Mohon tunggu...
Ogidzatul Azis Sueb
Ogidzatul Azis Sueb Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Every expert started from a beginner

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Anehnya Peraturan Terkait Transportasi Umum di Yogyakarta: Bentor yang Jelas Kendaraan Krisis Identitas di Pelihara, Sedangkan Bajaj Maxride Dilarang!

23 Juni 2025   04:51 Diperbarui: 23 Juni 2025   04:51 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bajaj Maxride dilarang Mengaspal di Yogyakarta (Sumber: maxride.net)

Yogyakarta - kota budaya, kota pelajar, dan mungkin sebentar lagi kalau tidak hati-hati akan menjadi kota kendaraan roda tiga tanpa hukum. Belakangan ini, publik dibuat heboh dengan kehadiran transportasi baru bernama Bajaj Maxride, kendaraan roda tiga yang tampil bak selebriti di tengah jalanan Jogja: dicibir, ditolak, tapi tetap jalan. Sementara itu, di sudut Malioboro yang tenang, ada sang sepupu jauh bernama Bentor. Si kendaraan nyeleneh dibilang becak bukan, disebut motor tak pantas, tapi bisa mengangkut penumpang seperti pahlawan tanpa tanda jasa.

Pertanyaannya sederhana: Kenapa Bajaj Maxride diusir, tapi Bentor dibiarkan?

Bajaj Maxride: Canggih, Online, tapi Salah Kasta

Bajaj Maxride datang dengan semangat digital, berbasis aplikasi dan tampil menawan, lebih modern dari suara mesin bajaj zaman dulu yang bunyinya mirip teko mendidih. Ia hadir membawa harapan mobilitas baru bagi masyarakat Yogyakarta, apalagi di tengah kemacetan dan keterbatasan angkutan umum.

Tapi sayangnya, harapan itu langsung tertabrak oleh Permenhub No. 118 Tahun 2018 dan Permenhub No. 12 Tahun 2019. Bajaj Maxride dianggap tidak sah menjadi taksi online karena kapasitas mesinnya hanya 200 cc. Tidak juga bisa dikategorikan sebagai ojek online, karena ia memiliki "rumah-rumah" alias bodi tertutup dan peraturan bilang, ojek online roda tiga itu harus tanpa rumah, seperti rumah tangga yang baru saja dihempas badai.

Jadi, Maxride dilarang beroperasi. Bukan karena berbahaya. Bukan karena menimbulkan kerugian publik. Tapi karena ia tidak masuk kotak regulasi. Sayang sekali. Mungkin kalau dia menyamar jadi delman digital, nasibnya akan lebih baik.

Bentor: Simbol Kearifan Lokal atau Kearifan Tak Tertulis?

Sementara itu, mari kita tengok Bentor yang manis-manis misterius itu. Penampilannya tidak kalah eksotis: becak di depan, motor di belakang, dan antara keduanya tidak ada kepastian hukum. Kadang ada lampu, kadang tidak. Spion? Itu aksesori, bukan kewajiban. Helm? Tergantung mood tukang nya. Parkir? Sesukanya, asal dekat spot foto Instagramable Malioboro.

Bentor tidak menggunakan aplikasi. Tidak punya sistem pemesanan daring. Tidak terdaftar dalam database apa pun, kecuali mungkin dalam hati para turis yang ingin merasakan sensasi "naik becak tapi ngebut".

Tapi tunggu, regulasinya mana? Izinnya bagaimana? Di mana Permenhub yang mengatur kendaraan separuh tradisi separuh modifikasi ini? Apakah Bentor diberikan surat sakti dari Keraton? Atau mungkin dia bagian dari entitas mistis yang tak bisa disentuh hukum?

Jika Bajaj Maxride harus tunduk pada aturan karena dianggap ilegal, mengapa Bentor bisa terus beroperasi di pusat kota, bahkan di area semewah Malioboro? Apakah karena dia "sudah lama di sini?" Atau karena kita menganggapnya lucu dan ikonik?

Logika Tiga Roda yang Pincang

Lucu memang. Satu kendaraan dilarang karena tidak sesuai kapasitas mesin dan bentuk bodi. Satunya lagi bebas berkeliaran meski tidak jelas darimana asal-usul izin operasionalnya.
Bayangkan ini: Maxride, meski modern dan berkonsep digital, malah ditolak. Sedangkan Bentor, yang bahkan tidak memenuhi standar minimal keselamatan, tetap eksis seperti tak tersentuh. Seolah-olah di Yogyakarta berlaku aturan tidak tertulis: "Kalau kamu baru dan rapi, kamu ilegal. Kalau kamu lama dan acak-acakan, kamu dimaafkan."

Jangan heran kalau suatu hari ada kendaraan roda tiga lain muncul, setengah becak setengah skateboard, lalu dibiarkan saja karena dianggap "unik dan lokal".

Transparansi, Jangan Hanya untuk Wisata

Pemerintah DIY melalui akun @humasjogja memang telah menjelaskan dengan rinci alasan pelarangan Bajaj Maxride. Mengutip aturan perundangan, berbicara soal izin operasional, menyebutkan pentingnya TNKB kuning, serta mengingatkan pentingnya keamanan dan keselamatan. Semua terdengar sah dan masuk akal.

Tapi sayangnya, penjelasan yang panjang lebar itu tidak berlaku merata. Karena jika kita berpatokan pada regulasi yang sama, maka Bentor semestinya sudah diparkir permanen di museum, bukan di sepanjang jalan Malioboro yang sesak penuh wisatawan.

Kalau kita serius bicara tentang legalitas, berlaku adillah terhadap semua moda transportasi. Jangan cuma tegas pada yang baru datang, sementara yang sudah lama berkeliaran dibiarkan seperti hantu jalanan.

Solusi atau Sekadar Sensasi?

Apa solusi dari semua ini? Sederhana.

  • Evaluasi ulang regulasi kendaraan roda tiga. Dunia terus berubah. Mungkin sudah waktunya aturan itu menyesuaikan dengan realitas transportasi saat ini, bukan sebaliknya.
  • Audit total terhadap operasional Bentor. Jika memang tidak memenuhi kriteria sebagai angkutan umum, maka harus ada penertiban. Jika dianggap layak dan dibutuhkan, maka berikan regulasi resmi.
  • Buka ruang dialog. Pemerintah tidak bisa terus-terusan bertindak satu arah. Libatkan operator transportasi, pakar transportasi, bahkan komunitas masyarakat untuk merumuskan kebijakan yang adil dan aplikatif.
  • Jangan takut terhadap inovasi. Dunia sudah serba digital. Jika ada transportasi baru berbasis aplikasi dan memenuhi kebutuhan masyarakat, mestinya didukung selama memenuhi aspek keselamatan dan tata kelola yang baik.

Yogyakarta Bukan Negeri Dongeng

Yogyakarta bukan negeri dongeng di mana aturan hanya berlaku untuk orang asing. Ia adalah kota yang tumbuh, berubah, dan semestinya siap menerima inovasi, selama itu untuk kebaikan bersama.

Bajaj Maxride dan Bentor hanyalah simbol dari masalah besar yang sering terjadi di negeri ini: aturan yang tidak merata, penegakan yang tebang pilih, dan resistensi terhadap perubahan. Jika kita tidak segera berbenah, maka jangan salahkan siapa-siapa jika suatu saat nanti, jalan-jalan kita dipenuhi kendaraan eksperimental tanpa arah dan tanpa aturan.

Pada akhirnya, kita akan menyadari satu hal: bahwa yang lebih berbahaya dari kendaraan ilegal adalah kebijakan yang tidak adil!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun