Benar saja. Belum sempat Tari menjemur pakaian ia sudah dimarahi.
"Tari... Jam segini kamu baru selesai mencuci. Kapan kering cucian? Pasti kamu bermain di sungai."
Tidak sampai segitu, ibu tirinya mencubit lengan Tari sampai membiru. Tari menahan sakit. Ia tidak mau menangis karena akan dimarahi lagi.
"Cepat jemur cuciannya. Terus berikan makan adikmu. Saya mau luluran, sebelum ayahmu datang."
Tari mengikuti perintah ibu tirinya. Ia mengambil makanan yang telah disediakan untuk adiknya. Tari hanya mampu menahan lapar karena tidak ada jatah makan untuknya.
"Tari, sisa makanan adikmu boleh dimakan. Lalu cuci piringnya dan juga perabot yang kotor di dapur."
Hari-hari terus berlalu. Dan hampir setiap hari Tari mengalami siksaan dari ibu tirinya. Persis seperti lagu, Tari hanya disayangi saat ayah ada disampingnya.
"Ayah, anakmu memang anak yang baik. Dia rajin bekerja dan penurut." Kata ibu tirinya. Ia seolah sangat sayang, sampai-sampai menyuapi pisang untuk Tari.
"Oyaa.., Tari memang anak yang baik." Ayah Tari kemudian mendekati Tari. Tak sedikitpun Tari tersenyum. Ia kesel dengan kebohongan yang disampaikan ibu tirinya.
"Kenapa tanganmu membiru Tari?"
Sebelum Tari menjawab, ibu tirinya langsung berucap karena takut ketahuan belangnya
"Ayah...maaf tadi dia terjatuh saat Ibu suruh membantu pegang tangan Ibu. Kepala Ibu agak pusing. Bener kan Tari?" Kata ibu tirinya sambil mengelus tangan Tari.