Apabila pemerintah tidak menemukan jalan keluar dari masalah mereka seperti soal air, rakyat akan berteriak bahwa pemerintah tidak memperhatikan rakyatnya.
Ini adalah paradoks yang terjadi antara pemerintah dan rakyat. Heran dengan pertentangan yang ada. Kita sibuk mengurus hal-hal yang tidak perlu. Kita sibuk bertengkar. Sementara waktu terus berjalan.
Kapan kita bisa mengejar ketertinggalan dari bangsa lain? Mereka terus berlari sedangkan kita sibuk saling adu jotos.
Okelah, masalah sudah ada di depan mata. Kini bagaimana kita menyelesaikannya.
Masalah masyarakat dengan aparat yang berjaga di tempat kejadian diangkat seolah-olah rakyat selalu benar. Ada kisah dari seorang anak muda seperti dilansir dari Kompas.com yang menceritakan tentang dirinya dikejar dengan anjing polisi hingga ke dalam hutan.
Kita kadang selalu menuntut sesuatu yang lebih dari petugas keamanan kita baik polisi maupun TNI.
Dengan dalih, mereka adalah pelindung rakyat maka mereka harus diam meskipun rakyat memaki atau melempar mereka. Padahal, mereka juga adalah manusia sama seperti rakyat kebanyakan.
Mereka memiliki rasa marah yang kalau dipancing akan keluar. Ketika diprovokasi pasti mereka akan marah.
Kita rakyat menuntut agar mereka ramah terhadap kita. Sementara kita sendiri tidak ramah terhadap mereka.
Biasanya, kalau ada api pasti ada asap. Ada reaksi maka ada aksi. Kadang-kadang sebagai pengamat kita tidak pernah menilai suatu masalah secara fair. Kecenderungan subyektif kita terlalu tinggi tanpa memasukan penilaian yang obyektif.
Bisa juga kita memberikan penilaian berdasarkan apa yang kita dengar dari sumber-sumber yang tidak jelas. Atau hanya mendengar dari satu pihak saja.
Banyak kegaduhan tercipta karena hal-hal sepeleh seperti ini.
Kita selalu menempatkan yang lemah di posisi korban tanpa tahu secara pasti kejadian sebenarnya di lapangan.
Penilaian kita sering berat sebelah dan tidak adil.
Sebagai rakyat kadangkala mudah terprovokasi dengan segelintir orang yang ingin menjatuhkan pemerintah lewat hasutan mereka.