Mohon tunggu...
Yosi Octafred
Yosi Octafred Mohon Tunggu... Freelancer - Just Share #GoodNews

Discover Dream Design Destiny

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Melawan Kecurangan Situng KPU?

17 Mei 2019   08:08 Diperbarui: 17 Mei 2019   11:48 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Syukur kepada Sang Khalik karena Indonesia boleh melalui proses pemungutan suara dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Pemilu kali ini benar-benar beda, karena untuk pertama kalinya diadakan secara serentak, memilih Presiden - Wakil Presiden sekaligus memilih anggota legislatif, mulai dari DPRD Kab/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI dan juga DPD. 

Saya sendiri datang ke bilik suara bersama istri pagi-pagi benar, bahkan tiba di lokasi sebelum pencoblosan dimulai, ketika para anggota KPPS masih sibuk memeriksa surat-surat suara yang ada sembari mempersiapkan segala sesuatu.

Ketegangan yang semula menghantui segelintir orang lantaran isu "dapur umum di TPS" nampaknya tidak begitu terasa di antara masyarakat yang mulai hadir. Tak begitu terasa juga ketegangan antara "cebong" dan "kampret", bahkan himbauan baju putih nyaris tidak digubris masyarakat, soalnya di TPS saya, yang datang dengan baju putih hampir tidak ada. Orang-orang datang dengan baju santai ataupun formal seperti biasanya.

Memang sempat degdegan juga ketika petugas mulai memberikan pengarahan terkait prosedur mencoblos. Petugas menunjukkan kepada kami lima kertas yang akan dicoblos, dan melihat ukuran kertasnya saja sempat membuat saya bingung. Untunglah ada sampel kertas suara ditempel di lokasi TPS, sehingga saya boleh melihat-lihat dulu siapa calon anggota DPRD, DPR dan DPD yang akan saya coblos. 

Nah, untungnya juga, ada beberapa nama yang memang sudah sangat saya kenal, baik melalui media massa maupun media sosial, jadi tidak butuh waktu lama untuk mengambil keputusan.

Sorenya, media massa dan media sosial mulai ramai dengan exit poll dan quick count. Masyarakat nampaknya tetap fokus pada pilihan presiden, meskipun ada juga segelintir orang berbicara soal perolehan suara partai dan nama-nama anggota legislatif. Tapi, secara umum, fokus tertuju pada pertarungan antara Joko Widodo dengan Prabowo Subianto.

Di sinilah ketegangan betul-betul kian terasa. Para pendukung yang angka exit poll dan quick count pilihannya terus memimpin semakin percaya diri dan melontarkan status-status nuansa kemenangan dengan sedikit nada ejekan bagi yang tertinggal. Sebaliknya, para pendukung lawan mulai gerah dan status-status media sosialnya mulai menghembuskan isu kecurangan dan sejenisnya.

Saya pikir, ini akan segera berakhir ketika hasil final quick count ditayangkan di media-media massa. Harapan saya, seketika itu, pihak yang kalah akan dengan sportif menggelar konferensi pers untuk memberikan ucapan selamat kepada yang menang, meskipun baru sebatas quick count. Momen seperti ini sempat saya rasakan ketika pemilihan gubernur DKI Jakarta, ketika Basuki Tjahaja Purnama bertarung melawan Anies Baswedan. 

Di awal-awal pengumuman exit poll dan quick count, ketegangan juga terasa antara kubu BTP dan kubu AB. Tapi, begitu hasil final quick count dipublikasikan, BTP dengan sportif menyampaikan selamat kepada AB tanpa harus menunggu pengumuman KPU dan tanpa harus membahas soal kecurangan.

Ya, beda pilgub DKI beda juga pemilu nasional, meskipun kubu yang bertarung hampir sama dengan kubu yang bertarung di pilgub DKI. Mungkin karena kubu pemenangnya memang beda, ditambah lagi, sebelum proses pencoblosan dimulai, isu kecurangan dan ketidaknetralan memang sudah dihembuskan. Ini mungkin yang membuat para petugas KPPS menjadi ekstra hati-hati, sebab mereka sadar ada begitu banyak mata yang mengawasi mereka. 

Kehati-hatian ini juga nampak di sekitaran TPS. Masyarakat yang komplain langsung dikerumuni orang-orang, dan semua berlomba memberi bantuan penjelasan. Semua tentu berharap agar pemilu berjalan lancar dan tak perlu konflik berkepanjangan.

Nyatanya, fakta berbicara lain. Ketegangan kian terasa justru ketika KPU mulai mempublikasikan hasil rekapitulasi suara melalui sistem perhitungan suara (situng) KPU secara online (daring).

KPU berkali-kali mengingatkan bahwa situng bukanlah hasil final, tetapi hanya sebagai bagian dari alat kontrol masyarakat agar proses rekapitulasi dapat dilangsungkan setransparan mungkin. 

Melalui situng, masyarakat bisa memantau langsung perolehan suara dari masing-masing TPS hingga rekapitulasi akhir nantinya di tingkat nasional. Jika masyarakat menemukan kesalahan input data, maka masyarakat bisa langsung mengajukan keberatan kepada KPU melalui media-media yang disediakan.

Sayangnya, banyak orang lebih fokus pada angka akhir dan malas untuk mengecek detail sampai ke TPS-TPS. Minimal TPS tempat ia mencoblos. Tugas untuk mengecek sampai sedetail-detailnya diserahkan kepada relawan TKN dan BPN, bahkan mereka menyiapkan tim IT khusus untuk terus memantau detail rekapitulasi suara di situng KPU.

Banyak kesalahan input data ditemukan. Saya kira hal itu wajar saja, mengingat ada 809.497 TPS dalam pemilu kali ini. Pada pemilu lima tahun lalu, di tempat saya mencoblos hanya ada satu TPS, tapi tahun ini, sudah terbagi menjadi tiga TPS. Belum lagi jika dikalikan dengan jumlah surat suara yang ada dikali lima (Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota). Ditambah lagi, tenggat waktu yang harus dikejar oleh KPU. Tapi, untunglah KPU mengunggah juga hasil scan (pindai) formulir C-1, sehingga masyarakat punya akses untuk membandingkan data yang ada.

Masalahnya adalah ketika kesalahan input diidentikkan dengan kecurangan. Setiap kali ditemukan kesalahan, maka langsung dicap sebagai sebuah kecurangan. Di sinilah letak kekonyolannya!

Bayangkan Anda mengikuti sebuah perlombaan, lalu sebelum juri memutuskan siapa pemenangnya, maka juri mengumumkan dulu daftar nilai yang dicapai oleh masing-masing tim. Dalam pengumuman itu terdapat catatan, "jika terdapat kekeliruan penilaian, mohon sampaikan kepada para juri untuk bisa diperbaiki sebelum pengumuman pemenang". 

Saya pikir, juri semacam ini adalah juri yang paling jujur dan terbuka. Lantas, jika ada peserta yang langsung protes terjadi kecurangan hanya karena salah tulis nilai, bukankah itu sebuah kekonyolan? Akan lebih bijak jika ia menyampaikan langsung temuannya kepada para juri, dan jika juri tidak memperbaiki, barulah itu bisa diindikasikan adanya kecurangan. 

Ingat! Indikasi belum bisa divonis sebagai bentuk kecurangan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "indikasi" adalah "tanda-tanda yang menarik perhatian; atau petunjuk", semacam gejala penyakit dalam kedokteran.

Dokter yang menemukan gejala-gejala tidak akan langsung memvonis pasiennya, ia tetap harus melakukan diagnosa. Begitu juga, ketika indikasi kecurangan ditemukan, maka perlu ada klarifikasi dan investigasi. Jika kita buru-buru memvonis itu sebagai kecurangan, maka kita sangat gegabah dan kurang dewasa menyikapi sebuah persoalan.

Karena itu, saya melihat sikap dan pandangan yang dilontarkan BPN dan kubu 02 terhadap situasi dan kondisi yang ada sangatlah kekanak-kanakan. Mereka tidak berusaha meredam konflik, tetapi semakin mempertajamnya dalam berbagai bentuk. Mulai dari pengerahan massa, publikasi di media-media sosial, konferensi pers, bahkan langsung dalam bentuk klaim kecurangan terstuktur, sistematis dan masif (TSM). Apalagi, sejumlah tokoh nasional terlibat di dalamnya, mempertontonkan kebodohannya untuk membodoh-bodohi masyarakat. 

Apa yang nampak justru adalah kerakusan kekuasan, bukan lagi penegakan keadilan dan kebenaran. Tidak ada lagi etika berpolitik, yang ada hanyalah keberingasan yang tak terkendali. Seperti ada ketakutan besar terhadap sesuatu dengan dalil penegakan demokrasi. [ ]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun