Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kitorang dan Minyak Tanah

30 Oktober 2020   02:35 Diperbarui: 30 Oktober 2020   16:49 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi warga antre minyak tanah| Sumber: Kompas.com/Megandika

Suatu sore, gas elpiji lima kilogram yang biasa dipakai masak untuk anak kosan habis. Sore itu pula, kami memesan kepada penjual yang rumahnya tak jauh dari kosan. 

Setelah sampai, sang penjual saya minta untuk mengganti atau memasang. "Pak minta tolong dipasang."

"Mas tidak biasa pasang sendiri," tanya ia keheranan.

"Tidak pak, saya tidak tau. di daerah kami rata-rata menggunakan kompor," ujarku.

Sambil keheranan ia memasang. Mungkin ia membayangkan sesuatu. Dalam proses pemasangan itu, saya lari bersembunyi di kamar dan dua teman lain cekikan karena tahu dasar saya lari.

Pada kesempatan lain, sang kawan memasang. Setelah selesai, ia menyuruh saya untuk menyalahkan kompor. Tapi dengan dalil dan alasan apapun saya tak mau. 

"Loh tinggal di putar loh, takut amat," kesalnya.

"Bukan gitu mas. Kalo meledak gimana?" tangkisku membela diri.

"Gak bakalan meledak bang, ini yang penting selang dan karet serta tidak bocor aja," jawabnya menjelaskan.

"Ya gimana, di daerah kami tak pernah pakai gas elpiji. Taunya, nyalin minyak tanah. Mutar ke atas, dah bakar. Jadi deh. Lagi pula minset kami sudah terkonstruk lewat media. Dulu awal-awal penggunaan gas elpiji secara masif diberitakan ledakan di mana-mana. Karena hal itu, orang pada takut menggunakan gas elpiji," jelasku.

"Berarti tak ada yang pakai gas elpiji?" tanyanya.

"Ada yang pakai. Tapi kebanyakan yang pakai mereka dari luar daerah. Terus di hotel pakai. Kalau persentasenya satu Malut sih ya paling 10-15 persen. tidak banyak," jawabku.

"Oalah pantasan takut bang," ujarnya kemudian.

Dari penjelasan itu, maka pada waktu-waktu berikutnya mereka justru menjadikan saya sebagai bahan bullyan. Ketika gas elpiji bermasalah disitulah kejahilan dilancarkan.

Sumber. Kumparan.com
Sumber. Kumparan.com
Kejadian ini hanyalah beberapa kejadian yang terjadi dan kadang menjadi lucu. Teman-teman lain pun bernasib sama. Sama-sama takut meledak. wkwkwk

Terbilang udik, bisa juga tapi tidak serta-merta pelabelan langsung diberikan tanpa melihat dasar kenapa orang timur takut memasang gas elpiji. 

Hal itu lantaran masyarakat masih menggunakan kompor sebagai alat masak utama. Kompor bermerek Hock menghiasi dapur-dapur masyarakat. Dan tentu saja, untuk menyalahkan kompor dibutuhkan minyak tanah. Ya minyak tanah, barang langkah penting.

Tak ada minyak tanah, ibu-ibu bakal pusing tak bisa masak. Minimal dalam sebulan harus ada 25 -50 liter tersedia di dapur. Jika sudah tersedia, mereka tak akan ngamuk-ngamuk dan menyuruh anak-anaknya mencari minyak tanah keliling kota sambil ngomel-ngomel.

Beruntungnya di Maluku Utara, khususnya Kota Ternate, baik pemeritah pusat dan pemerintah daerah mengalokasikan minyak tanah ke setiap kelurahan. Minyak tanah yang disalurkan merupakan program subsidi kelas menengah kebawa. 

Berdasarkan data alokasi BBM jenis minyak tanah di Indonesia, Pertamina mengalokasikan minyak tanah hampir ke 513 Kabupaten di Indonesia. Dengan target realisasi sebesar 337.701 (KL) dan baru terealisasi sesuai data yang ada sebesar (218.213 KL). Sementara target realisasi minyak tanah di Maluku Utara mencapai 70.883 (KL) dan baru terealisasi per September 2020 sebesar 48.325 (KL). (Sumber: Pertamina)

Tentu saja subsidi energi ini memberikan beban keuangan kepada negara. Pada tahun 2020 saja, realisasi anggaran untuk energi bahkan dikurangi. Minyak tanah dari 0.61 juta KL turun menjadi 0.56 KL dengan total anggaran subsudi mencapai 19.935 T. (2)

Program pemerintah mungkin sangat gencar dilakukan di Indonesia untuk menggunakan elpiji. Namun, di timur sosialisasi pemakaian tersebut masih sangat minim. Permintaan tertinggi tetap saja minyak tanah. 

Hal ini karena mindset dàn budaya yang tertanam sejak lama. Ketergantungan tinggi terhadap minyak tanah menyebabkan sering terjadi kelangkaan. Apalagi jika dilakukan penimbunan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. 

Selain itu, dari segi pengeluaran. Minyak tanah lebih dominan. Bayangkan saat ini harga dasar minyak tanah non subsidi sebesar 11.770 (Pertamina). Dengan asumsi tidak terjadi kenaikan di pihak pengecer maka jika dalam sebulan dapat dikonsumsi sebesar 25 liter maka biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 294 ribu. Tentu dalam sebulan bisa dilakukan pembelian sebanyak 2-3 kali. 

Sementara minyak subsidi dibanderol dengan harga 5000-5500 rupiah. Yang unik ialah, volume minyak tanah bersubsidi dihitung berdasarkan jumlah anggota keluarga. Satu orang, lima liter. Jika dalam satu keluarga terdapat 5 anak maka jatah ia dalam keluarga ialah 25 liter. 

Data-data tersebut sudah dimiliki oleh pihak kelurahan dan penyalur. Untuk mengambil minyak tanah saat penyaluran diwajibkan membawa kartu khusus yang bakal ditandatangani.

Dalam penyalurannya kadang tidak sesuai. Keluarga-keluarga kategori mampu tak jarang ikut mendapat jatah.

**

Kitorang (Kami) dan minyak tanah

Dalam sebulan sekali, ibu-ibu sudah resah karena stok minyak tanah di dapur menipis. Jeriken-jeriken tampak kosong tersebut sudah saatnya memiliki isi. 

Pada awal bulan atau mendekati pertengahan, mereka biasanya sudah mengingatkan para anak-anak agar mendengarkan informasi penyaluran minyak tanah. Jika tidak, sudah pasti jatah bulan ini tak diterima. 

Beruntungnya setiap kali ada informasi penyaluran dari kelurahan, masyarakat selalu menyampaikan secara door to door dan dari mulut ke mulut dengan sukarela. Bahkan tak jarang saling membantu mengambil minyak tanah si tuan rumah jika anak-anak mereka sedang tidak berada di tempat.

Pengumuman biasa dilakukan pagi hari. Kadang disampaikan ke Ketua RT atau dikumandangkan di toa masjid. Jika sudah begitu, jangan sekali-kali membuat agenda. Anak-anak harus stay kalau tak mau kena marah.

Pukul tiga sore hari, tempat penyaluran minyak tanah biasanya sudah ramai. Walaupun belum ada petugas. Mereka menaruh jeriken-jeriken terlebih dahulu agar bisa pulang lebih awal. 

Jeriken baik ukuran 25 liter hingga 5 liter dijejerkan secara teratur. Uniknya, walaupun banyaknya jeriken tapi tak ada satupun yang tertukar. Hal itu dibedakan berdasarkan nama atau tali rafia yang diikat ke gagang jeriken. 

Barulah pada pukul empat sore, proses penyaluran dimulai. Lokasi penyaluran tentu saja ramai. Sambil menunggu masyarakat biasanya mengisi waktu dengan mengobrol atau bersapa satu dengan yang lain. Apalagi yang jarang ketemu karena kesibukan masing-masing. 

Satu demi satu jeriken diisi sesuai jumlah keluarga yang terdata dan tercatat. Setiap selesai, kartu tersebut ditandatangani petugas. Kegiatan ini biasa berlangsung satu sampai satu setengah jam.

Pelajaran dalam kegiatan ini yakni saling tolong menolong. Biasanya para orang tua didahulukan. Selain itu, jeriken milik warga yang sudah terisi penuh dengan sukarela diantar oleh anak-anak atau warga yang datang membawa kendaraan tanpa meminta bayaran.

Tak jarang saya menemukan bahwa warga yang kekurangan uang juga sering dibantu oleh warga lain tanpa pamrih. Apalagi mereka yang benar-benar dari ekonomi lemah.

Jika ada salah satu warga yang tak datang, terutama bagi keluarga yang tak mampu, maka warga dan petugas sudah mengetahui apa sebabnya. Insiatif dilakukan untuk membantu. 

Biasanya setelah pengukuran, petugas dan warga patungan dan mengantar langsung minyak tanah tersebut ke rumah. Sungguh pelajaran yang sangat bernilai. Bahwa saling menolong tidaklah berat. Kita hanya perlu sedikit membuka hati.

Selama beberapa tahun penyaluran BBM subsidi terutama minyak tanah di Kota Ternate terus berjalan. Tetapi di daerah lain, kadang terjadi 2 bulan sekali. Hal ini karena akses dan fasilitas semisal Pertamina belum tersebar secara merata dan hanya mengandalkan para agen yang kadang menaikan harga guna mengambil keuntungan pribadi.

Di desa-desa terpencil kayu bakar menjadi alternatif dan pilihan utama jika tidak mendapatkan minyak tanah. 

Terima Kasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun