Mohon tunggu...
Oktavia Putri Amelia
Oktavia Putri Amelia Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Hi there :)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sebuah Politik Pencitraan

7 Desember 2019   11:16 Diperbarui: 7 Desember 2019   11:25 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Oktavia Putri Amelia

Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi yaitu dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Politik dalam berdemokrasi memberikan ruang bagi siapa saja untuk terlibat dalam mengambil suatu kekuasaan.

Pernyataan tersebut terdapat pada ketentuan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, dinyatakan bahwa : "Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan." Dalam hal ini pemilu menjadi suatu instrumen untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki kualifikasi yang terbaik, yang bisa mengemban amanah terhadap masyarakat.

Kepemimpinan merupakan salah satu wacana penting yang selalu dibicarakan dalam kaitan dengan hampir segala aspek kehidupan manusia. (Menurut Hendra Bagus Y), Pemimpin harus bisa menjaga nilai-nilai universal yang ada di masyarakat (aspek ideologi), memiliki moralitas universal (aspek moral) serta memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memimpin serta mengelola sumber daya di masyarakat (aspek kemampuan). Hanya melalui 3 hal tersebut ideologi, moral, dan kemampuan pemimpin cita-cita dari masyarakat bisa terealisasi.  

Dalam pemilu di Indonesia, para elit politik biasanya berlomba-lomba untuk mendapatkan suara terbanyak dari masyarakat dengan tujuan mendapatkan kursi jabatan baik di pemerintahan daerah maupun pemerintahan pusat.

Hal ini membuat para elit politik melakukan berbagai macam cara salah satunya citra politik untuk mewujudkan tujuan-tujuan politiknya melalui pembangunan citra-citra tertentu mengenai dirinya. Citra yang dimunculkan adalah sesuatu yang memang sengaja dibangun oleh para elit politik.

Untuk membangun citra yang baik, para elit politik tidak terlepas dari yang namanya peran media massa dalam komunikasi politik baik itu di surat kabar, majalah, ataupun televisi dalam mengenalkan dan mempersuasi masyarakat.

Komunikasi politik yang berlangsung biasanya diwarnai dengan beragam bentuk komunikasi verbal maupun nonverbal, seperti pada kampanye pemilu atau pilkada selama ini. Bentuk komunikasi nonverbal berupa pemasangan baliho atau spanduk yang menampilkan dan mendeskripsikan dirinya dengan jargon terbaiknya yang tidak lupa juga dengan wajah senyum ramahnya dan gelar yang berderet agar citra yang ditunjukkan kepada masyarakat seolah-olah profesional dan memiliki elektabilitas sebagai pemimpin.

Istilah "pencitraan" adalah proses, cara membentuk citra mental pribadi atau gambaran sesuatu. Pencitraan juga berarti penggambaran. Menurut KBBI, istilah citra diartikan sebagai : 1) rupa, gambar, gambaran ; 2) gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk ; 3) kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya dan puji, sehingga dapat dikatakan bahwa pencitraan merujuk kepada gambaran atas suatu realitas.

Dalam konteks proses pencitraan, komunikasi politik dapat dianggap sebagai upaya untuk menciptakan citra yang paling dapat diterima oleh masyarakat sebagai pemilih.

(Menurut Tajussyarofi) dalam mendeskripsikan politik citra sebagai berikut : "Logika sederhananya adalah bahwa di dalam memenangkan ajang kontestasi politik, syarat utamanya adalah dapat merebut banyak suara dari publik.

Untuk mencapai itu, karena tidak adanya bekal kredibilitas, kapabilitas, dan integritas yang dimiliki, maka yang ditawarkan oleh para pengagum politik pencitraan adalah dengan memperdagangkan dirinya. Mereka bersolek ria untuk mempercantik diri dengan memperindah kemasan-kemasan luar dari dagangnya, tetapi melupakan isi utama di dalam kemasan-kemasan tersebut."

Sebagai contoh politik pencitraan yaitu pada saat kampenya pemilihan presiden pada pilpres 2019, masing-masing kubu memainkan citra dan simbol dengan cara membentuk persepsi publik tentang sosok Jokowi maupun Prabowo.

Dari Timses Jokowi mencitrakan bahwa Jokowi adalah sosok yang lahir dari keluarga yang sederhana, memiliki pengalaman menjabat sebagai Walikota dan Gubernur yang artinya sudah ada keberhasilan dalam memimpin. Sedangkan dari Timses Prabowo mencitrakan sebagai sosok yang lahir dalam keluarga yang sudah terkait dengan dinasti politik era sebelumnya dan pernah menjabat sebagai perwira militer yang dianggap masyarakat banyak sebagai sosok yang berwibawa dan tegas sehingga mampu untuk menyelesaikan masalah-masalah di Indonesia.

Seperti dikutip dari The Huffington Post, secara alamiah, politik adalah tentang strategi, dengan mengetahui apa yang harus dikatakan, dengan cara apa, dan kepada siapa. Semua hal tersebut merupakan bagian strategi politik untuk mendapatkan dukungan bahkan memperebutkan suara dari rakyat Indonesia yang jumlahnya kurang lebih  269 juta jiwa. Dalam Al-Quran pun dijelaskan pada (QS. At-Taubah [9] : 105) yang  berbunyi :
           
"Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan apa yang telah kamu kerjakan". (QR. At-Taubah [9]: 105)
Dalam hadis Rasulullah shallahu'alaihi wasallam bersabda :

"Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak tidak mencurahkan kesetiaanya, maka Allah haramkan baginya surga". (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, kita sebagai generasi millenial harus paham mengenai strategi citra para elit politik agar ke depannya kita dapat memilih pemimpin secara objektif yang tujuannya mengedepankan cita-cita rakyat indonesia.

Kita sebagai generasi millenial harus cermat dalam menilai sosok pemimpin yang akan kita pilih karena pemimpin yang akan kita pilih adalah pemimpin yang bertanggung jawab bukan hanya terhadap negara atau pemerintahan saja tetapi bertanggung jawab terhadap seluruh kesejahteraan semua rakyat Indonesia.

Pemimpin yang kita butuhkan bukan hanya soal citra yang baik saja tetapi ada prestasi tersebut yang lahir dari kesungguhan, totalitas pengabdian, dan kerja keras serta kerja nyata. Kita sebagai generasi millenial pun jangan mudah untuk menerima isu-isu dan citra yang baik tanpa tahu latar belakang calon pemimpin yang akan kita pilih serta jangan mau untuk dijadikan alat dan dimanfaatkan oleh para elit politik.

Dampak dari politik pencitraan akan melahirkan efek-efek negatif. Menurut Coen Husain Pontoh, manakala politik citra telah menjadi keyakinan (gairah dan tujuan) berpolitik dalam masyarakat, maka yang terjadi adalah kecenderungannya untuk menampilkan hal-hal yang bersifat fenomenal dan permukaan sebagai hal yang utama ketimbang hal-hal yang bersifat substansial dan struktural.

Politik pencitraan juga melahirkan budaya tidak kritis kepada publik sehingga publik dididik untuk lebih memilih orang bukan karena kesesuaian dengan kualifikasi, tapi jutru karena aspek kekeluargaan, kedekatan, pesonanya wibawanya ataupun penampilannya. Jika hal ini terus terjadi pada publik maka hal yang terjadi besar kemungkinan negara tidak akan maju dan demokrasi di Indonesia tidak berjalan dengan semestinya.

*Penulis adalah mahasiswa semester 1, Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNTIRTA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun