Belakangan ini, publik dihebohkan oleh berbagai kebijakan pemerintah yangdianggap nyeleneh dan kontroversial, mulai dari peraturan yang terkesan tidak masukakal hingga keputusan yang menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Situasiini sering memicu perdebatan panas di media sosial maupun ruang publik, di manasebagian pihak langsung mengaitkan kebijakan tersebut dengan presiden sebagaipemimpin tertinggi negara.
Salah satu contohnya adalah ribuan massa yang tergabung dalam AliansiMasyarakat Pati Bersatu turun ke jalan pada 13 Agustus 2025, memprotes sejumlahkebijakan Bupati Sudewo yang dinilai memberatkan rakyat. Aksi ini berujung ricuh,puluhan orang luka-luka, belasan ditangkap, bahkan ada kabar korban jiwa meskibelum terkonfirmasi resmi. Fenomena ini kembali memunculkan opini umum kalauada kebijakan nyeleneh, pasti salah presiden. Hal ini dapat terjadi karena presepsipublik sering kali menyederhanakan rantai kekuasaan, kepala daerah adalah bagian daripemerintah pusat, dan pemerintah pusat identik dengan presiden. Akibatnya, kebijakankontroversial di tingkat lokal pun kerap dituding sebagai salah presiden.
Isu lain yang juga sedang menjadi sorotan publik adalah Pemindahan Ibu KotaNegara (IKN) sering dilabel sebagai "mega proyek Presiden Jokowi". Padahal banyakkeputusan terkait IKN diambil bersama DPR dan lembaga perencanaan sepertiBappenas. Ketika kritik muncul terkait dampak ekologis, transparansi, atau biayaseolah pesiden sendirilah yang harus menanggung segalanya. Padahal, proyek sepertiIKN adalah hasil keputusan kolektif lembaga negara, bukan keputusan sepihakpresiden.
Penting untuk dipahami bahwa tidak semua kebijakan yang diterapkan diIndonesia senuhnya merupakan ide atau inisiatif presiden secara pribadi. Meskipunpresiden adalah orang pertama di RI, nampun Presiden Indonesia tidak bisa serta-mertaatau semena-mena, karena presiden harus menjalankan tugasnya sesuai denganPeraturan Perundangdang-undangan. Ada isu viral salahnya presiden, ada isu boomingsalahnya presiden. Ya Enggak dong !! Kalau Salah presiden sendiri gunanya lembagalain apa ?
Negara Indonesia membagi lembaga negaranya menjadi 3 yang dikenal dengantrias Politika. Ketiga lembaga tersebut memiliki tugas dan wewenangnya masingmasing. Legislatif terdiri dari MPR dan DPR ditingkat pusat serta DPD ditingkatdaerah yang berfungsi untuk membuat UU. Eksekutif terdiri dari presiden, WakilPresiden,dan menteri di tingkat pusat serta Kepala daerah ditingkat daerah yangberfungsi menjalankan UU. Dan lembaga Yudikatif yang terdiri dari MA, MK, KYditingkat pusat serta pengadilan banding dan pengadilan negeri ditingkat daerah yangberfungsi untuk mengawasi pelaksanaan UU.
Dr. I Wayan Jondra, mantan Ketua KPU Bali (2025) menegaskan bahwapembagian kekuasaan ini dirancang agar presiden tidak bertindak sewenang-wenang.Ia menyebut, "Trias Politika adalah mekanisme pencegah kekuasaan absolut." Dengandemikian maka Setiap lembaga tentunya juga melaksanakan tugasnya sesuai denganperaruran perundang-undangan, jadi tidak bisa saling interprensi. Namun antarlembaga juga saling berhubungan dan bekerja sama dalam merumuskan sebuahkebijakan.
Kebijakan dapat merupakan hasil negosiasi antara pihak eksekutif, legislatif,yudikatif atau kelompok kepentingan tertentu. Hasilnya tidak selalu sesuai denganpreferensi semua pihak. Kebijakan politik juga dapat dipengaruhi adanya rivalitaspolitik internal. Ada kemungkinan sebagian anggota dewan atau partai mencoba"menjebak" pemerintah dimata publik. Dalam bahasa politik, ini mirip strategi policitalsabotase atau character assaasination. Adanya framing media atau pemberitaan yangmenonjolkan sisi negatif juga dapar membentuk opini bahwa semua kebijakanbermasalah adalah salah presiden, meskipun inisiatornya pihak lain. Najwa Shihab2019). (Dalam wawancara dan tulisannya di Indonesiana Najwa Shihab menegaskanbahwa media termasuk media sosial memiliki kekuatan besar dalam membentukpersepsi publik. Menurutnya, framing adalah bagian dari storytelling yang menentukanmakna suatu isu. Ia mengingatkan, media seharusnya membangun narasi yangmendalam, kontekstual, dan konstruktif, bukan sekadar sensasi atau hoaks.
Menilai kebijakan kontroversial tidak bisa dilakukan secara terburu-buru.Dibutuhkan analisis menyeluruh terhadap siapa penggagasnya, bagaimana prosesnya,dan kepentingan apa yang terlibat. Politik adalah arena interaksi multiaktor yang penuhnegosiasi, kompromi, bahkan rivalitas.Tidak semua kebijakan yang tampak anehadalah murni keputusan presiden. Banyak yang lahir dari proses panjang yangmelibatkan DPR, partai politik, lembaga pemerintahan lain, serta kelompokkepentingan di luar pemerintahan. Bahkan, ada kebijakan yang sengaja diposisikanuntuk menjebak atau merusak citra pihak tertentu.Oleh karena itu, publik harusmembekali diri dengan literasi politik dan sikap kritis agar tidak mudah terbawa arusnarasi yang sengaja dibentuk untuk membenci satu figur. Kritik tetap diperlukan, tetapiharus diarahkan tepat sasaran, sehingga mendorong akuntabilitas dan tidak menjadialat propaganda.
DAFTAR PUSTAKA
1, A. J. (2024). KLARIFIKASI HOAX -- MANIPULATED CONTENT (SALAH)PRESIDEN JOKOWI OBRAL IKN 190 TAHUN UNTUK ASING.Tribunews.com, 3.
Bernadetha Aurelia Oktavira, S. (2025, Mei 23). Kekuasaan Eksekutif, Legislatif, danYudikatif di Indonesia. (U. G. Mada, Ed.) Hukum online.com, 8.