajah sudut-sudut Kota Bandung. Begitu juga di kafe oranye milik Anindhita. Kafe yang terletak tepat di perempatan jalan. Kafe yang menyediakan minuman andalan anak remaja kekinian, seperti dalgona dan milk shake, serta makanan ringan andalan, pisang goreng dengan toping caramel dan nuttela.

Kafe yang tiga bulan lalu begitu ramai dan banyak diminati remaja untuk nongkrong hingga jam sepuluh malam. Kafe yang kerap kali dijadikan background untuk foto anak-anak remaja dan diposting pada instagram, dan kafe yang sering dijadikan solusi pertemuan anak-anak muda. Kini.... sepi bagai tak berpenghuni.

Jemari lentik Anin masih memainkan kulaciono di atas meja. Sembari mengetuk- ketuk gelas kaca yang berisi kahwa hangat. Pikirannya menerawang tiga bulan yang lalu.

Waktu itu di bulan Januari ...

            "Pesen makanan yang enak dong" , kata salah seorang  wanita tomboi dengan jaket jeans yang terkesan kumal, sesekali tangannya menyibakkan rambut pirangnya.

            "Ada pisang goreng toping caramel, ada roti bakar, siomay,nacho dan...."

            "roti bakar sama... minuman apa aja deh ! " potong wanita itu.

            Anindhita tersenyum. " Baik, tunggu sebentar ya?"

Anindhita keluar dengan satu roti bakar dan satu gelas dalgona hangat. Aromanya begitu mengendus hidung wanita itu.

            "Silakan Kak"

            "Kam saham mida" jawabnya  sambil tersenyum. Matanya terlihat kagum menatap Anindhita. Gadis berwajah oriental dengan rambut tergerai sebahu.

            "Bisa bahasa Korea ya, Kak" tanya Anin balas tersenyum. Mata sipitnya langsung membentuk garis lengkung.

            "Nggak, itu doang, ha..ha..ha.." jawabnya hangat. Cuma suka aja nonton drama korea".

            "Oya ?Artinya, Kakak nggak perlu sub title dong, langsung ngerti bahasanya"

            "Ha..ha..ha...harusnya begitu ya". Wanita itu langsung menyeruput dalgona yang sudah dipegangnya.

Anindhita kemudian meninggalkan wanita itu sendiran di sudut ruangan. Ia membiarkan wanita itu menikmati suasana kafe miliknya.

Tak banyak pengunjung waktu itu. Namun, seringkali wanita itu singgah hanya sekadar menikmati suasana sore yang tampak jingga. Tanpa terasa kehadiran wanita itu membuat keakraban bagi Anindhita.

Gadis itu bernama Dara. Ketika dia mengenalkan dirinya.  Dia gadis yang anti sosial.  Ia lebih suka menikmati kesendiriannya bersama drama koreanya , daripada berkumpul dengan teman-teman Atau   duduk sendiri, atau tampil nyentrik ala boy band korea .  yang penting bagus menurutnya.

            "An, aku boleh duduk di sini". Kata Dara dengan suara berat sore itu.

            "Boleh, yuk...aku temenin ngobrol". Jawab Anin langsung duduk di sebelah Dara.

            "Kamu sendirian di kafe ini,An?"   

            "Berdua kakak, Cuma saat ini dia kuliah, ntar malam baru ke kafe". Jawab Anin sambil memainkan kulacino di atas meja.

            "Kamu nggak sekolah?"

            " Sekolah, kan ini libur semester".

            "Mmm ..." Dara berguman.

            "Kak Dara juga sendirian? Coba ke sini bawa teman", tanya Anin balik.

            "Iya, aku sendirian, karena aku lebih suka sendiri, An. Hmmm, by the way kamu cantik". Jawab Dara dengan tatapan penuh kagum.

            "Perempuan mah, emang cantik atuh Kak, Kak dara juga cantik".

            Dara menyunggingkan senyumnya. Matanya terus menikmati wajah imut gadis yang duduk di depannya. Tangannya sesekali menuliskan kata A -- n --i -- n pada bekas air di permukaan meja.

           

                                                ***

Bulan Februari ketika itu...

Beberapa remaja mulai mamadati kafe Anin. Mulai di sudut ruangan hingga bangku yang di luar. Anin memang pandai menawarkan keceriaan pengunjungnya, meski terkadang yang datang hanya sekadar singgah tanpa tujuan.

            Jika kita  merasa dunia lebih banyak menawarkan kesedihan mungkin kita lupa Dia selalu memberi sepaket ; senang, sedih, masalah dan solusi.

Yaaah, kafe Anin salah satu solusinya.

Terkadang ada yang harus dituntaskan hari ini, seperti dendam temu setelah beberapa waktu menjarakkan kaki.

Begitu juga Dara...

            "Kenapa murung, Kak Dara ..." tanya Anin menatap wajah sendu Dara.

Dara hanya menggeleng.

            "Mau aku buatin frappucino , Kak...?, menu baru loh"

Dara masih bungkam. Tangannya mengepal seperti menyimpan segudang emosi. Matanya menahan kepungan air yang hampir tumpah. Bibirnya bergetar...

            "Ada apa, Kak?" tangan Anin menyentuh jemari Dara. Dara menatap wajah teduh Anin kemudian memeluknya. Tangisnya tumpah seketika.

            "Papaku An, dia memaksaku untuk melayaninya", suara Dara bergetar. Kemudian melepas pelukannya. Matanya nanar dan merah.

            "Astagfirullah" , Anindhita tercekat.

            "Dia iblis menjelma manusia". Tegas Dara.

            "Kak Dara melawan?" tanya Anin pelan.

            Dara mengangguk. "Aku cakar wajahnya".

            "Lalu???"

            "Lalu dia kesakitan, dan aku lari".

Anindhita melihat jemari  Dara yang memang dibiarkan kukunya panjang. Ia tak ingin lagi bertanya, takut dan bingung solusi apa yang bisa ia tawarkan untuk sahabatnya.

            "Dia bukan Papaku, An. Papaku sudah meninggal. Karena sejak Mama menikah lagi, aku kurang suka, dan aku sering bersikap kasar.  Barangkali itu yang membuat iblis itu melampiaskan kekesalannya atas sikapku". Dara menarik napas berat.

Anindhita semakin membisu. Suasana tak mampu menghadirkan akur dan lega, terasa berat dan tak mampu menolak untuk meredam luka.

Menangislah dan tenang setelahnya, Kak...

Dara menarik napas panjang...

            "Aku sebaiknya bagaimana, An...?"

            "Menurutku ada dua pilihan, Kak, yang pertama Kak Dara ngomong sama Mama tentang kelakuan Papa tiri Kak Dara, yang kedua Kak Dara lapor polisi, karena ini sudah tindakan kriminal Kak". Jawab Anin sambil menatap wajah Dara yang sembab. Ia belum pernah melihat wanita yang terlihat tomboi menjadi rapuh seperti ini.

Dara mengangguk. Entah dia setuju atau punya pilihan lain.

"Maaf ya, An, aku sudah merepotkan dan akhirnya kamu tahu tentang Papaku, padahal ini hal yang memalukan".

"Ceritalah Kak, barangkali itu bisa membuat lega". Kata Anin pelan.

"Kasihan Mama, tapi itu sudah pilihannya dan aku bisa apa". Dara mengusap airmatanya.

Semoga semua akan segera akur, tentang harapan, tentang sesuatu yang tak perlu dijelaskan...

                                                ***

Maret...dan air mata yang tumpah hanyalah caraNya untuk kita kembali menjahit sajadah iman yang terkoyak...

Bening memantulkan cahaya  kulacino di atas meja, masih teringat jemari Dara menulis kata A -- n --i -- n waktu itu...

            "Aku menyukaimu, An" suara Dara lirih setelah menulis kata Anin. Jemarinya perlahan menyentuh jemari Anin.

Anindhita terdiam. Kemudian ia berusaha membuat suasana santai.

            "Kak Dara sudah seperti kakakku sendiri". Jawab Anin gugup. lalu spontan menarik tangannya cepat.  

            "Aku nyaman ada di sini bersama kamu, An" . jemari dingin Dara menyentuh pipi Anin.  

            "Makasih, Kak, aku mau siapkan orderan dulu ya. " Anin segera mengalihkan perasaan emosional Dara, kemudian meninggalkan Dara.

Pikiran Anindhita tak menentu. Berkecamuk, tak menyangka bahwa Dara menyukai dirinya. Sosok wanita berkarakter laki-laki dan terkadang tidak sinkron dengan karakter cewek pada umumnya. tubuhnya menyandar pada dinding kamar , kemudian menyeka airmatanya.

Aah, Kak Dara, kenapa kamu jadi begini???

Anindhita menahan rasa takutnya.

                                                ***

Sepi...  tidak ada tempat yang ramai. Semua adalah kesepian yang menemukan bagiannya yang lain. dan semesta sedang berduka...

Sejatinya, tidak ada manusia yang benar-benar siap untuk mati. Tapi sebaiknya manusia, persiapkan untuk mati. Dan di hari akhir, kaki takkan bergeser sebelum ditanyai : tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan.

Sudah dua bulan masa pandemi menggerogoti wilayah kota Bandung. Bagai kota tak bertuan...tak ada jejak manusia berkeliaran ataupun berkerumun... tak ada lagi...

"setiap hari kematian bertambah jumlahnya,  lekas sembuh Indonesiaku". Airmata hangat sudah memenuhi pipi gadis yang merasa kesepian ini.

"Kemana perginya kamu Kak,..." batin Anindhiya sambil berusaha menghubungi lewat ponselnya. Sudah seringkali dirinya menelpon Dara namun selalu tidak aktif.

"Setiap orang hanya menunggu waktunya untuk pergi, An". Kata Dara waktu itu.

"Mau ke mana, Kak?" tanya Anindhita dengan tatapan sedih.

Dara hanya menatap bisu kemudian menyentuh pipi Anindhita. Lalu pergi.

Waktu kini terjeda dengan ketidakhadiran Dara. Sudah dua Minggu ia absen dari kafe Anindhita. Senandung sound track Crash Landing On You mengisi kekosongan bangku di sudut ruangan kafe berwarna oranye.

Dan pada masanya, setiap kita butuh sendiri, bukan karena sedih. Hanya untuk menyepi, untuk menyadari, setiap hati harus tahu diri.

Anindhita menutup pintu kafenya dan mengganti tulisan open menjadi close.

Senja tak mengajarkan hal yang sia-sia, cahaya yang hendak hilang di batas cakrawala adalah ucapan selamat tinggal paling manis.

                                                ***

"Pada bibirmu aku temukan ibu dari kata-kata. Dari wajahmu aku temukan lagu yang kugubah sesuai telingamu  . terimakasih ya An,,,      dari Dara. " Anin melipat kertas putih yang diberikan seorang anak kecil tadi pagi.

"Dari Kak Dara buat Kak Anin yang cantik", katanya sambil menyodorkan surat beramplop putih.

"Kamu adiknya Kak Dara?" tanya Anin sambil mengusap kepala gadis cilik di depannya.

Anak  itu mengangguk. Matanya berkaca-kaca.

"Kak Dara ke mana?"

Anak itu menggeleng.

"Terimakasih ya, salam buat Kak Dara kalau sudah pulang". Anin memeluk anak itu erat.

Anindhita menatap mendung lewat jendela kaca kafe.

Awan itu lupa bagaimana ia sebermula. Kadang berujud seperti gula kapas, elang, atau bayang-bayang yang bangun sendiri oleh pikiran. Anin meghela napas panjang, menerka keinginan yang berceceran di segala kesepian.

Pintu banyak tertutup dan kita terus diingatkan untuk menjaga jarak.

"Aku rindu bercerita, aku rindu kelanjutan kisah drama koreamu, aku rindu celotehmu yang menyamakan wajahmu dengan aktor tampan dari Negeri Gingseng,   Kak Dara...aku rindu suasana normal",Anin mendekap surat Dara yang sudah basah.

Anindhita mencari kunci motor dan masker  kemudian melaju perlahan. Menelusuri jalanan yang sepi. Hari ini hari yang berat untuk Anindhita. Tapi ia tidak tahu kalau di luar sana ada orang yang harinya jauh lebih berat.

Anindhiya berjalan lemas entah harus ke mana kakinya ia ayunkan. Ia memegang perutnya yang terasa lapar, tiba-tiba matanya tertuju pada sosok seseorang tergeletak di ujung jalan.

"Astafirulloh, ". Anindhiya terhenyak. Spontan ia berlari mendekati orang itu.

"Toloooong...". teriak Anin.

Anin terpekik. Ia sangat mengenali wajah orang itu. Orang yang selama ini ia cari. Lidahnya terasa kelu. Ia tak sanggup membendung air matanya. Tak berani untuk menyentuh tubuh sahabatnya. Karena kontak fisik dapat membahayakan dirinya. Ia masih tak percaya melihat sahabatnya terkapar di pinggir jalan.

"Kak Dara... bangun, Kak..." isak Anin sambil duduk di sebelah tubuh Dara. Ia tetap menahan agar tak menyentuhnya.

Beberapa orang datang mendekati tubuh Dara yang tergeletak. Masing-masing dari mereka tak ada yang berani menyentuh, mengingat wabah pandemi yang begitu bisa menyerang siapa saja.

"Barangkali dia terserang corona" , kata salah seorang warga yang ikut berkerumun.

"Coba hubungi rumah sakit".

"Eneng saudaranya?"

"Bukan pak, saya temannya, saya akan telepon rumah sakit". Jawab Anin panik. Tangannya masih gemetar, mencoba mengetik tombol kontak rumah sakit.

Segera Anin menghubungi tenaga medis di rumah sakit. Tak lama Ambulans berisi beberapa tenaga medis yang berpakaian APD lengkap mengangkat tubuh Dara dan membawanya ke Rumah Sakit.

Kekhawatiran, kesedihan, bahkan duka yang begitu pekat bergelayut di benak Anindhita.  Ia masih terpaku duduk di sudut kafe yang hening. Segelas  es thai tea menyisakan kulacino di atas meja. Jemarinya menuliskan kata d-a-r-a- pada kulacino yang masih tergenang. Dara berpulang...

Ketika itu di suatu senja...

"Bahagia itu mahal Anin,,,ia tidak akan datang pada orang yang hatinya ada hasad, dengki atau sejenisnya"...

Dalam perjalanan hidup, terkadang kita merasa diuji dengan sesuatu yang begitu berat, hingga yang kita lakukan hanyalah terduduk lalu menangisinya. Berbaik sangka saja, karena Dia terkadang menyapa hambaNya dengan ketidaksesuaian.

Setiap kita punya catatan. Masing-masing kita berhak mengisinya apa saja... "Selamat jalan Kak Dara... semoga diberi tempat terindah di sisiNya". Anindhita menutup jendela kafenya dan membiarkan kulacino itu mengering begitu saja...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun