Mohon tunggu...
Oktavia Putri Amelia
Oktavia Putri Amelia Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Hi there :)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sebuah Politik Pencitraan

7 Desember 2019   11:16 Diperbarui: 7 Desember 2019   11:25 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk mencapai itu, karena tidak adanya bekal kredibilitas, kapabilitas, dan integritas yang dimiliki, maka yang ditawarkan oleh para pengagum politik pencitraan adalah dengan memperdagangkan dirinya. Mereka bersolek ria untuk mempercantik diri dengan memperindah kemasan-kemasan luar dari dagangnya, tetapi melupakan isi utama di dalam kemasan-kemasan tersebut."

Sebagai contoh politik pencitraan yaitu pada saat kampenya pemilihan presiden pada pilpres 2019, masing-masing kubu memainkan citra dan simbol dengan cara membentuk persepsi publik tentang sosok Jokowi maupun Prabowo.

Dari Timses Jokowi mencitrakan bahwa Jokowi adalah sosok yang lahir dari keluarga yang sederhana, memiliki pengalaman menjabat sebagai Walikota dan Gubernur yang artinya sudah ada keberhasilan dalam memimpin. Sedangkan dari Timses Prabowo mencitrakan sebagai sosok yang lahir dalam keluarga yang sudah terkait dengan dinasti politik era sebelumnya dan pernah menjabat sebagai perwira militer yang dianggap masyarakat banyak sebagai sosok yang berwibawa dan tegas sehingga mampu untuk menyelesaikan masalah-masalah di Indonesia.

Seperti dikutip dari The Huffington Post, secara alamiah, politik adalah tentang strategi, dengan mengetahui apa yang harus dikatakan, dengan cara apa, dan kepada siapa. Semua hal tersebut merupakan bagian strategi politik untuk mendapatkan dukungan bahkan memperebutkan suara dari rakyat Indonesia yang jumlahnya kurang lebih  269 juta jiwa. Dalam Al-Quran pun dijelaskan pada (QS. At-Taubah [9] : 105) yang  berbunyi :
           
"Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan apa yang telah kamu kerjakan". (QR. At-Taubah [9]: 105)
Dalam hadis Rasulullah shallahu'alaihi wasallam bersabda :

"Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak tidak mencurahkan kesetiaanya, maka Allah haramkan baginya surga". (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, kita sebagai generasi millenial harus paham mengenai strategi citra para elit politik agar ke depannya kita dapat memilih pemimpin secara objektif yang tujuannya mengedepankan cita-cita rakyat indonesia.

Kita sebagai generasi millenial harus cermat dalam menilai sosok pemimpin yang akan kita pilih karena pemimpin yang akan kita pilih adalah pemimpin yang bertanggung jawab bukan hanya terhadap negara atau pemerintahan saja tetapi bertanggung jawab terhadap seluruh kesejahteraan semua rakyat Indonesia.

Pemimpin yang kita butuhkan bukan hanya soal citra yang baik saja tetapi ada prestasi tersebut yang lahir dari kesungguhan, totalitas pengabdian, dan kerja keras serta kerja nyata. Kita sebagai generasi millenial pun jangan mudah untuk menerima isu-isu dan citra yang baik tanpa tahu latar belakang calon pemimpin yang akan kita pilih serta jangan mau untuk dijadikan alat dan dimanfaatkan oleh para elit politik.

Dampak dari politik pencitraan akan melahirkan efek-efek negatif. Menurut Coen Husain Pontoh, manakala politik citra telah menjadi keyakinan (gairah dan tujuan) berpolitik dalam masyarakat, maka yang terjadi adalah kecenderungannya untuk menampilkan hal-hal yang bersifat fenomenal dan permukaan sebagai hal yang utama ketimbang hal-hal yang bersifat substansial dan struktural.

Politik pencitraan juga melahirkan budaya tidak kritis kepada publik sehingga publik dididik untuk lebih memilih orang bukan karena kesesuaian dengan kualifikasi, tapi jutru karena aspek kekeluargaan, kedekatan, pesonanya wibawanya ataupun penampilannya. Jika hal ini terus terjadi pada publik maka hal yang terjadi besar kemungkinan negara tidak akan maju dan demokrasi di Indonesia tidak berjalan dengan semestinya.

*Penulis adalah mahasiswa semester 1, Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNTIRTA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun