Mohon tunggu...
Ody Dwicahyo
Ody Dwicahyo Mohon Tunggu... Sejarawan - Konsul Kehormatan Republik Indonesia untuk Zootopia

Konsul Kehormatan Republik Indonesia untuk Zootopia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bakteri dan Kecamuk Revolusi: Rapat Menculik Petinggi di Laboratorium Bakteriologi

25 Maret 2020   06:21 Diperbarui: 25 Maret 2020   07:03 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang laboran bumiputera, Raden Mas Korantil yang bekerja pada Eijkman Instituut. Ca. Tahun 1929. Sumber: Koleksi Tropenmuseum.

"Kita melawan musuh yang tak tampak!" ujar dr. Aman Bhakti Pulungan, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia, dengan nada tinggi kepada Najwa Shihab dalam suatu sesi wawancara jarak jauh. Kala itu Najwa mewawancarai dr. Aman berkaitan dengan Covid-19 atau Corona, virus yang menjadi pandemik global dan telah membunuh ribuan nyawa manusia. Analogi dr. Aman tentang perlawanan terhadap Covid-19 sebagai peperangan tidaklah berlebihan. Virus, bakteri, dan elemen mikroskopik lainnya memang bergerak seperti senjata mematikan.

Tujuh dekade sebelum "perang" terhadap Covid-19 dimulai, bakteri dan bakteriologi telah memiliki tempat di dalam sejarah perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan di Indonesia. Bagaimana bisa? Bukankah sejarah, seperti definisi formalnya adalah cerita tentang manusia? Bukan hewan, tumbuhan, apalagi bakteri? 

Trilogi yang saya beri judul: Bakteri, Bakteriologi, dan Revolusi ini akan meringkas petite histoire (sejarah kecil) ketika proses memerdekakan Indonesia harus "bersinggungan" dengan benda-benda mikroskopik tersebut, dalam hal ini adalah bakteri. Tulisan ini adalah bagian pertama yang ditulis pada masa karantina diri, 12 hari setelah wabah Covid-19 dinyatakan sebagai kondisi darurat di Belanda.

Rapat Menculik Petinggi di Laboratorium Bakteriologi  

Cerita di seputar persiapan, pelaksanaan, dan dampak dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 selalu mendapat porsi yang besar di dalam buku sejarah yang digunakan oleh sekolah-sekolah di Indonesia. 

Dari sekian banyak detil yang harus saya hafalkan, satu hal yang tak pernah lepas dari ingatan saya adalah pelaksanaan rapat antar golongan muda yang dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi. Para hadirin yang hadir di rapat ini kemudian sepakat untuk menculik Soekarno dan Hatta dalam rangka menekan sang dwitunggal untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.

Dalam berbagai tulisan mengenai peristiwa di sekitar Proklamasi, rapat di atas selalu disebut secara sangat singkat. Umumnya hanya diungkapkan tanggal, hadirin, dan keputusan yang diambil dari rapat tersebut. 

Berkenaan dengan tidak signifikannya konteks pemilihan Laboratorium Bakteriologi dengan pelaksanaan Proklamasi, belum ada tulisan yang didedikasikan untuk memahami pemilihan tempat rapat yang sangat unik ini. 

Kemudian, sedikitnya ruang yang diberikan untuk mengulas peristiwa ini membuat banyak data menjadi simpang siur. Mulai dari nama gedung ini ketika dipakai untuk rapat, alamat, hingga posisi tepat pelaksanaan rapat. Apalagi dibalik pemilihan gedung ini sebagai tempat rapat para pemuda.

Mayoritas tulisan yang memuat peristiwa ini sebagai sebuah rangkaian dari peristiwa pra-proklamasi menyebut lokasi ini sebagai Laboratorium Bakteriologi. 

Sebuah liputan khusus CNN Indonesia menyebut bahwa pada 1945, laboratorium ini bernama Laboratorium Bakteriologi Eijkman Instituut yang mereka terjemahkan dari Bacteriologisch Eijkman Instituut.[i] 

Hal ini cukup janggal mengingat Eijkman Instituut (nama lengkap dari institusi ini adalah Eijkman Instituut van de Dienst door de Volksgezondheid) sejak didirikan pada 1888 dengan nama Laboratorium Pathologie en Bacteriologie menempati sebuah gedung di Jalan Pangeran Diponegoro 69.[ii] Sebelum bernama Jalan Pangeran Diponegoro, sebuah iklan di tahun 1941 menunjukkan bahwa Lembaga Eijkman beralamat di Oranjeboulevard dengan nomor bangunan yang sama.[iii] 

Gedung Eijkman Instituut di Oranjeboulevard (sekarang Jl. Diponegoro) No. 69. Ca. Tahun 1939. Koleksi Tropenmuseum
Gedung Eijkman Instituut di Oranjeboulevard (sekarang Jl. Diponegoro) No. 69. Ca. Tahun 1939. Koleksi Tropenmuseum

Kemungkinan besar, ketika dijadikan tempat rapat oleh para golongan muda, laboratorium Bakteriologi tersebut bernama Het Koningen Wilhelmina Institut Voor Hygiene en Bacteriologie yang didirikan pada tahun 1931. Pendirian institut ini digagas oleh sebuah yayasan (stichting) yang bertugas untuk merayakan ulang tahun penobatan Ratu Wilhelmina yang ke-33.

Dalam publikasi cetak biru pembangunan institut ini yang dimuat oleh Indisch Bouwkundig Tijdschrift, disebutkan bahwa institut ini kemudian akan beroperasi di bawah Geneeskundige Hoogeschool atau Sekolah Tinggi Kedokteran Batavia yang kemudian menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 

Selain itu, institut ini beralamat di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 15, Batavia Pusat.[iv] Hal ini diperkuat dengan data yang disajikan oleh Toeti Kakiailatu dalam biografi B.M. Diah: Wartawan Serba Bisa yang menyebut bahwa rapat golongan pemuda tersebut dihadiri oleh delegasi dari Asrama Menteng Raya 31, Asrama Prapatan 103, dan Kelompok Laboratorium Biologi Wilhelmina.[v] Nama dari kelompok yang terakhir berkaitan dengan nama dari institut yang telah disebutkan di atas. 

Mengacu pada cetak biru Institut Wilhelmina, saat ini gedung institut tersebut sudah tidak utuh. Pegangsaan Timur 15 hari ini telah dijadikan apartemen dan pusat perbelanjaan Menteng Prada dengan gedung yang sama sekali baru. 

Sementara itu, Pegangsaan Timur 16 dan 17 saat ini merupakan kantor Bagian Mikrobiologi, Kedokteran Komunitas, dan DIII Keperawatan Universitas Indonesia dan Universitas Bung Karno. Kedua lokasi ini masih menempati gedung tua yang bentuknya mirip dengan gambar pada cetak biru Institut Wilhelmina. 

Berbagai tulisan yang menyebutkan rapat pemuda di Laboratorium Bakteriologi sering tidak seragam dalam menyebutkan alamat bangunan ini. Beberapa menyebut Pegangsaan 15, beberapa lain 16 dan pula 17. Sejatinya, alamat-alamat tersebut dahulu mencakup satu komplek bangunan.

Lokasi spesifik rapat tersebut pula sulit dipastikan. Buku Sejarah Museum Perumusan Naskah Proklamasi yang diterbitkan oleh Depdikbud pada tahun 1991 menyebutkan bahwa rapat persiapan Rengasdengklok tersebut diadakan di "Gedung belakang". 

Hal ini diamini oleh Petrik Matanasi dalam artikel "Pemuda Kiri Mendesak Proklamasi" yang dimuat oleh Tirto. Namun, Petrik mengungkapkannya dengan cara yang sedikit berbeda yaitu "..belakang areal Laboratorium Bakteriologi". Susanto Zuhdi dalam "Membangun Kembali Rumah Soekarno" menyebut bahwa rapat diadakan "di salah satu ruang Laboratorium Bakteriologi". 

Banyak tulisan lain dengan rancu menuliskan bahwa rapat diadakan di laboratorium bakteriologi. Meskipun dapat memberikan impresi bahwa rapat tersebut diadakan di dalam fasilitas pengujian ilmiah namun lebih memungkinkan jika lokasi yang dimaksud adalah Laboratorium Bakteriologi Wilhelmina secara keseluruhan.

Dua laboran bumiputera pada Institut Wilhelmina, Warsa dan Soeardiman Ca. 1939. Sumber: Tropenmuseum.
Dua laboran bumiputera pada Institut Wilhelmina, Warsa dan Soeardiman Ca. 1939. Sumber: Tropenmuseum.
Mengapa rapat ini memilih sebuah laboratorium bakteriologi sebagai tempat bertemu? Terdapat dua alasan yang paling memungkinkan untuk menjelaskannya. 

Pertama, lokasi gedung ini sangat dekat dengan tempat tinggal basis pemuda yang mendukung rencana penculikan Soekarno dan Hatta yaitu Asrama Menteng Raya 31, Asrama Prapatan 103, dengan mereka yang berafiliasi dengan Institut Bakteriologi Wilhelmina sebagai tuan rumah. Selain itu, Laboratorium ini sangat dekat dengan kediaman Soekarno di Pegangsaan Timur no. 56. 

Kedua, seperti telah diungkapkan sebelumnya, terdapat hadirin rapat yang berafiliasi dengan Institut Wilhelmina. Menurut Suhartono Wiryopranoto dalam Kaigun, Angkatan Laut Jepang Penentu Krisis Proklamasi, Djohar Nur dan Darwis, dua hadirin dalam rapat tersebut, berafiliasi dengan Fakultas Kedokteran. Maka, kemungkinan besar, mereka berdualah yang dianggap Toetie Kakiailatu sebagai Kelompok Laboratorium Bakteriologi Wilhelmina.

Meski diadakan di sebuah lembaga bakteriologi, tidak satupun keputusan rapat ini menyinggung organisme tanpa membran inti sel sebagai fokus studi dari lembaga tersebut. 

Rapat yang diadakan pada 15 Agustus 1945 setelah para pemuda mendengar berita penyerahan Jepang terhadap sekutu di Perang Dunia II itu ditutup dengan keputusan untuk menuntut Soekarno agar mengumumkan kemerdekaan Indonesia. 

Kita sama-sama tahu bahwa kemudian Soekarno menolak dan mendorong golongan muda untuk membawanya ke Rengasdengklok, Karawang. Harapan saya sih sederhana, semoga sejak rapat hingga proklamasi dibacakan, mereka tidak lupa cuci tangan!

Catatan Akhir:

[1] cnnindonesia.com

[1] De Indische Courant, 6-7-1926. Hlm. 2. Perubahan nama menjadi Eijkman Instituut terjadi pada tahun 1939 untuk menghormati salah satu direktur dari lembaga ini yaitu, Christiaan Eijkman.

[1] Bataviaasch Niewusblaad, 10-12-1941, Hlm. 1.

[1] Indisch Bouwkundig Tijdschrift, 1 November 1933

[1] tirto.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun